Cerpen: BAJU PENINGGALAN KAKEK

 

Tepat pada hari ketujuh  setelah kakek meninggal, nenek memanggilku dengan suara yang terdengar mengiba. Dari beranda depan, aku segera menuju suara nenek yang ditemani ibu di ruang tamu. Kulihat tumpukan baju yang tentu saja tak asing lagi bagiku. Baju kakek, baju yang berusaha dipisah-asingkan oleh nenek dari dua keranjang besar kala itu.

“Pakai ini untukmu, Andus. Agar tetap terlihat juga kakekmu oleh nenek.”

Aku serta merta terkesiap dan agak bingung dengan permintaan nenek. “Pakailah, ini baju bau matahari yang sepuluh tahun menyerap peluh kakekmu. Banyak kenangan dari baju ini,” Lanjut nenek yang kali ini kubaca pemintaan itu harus aku penuhi agar tak mengecewakan beliau.

Aku tentu saja sedikit tertawa bersama ibu. Baju bau matahari. Baju yang tentu kupahami sebagai baju yang biasa dikenakan kakek untuk ke sawah, kebun, dan ladang. Tapi setelah kupikir-pikir sejenak, dari siapakah istilah ini didapat oleh nenek yang tak bisa mengantarkan jenazah kakek ke kuburan di lereng bukit yang terjal? Tapi begitulah malam itu. Nenek berbicara panjang lebar sambil memisahkan baju-baju kakek yang dinilai layak untukku.

Meskipun nenek masih saja bicara begitu mengiba kala mengenang kakek, tapi nenek tentu saja begitu sumringah kala aku menyinggung kepanjangan nama baju tersebut. Baju bau matahari. Baju yang tentunya kukaitkan dengan nama nenek Matalisna, dan nama kakek Jahari.

Aku melihat nenek sedikit terhibur setelah mendengar guyonanku. Kukembangkan lagi baju-baju kakek yang telah dipisah untukku. Pakailah, dari pada tersimpan saja, begitulah nenek dan ibu berulang kali bicara padaku. Tepat ketika aku memegang baju berbau matahari yang penuh noda getah dan sarat kenangan itu, nenek tiba-tiba bicara sedikit berbisik.

 “Eh, jangan salah. Ini baju pernah dipakai melihat harimau di hutan. Kakekmu bertemu harimau ketika pulang dari ladang gambir. Tapi berkat doa dan baju bau matahari ini, kakekmu selamat. Harimau itu pergi, dan membiarkan kakekmu melanjutkan perjalanan pulang dalam keadaan cuaca hujan.”

***

Di hari kesepuluh setelah kakek berlalu, nenek perlahan pulih dari lembah kesedihan. Nenek telah mulai lahap makan dan diajak mengobrol oleh kerabat dan tetangga. Namun pada petang itu, setelah para kerabat dan tetangga pergi, nenek kulihat begitu larut dengan tumpukan album yang tentunya memuat foto-foto kakek. 

Aku memperhatikan betul itu walau sedang berdiri di sebuah pematang sawah yang hamparan padinya baru beberapa hari siap dipanen. Nenek kulihat bicara begitu mengiba lagi di depan ibu yang juga kulihat membolak-balik tumpukan album itu. Dengan jarak yang dekat dari beranda rumah ke petak sawah, sesekali wajah nenek bertemu dengan wajahku. Nenek terlihat menatapku begitu lain pada petang itu. Barangkali lantaran aku memakai baju berbau matahari kala menggembalakan lima ekor sapi, nenek seakan-akan melihat kakek masih hidup dan menggembalakan hewan ternak itu di depan beliau.

“Jangan lupa gembok kandang sapi kita, Andus. Nanti hilang lagi sapi kita.” Sorak nenek kepadaku yang mulai mengarahkan sapi-sapi itu menuju kandang.

“Hahaha… biar naik mobil ber-AC dia ini, Nek. Biar keren,” candaku yang dibalas senyuman nenek dalam alunan suara ngaji dari toa-toa masjid.

Aku tentu saja amat berhati-hati dan tak membiarkan sapi-sapi peliharanku dicuri orang untuk kedua kalinya. Satu tahun sebelum kakek meninggal, kampung dibuat geger oleh peristiwa hilangnya sapi betina kakek yang bulunya berwarna putih.

Kakek tentu saja terkejut dan amat sedih melihat kejadian itu. Tapi sekilas, aku mendengar kakek berucap kala aku juga panik mencari sapi itu di sekeliling kandangnya.

“Tenang saja, jika masih rezeki ia akan bersua dalam keadaan hidup atau mati.” Dengan memakai baju berwarna putih kusam yang tak lain baju berbau matahari itu, kakek pada akhirnya kulihat sibuk berzikir dan berdoa. Kakek yakin betul, bahwa si betina akan kembali, dan pencurinya akan ditangkap.

Dan benar saja. Tak sampai satu hari setelah kejadian itu, kabar baik pun terdengar, bahwa kawanan pencuri sapi ditangkap pihak berwenang di sebuah ruas jalan. Darah-darah berceceran dari sela pintu mobil. Ternyata, si betina telah mati, dan menemui takdirnya dengan keadaan leher digorok. Beberapa jam setelah penangkapan itu, terbitlah berita pencuri sapi yang penggalan judulnya  berbunyi “Sapi Naik Mobil Pribadi”.

Tapi begitulah. Di malam setelah aku letih menggembalakan sapi-sapi itu, aku terkejut dengan selembar koran yang dikeluarkan nenek dari lemari kamar kakek. Tulisan di koran itu dengan jelas memberitakan kasus hilangnya si betina yang fotonya begitu jelas di bagasi belakang mobil. Meskipun berita itu pernah aku baca, aku tetap saja sumringah membolak-balik lembaran koran itu.

Di ruang tamu, aku, nenek, ibu, dan dua adik perempuanku kembali larut dalam cerita masa silam. Dari sekian banyak hal yang kami bahas, muncullah ide dari ibu untuk memperbesar foto, dan membingkai foto nenek berdua kakek kala memakai baju berbau matahari di kebun rambutan.

“Perbesar dan bingkailah, Andus, biar senang pula nenek. Bukanlah kau juga suka berfoto-foto dengan sapi-sapi saat mengembala di sawah?” Bisik ibu yang terinspirasi dengan foto sertifikat veteran perang kakek dari pihak almarhum ayahku. Aku pun menganggukkan kepala dan berusaha meyakinkan nenek untuk sabar menunggu. Selain itu, aku jadi langsung teringat bahwa di telepon genggamku tersimpan foto sertifikat veteran perang yang dimaksud ibu. Ibulah yang dulunya menyarankan almarhum ayah untuk memperbesar, dan membingkai sertifikat yang diberikan pihak negara asing itu untuk dipajang di dinding rumah.

“Biar kita ingat, biar kita tak lupa dengan sejarah masa silam,” begitulah ibu bicara padaku. “Sekalian juga koran itu dibingkai kalau bisa,” sambung nenek yang duduk berselonjor dengan tubuh ringkih, dan berjalan menggunakan tongkat itu.

Aku pun mematut-matut isi berita di koran itu. Judul berita berwarna merah dengan nama koran yang begitu akrab dengan berita kriminal, maupun pembunuhan di kota tempat aku berkuliah mencapai gelar sarjana peternakan. Tiba-tiba saja, di malam itu aku jadi teringat dengan potongan koran yang tertinggal di kamar kost aku dulu. Berita perkosaan dan pembunuhan seorang wanita muda yang tak lain adik kandung dari seorang kenalanku, yang berjualan koran di dekat perempatan lampu merah.

Sebelum aku wisuda, aku pernah berencana untuk menemui lelaki kenalanku itu dan membawakan potongan koran itu. Namun hingga aku balik ke kampung untuk mengembangkan ilmuku, rencana itu akhirnya tak pernah kesampaian. Malah tepat di hari kakek meninggal, aku juga mendapat kabar duka dari telepon genggamku. Bahwa Hariman, si kenalanku itu meregang nyawa setelah terlibat kecelakaan yang mengenaskan.

Khawatir akan kehilangan lagi potongan koran, maka aku memegang erat-erat sisi potongan koran yang diberikan nenek.

***

Dan entah mengapa, aku begitu merasa percaya diri bila memakai baju berbau matahari peninggalan kakek. Selain percaya diri, aku bagai merasa dilindungi sesuatu dan tak takut keluar masuk hutan dan ladang. Dulunya, bila berjalan sendiri, aku begitu was-was semenjak dihadang seekor kobra yang berdesis keras dengan kepala berdiri menghadapku.

Dengan memakai baju berbau matahari, aku berani sendirian dengan ditemani sebilah parang yang tajam ke ladang gambir yang terletak di balik bukit-bukit. Meski kata orang bahwa harimau kerap menampakkan dirinya, aku pun tak ambil peduli. Di sepanjang perjalanan, aku tak pernah lupa berzikir dan berdoa seperti yang dicontohkan kakek semasa hidup.

Pada suatu hari, setelah aku memberanikan diri memakai baju peninggalan kakek ke hutan, maka ibu melepasku layaknya nenek termenung melihatku sambil duduk di beranda. Ibu mengeluarkan topi lusuh  peninggalan ayahku.

“Pakailah ini Andus. Biar bertambah gagah kau ke hutan.” Ujar ibu dengan senyuman yang sumringah kala itu.

Topi itu tentu saja terus aku pakai kala menggembalakan sapi maupun ke ladang. Tak ketinggalan baju putih lusuh berbau matahari, yang membuat nenek tampak begitu tegar melihatnya meski mulai sakit-sakitan, dan semakin sulit untuk berjalan.

Namun begitulah. Apa yang akhirnya terjadi sungguh membuatku merasa bersalah kepada nenek. Baju berbau matahari peninggalan kakek hilang. Pada petang itu, kala aku menangguk puluhan ikan, aku menanggalkan baju dan meletakkannya di pinggir jalan yang tergenang air sungai yang meluap. Dalam hujan yang turun begitu lebatnya, aku  sungguh tak menyadari. Aku sungguh-sungguh menyesal karena kehilangan baju itu.

Hingga hari pada akhirnya nenek meninggal tepat dua bulan setelah kejadian itu, penyesalanku tak kunjung hilang, dan mataku berkaca-kaca bila mengingat wajah nenek.

Pada malam itu, pada malam tujuh hari setelah kematian nenek, aku dan ibu begitu larut bicara tentang masa lalu. Meski hatiku sedih kehilangan nenek, tapi aku masih sempat bercanda pada ibu.

“Gantian kita, Bu. Sekarang giliran ibu memakai baju peninggalan nenek berbau rempah dapur, dan kepulan asap tungku.” (*)

 


Budi Saputra. Lahir pada 20 April 1990. Sejak tahun 2008 ia menulis di berbagai media massa seperti Padang Ekspres, Lampung Post, Suara Merdeka, Batam Pos, Lombok Post, Rakyat Sultra, Kompas, Koran Tempo. Ia merupakan Penulis Emerging UWRF 2012, serta Penulis Kurasi Sibi Kemdikbud 2024 dengan judul buku “Jalan Tropis Puisi”.

Komentar