Aku
tidak pernah benar-benar mengerti kekejaman dunia hingga usiaku mencapai tiga
puluh tahun. Dunia tidak hanya menuntut sandang, pangan, dan papan—tetapi juga
pernikahan. Sebuah pernikahan yang kini telah berubah menjadi luka menganga.
Keluar
dari apartemen dekat Bundaran Satelit, aku meninggalkan hampir semua
milikku—hanya dompet dan ponsel yang kubawa. Langkahku terasa ringan, seolah
tubuh ini bukan lagi milikku. Atau mungkin memang tidak pernah menjadi milikku.
Tidak setelah semalam, setelah tubuhku terekspos laksana barang dagangan di
hadapan teman-teman Nur, sementara Nur berdiri di sana, merekam semuanya dengan
mata berbinar.
Langkah
membawaku ke sebuah hotel di dekat Taman Makam Pahlawan. Sebuah tanda, mungkin.
Atau hanya kebetulan. Suara resepsionis menyapa lembut, "Selamat sore,
Ibu."
Tanganku
sedikit gemetar saat menerima kunci kamar. "Kamar suite di lantai
paling atas masih kosong?"
Tidak
lama kemudian, Gangsar—manajer hotel yang menjadi partner bisnisku—muncul
dengan napas tersengal. "Maaf, Ibu. Saya tidak tahu kalau Ibu ada
keperluan di sini."
Aku
hanya mengangguk, kesadaranku mengambang di antara kenyataan dan
ketidaknyataan. Gangsar bercerita tentang perkembangan hotel, istrinya yang
sudah membaik, dan terima kasih yang tidak ada habisnya. Aku menyimak tanpa
benar-benar mendengarkan, pikiranku terbang entah ke mana.
Aku
mandi, menggosok tubuh. Air panas
membakar kulit, tapi tidak mampu membakar rasa kotor yang menyelimuti. Aku
menggosok, terus menggosok, seolah bisa menghapus jejak-jejak pelecehan yang
tertinggal.
Ponselku
berdering, sebuah panggilan dari ibu. "Nak, hari ini selamatan di rumah
dimulai setelah Isya, ya." Ibu bercerita tentang uang yang kukirimkan,
yang lebih dari cukup untuk selamatan rumah baru mereka. Sebagian disumbangkan
ke panti asuhan sebagai rasa syukur.
"Alhamdulillah.
Bagaimana dengan bapak?" tanyaku, merasakan hangat di tengah dinginnya
ruangan ini.
Ibu
bercerita tentang bapak yang sedang mengurus pensiun dini, tentang toko
perlengkapan hewan yang aku bangun untuk mereka. Perbincangan sederhana yang
menyusupkan perasaan aneh dalam hatiku—perasaan yang kusangka telah lama mati.
Setelah
menutup telepon, aku berdiri di depan jendela, memandangi gedung apartemen yang
baru saja kutinggalkan. Detik itu juga, sebuah keputusan terkristalisasi dalam
benakku. Sialnya hidup harus berhenti di tiga puluh.
Panggilan
dari kolega menginterupsi lamunanku. "Ibu! Syukurlah! Tahun ini penjualan
kita luar biasa, naik 300% dibanding tahun lalu!" Aku hanya tersenyum
hambar, seolah angka-angka itu tidak lagi berarti.
Kakiku
melangkah ke tangga darurat, memulai perjalanan menuju atap. Setiap anak tangga
terasa seperti satu tahun kehidupan yang telah kulalui. Dua puluh tahun, dua
puluh satu, dua puluh dua—lalu menjadi tiga puluh dalam sekejap mata.
Di
lantai sepuluh, aku mendengar suara isak tangis. Seorang pemuda duduk meringkuk
di dekat pintu keluar. Bellboy hotel, dengan selera musik yang kukenali.
Tidak perlu aku ketahui namanya, tidak perlu aku mengerti ceritanya. Namun,
suaranya yang pecah saat bercerita tentang peluang kerja yang hampir lepas,
tentang impian yang tertunda, menembus sesuatu dalam diriku.
"Tidak
punya biaya untuk ke Jakarta. Gajian masih tiga hari lagi, sementara saya harus
ada di sana dua hari lagi," ujarnya putus asa.
Aku
terdiam, teringat diriku sendiri yang dulu. Dengan satu panggilan telepon ke
Gangsar, aku memastikan gaji pemuda itu dipercepat dengan bonus tambahan.
Senyum yang merekah di wajahnya mengingatkanku pada sesuatu yang telah lama
hilang—kebahagiaan sederhana.
Langkahku
berlanjut, naik dan naik, membawa beban yang terasa semakin berat. Di lantai
dua belas, seorang perempuan bersandar di tembok, wajahnya basah oleh air mata.
Aku tidak mengenalnya, namun merasakan kesedihannya seperti kesedihan yang
telah lama kukenal.
"Saya
merasa hina... Saya menjijikkan..." ucapnya di sela tangis.
Aku
menatapnya—cantik, berpakaian Prada, namun rapuh di dalam. Tanpa bertanya
banyak, kubiarkan dia bercerita. Tentang perselingkuhan, tentang janji kosong, dan
tentang keperawanan yang telah tiada. Aku mendengarkan tanpa banyak bicara,
hanya mengusap punggungnya, memberikan kekuatan yang sebenarnya tidak kumiliki.
"Saya
sudah menyerahkan keperawanan saya kepadanya... tapi kenapa dia tidak mau
bercerai dengan istrinya?" pertanyaan retoris yang membuatku tersenyum
pahit.
"Mbak
masih punya kehidupan. Saya yakin, Mbak ini bukan perempuan yang perlu
bergantung pada pria," ujarku, menghibur diri sendiri melalui kata-kata
untuk orang lain.
Dia
meminta kontakku, ingin bertemu lagi. Aku mengiyakan, tanpa keyakinan bahwa aku
akan memenuhinya. Aku melanjutkan langkah, kali ini lebih cepat, lebih berat.
Di
lantai empat belas, Gangsar berdiri sambil merokok. Wajahnya berubah ketika
melihatku. "Ibu, mau ke mana?" tanyanya dengan nada yang tidak
kukenali.
"Rooftop,"
jawabku singkat.
Tanpa
peringatan, dia menarik tubuhku, membenturkan punggungku ke tembok. Wajahnya
mendekat.
Aku
tidak melawan saat dia menciumku, dan aku hanya menggigit lidahku sebagai reaksi
atas rasa jijik yang menyergap. Dia mundur, meneriakkan kata kotor, lalu mendorongku
hingga terjatuh. Darah mengalir dari pelipisku.
Dalam
keheningan yang menyakitkan, aku merasakan kemarahan yang belum pernah
kurasakan sebelumnya. Tanpa pikir panjang, aku memukulnya. Berkali-kali. Dia
hanya terdiam, menerima setiap pukulan tanpa perlawanan.
"Ini
hukuman dariku untuk kejadian tadi. Tapi cari hukuman untuk perselingkuhanmu!
Jadilah pria! Hadapi yang ada di luar sana!" bentakku sambil terus
memukul.
Gangsar
jatuh bersimpuh, menangis seperti anak kecil. Aku menarik kerah bajunya,
memaksanya berdiri. "Keluar dari sini. Hadapi Tata. Jangan pernah
tunjukkan wajahmu ke perempuan lain sebelum Tata tahu apa yang kamu
lakukan!"
Dia
berlari pergi, dan aku ambruk di lantai. Aku teringat pada malam menjijikkan
yang membuat tubuhku terasa seperti barang dagangan. Berapa banyak tangan yang
sudah menjamah? Berapa banyak tatapan yang telah mencabik-cabik harga diriku?
Aku
memaksakan diri untuk berdiri, melanjutkan langkah ke atap. Angin malam menerpa
wajahku seperti tamparan lembut. Kini, aku berdiri di ujung sisi atap gedung,
memandang kota Surabaya yang terlihat begitu jauh—bagaikan kehidupan yang kian
menjauh.
Aku
mengeluarkan ponsel, memastikan tidak ada pesan buruk yang kutinggalkan. Tiba-tiba,
aku menerima pesan: ada pesan dari ibu mengenai kopi Gayo, foto kue Natal dari
kolega, ucapan terima kasih dari bellboy, dan pesan dari Tata yang berjanji
akan menjaga Gangsar.
Aku
memandang trotoar jauh di bawah, menilai waktu yang dibutuhkan tubuh untuk
mencapai tanah. Tiga puluh detik? Seperti tiga puluh tahun yang telah kulalui.
Ponselku
berbunyi lagi. Nomor tidak dikenal. "Halo, Mbak Sekar, saya Ayu yang tadi
di tangga darurat," suara lembut menyapa.
"Mbak,
ini saya bawa bakmi charsiu. Kata mbak resepsionis, mbak suka kopi. Mbak
mau kopi apa? Saya bawakan ke kamar," lanjutnya dengan nada ceria.
Air
mataku mengalir deras. Dalam keheningan yang ditemani angin, aku merangkak
turun dari pagar pembatas. Dengan tangan gemetar, aku mengetik pesan untuk
Tata: 'Nanti kalau kamu butuh sesuatu, bilang, ya.'
Aku
menuruni anak tangga yang sebelumnya kudaki dengan susah payah. Sambil
berjalan, aku menelepon Ayu.
"Halo,
Ayu. Maaf, tadi aku cari angin di atas. Aku boleh pesan kopi Gayo? Tolong
bilang pesanan Bu Sekar, baristanya sudah tahu. Oh, iya, aku boleh makan bakmi charsiu
yang kamu bawa? Aku lapar sekali sekarang."
Kegelapan
masih menyelimuti, tetapi cahaya temaram mulai menerangi jalan. Mungkin aku tidak
akan pernah benar-benar memahami kejamnya dunia. Namun, untuk hari ini, untuk
detik ini, hidup masih berlanjut di tiga puluh. (*)
Aryasuta, karyawan swasta di Kota Kediri,
kembali menyelami dunia kepenulisan setelah sekian lama tersesat dalam rapat
tanpa akhir dan spreadsheet yang misterius. Pernah menerbitkan buku saat
kuliah dan menulis untuk beberapa media, ia sempat berhenti menulis demi
mengejar hal-hal yang katanya "lebih realistis"—hingga sadar bahwa
realitas butuh sedikit bumbu fiksi. Kini, dengan semangat baru, ia berkomitmen
menulis satu plot setiap hari, meski beberapa di antaranya hanya tercatat di notes
ponsel sebelum tidur.
Komentar
Posting Komentar