Cerpen: 7 EPISODE KEHIDUPANMU

 

    Satu

 πΎπ‘’π‘‘π‘–π‘˜π‘Ž π‘…π‘Žπ‘—π‘Ž π‘‘π‘–π‘‘π‘Žπ‘˜ π‘šπ‘Žπ‘‘π‘– π‘ π‘’π‘‘π‘’π‘™π‘Žβ„Ž π‘šπ‘’π‘›π‘π‘œπ‘π‘Ž π‘šπ‘’π‘šπ‘π‘Žπ‘˜π‘Žπ‘Ÿ π‘‘π‘–π‘Ÿπ‘–π‘›π‘¦π‘Ž π‘ π‘’π‘›π‘‘π‘–π‘Ÿπ‘–, π‘–π‘Ž π‘π‘’π‘Ÿπ‘™π‘Žπ‘Ÿπ‘– π‘˜π‘’ π‘˜π‘Žπ‘šπ‘Žπ‘Ÿ, π‘šπ‘’π‘›π‘Žπ‘‘π‘Žπ‘ π‘‘π‘Žπ‘—π‘Žπ‘š π‘˜π‘’ π‘Žπ‘Ÿπ‘Žβ„Ž π‘π‘’π‘Ÿπ‘šπ‘–π‘›. π·π‘Žπ‘Ÿπ‘Žβ„Ž π‘šπ‘’π‘›π‘”π‘”π‘’π‘›π‘Žπ‘›π‘” 𝑑𝑖 π‘€π‘Žπ‘—π‘Žβ„Žπ‘›π‘¦π‘Ž, π‘šπ‘Žπ‘‘π‘Žπ‘›π‘¦π‘Ž π‘šπ‘’π‘Ÿπ‘œπ‘ π‘œπ‘‘ π‘˜π‘’ π‘π‘Žπ‘€π‘Žβ„Ž π‘‘π‘Žπ‘”π‘’, β„Žπ‘–π‘‘π‘’π‘›π‘”π‘›π‘¦π‘Ž π‘™π‘’π‘›π‘¦π‘Žπ‘, π‘™π‘Žπ‘™π‘’ π‘π‘’π‘Ÿπ‘šπ‘–π‘› 𝑝𝑒𝑛 π‘Ÿπ‘’π‘‘π‘Žπ‘˜. π‘…π‘’π‘‘π‘Žπ‘˜π‘›π‘¦π‘Ž π‘ π‘’π‘šπ‘Žπ‘˜π‘–π‘› π‘π‘Žπ‘›π‘¦π‘Žπ‘˜, β„Žπ‘–π‘›π‘”π‘”π‘Ž π‘‘π‘–π‘šπ‘π‘’π‘™ π‘‘π‘Žπ‘Ÿπ‘– π‘ π‘Žπ‘›π‘Ž, π‘ π‘’π‘π‘’π‘Žβ„Ž π‘™π‘œπ‘Ÿπ‘œπ‘›π‘” π‘π‘’π‘ π‘Žπ‘Ÿ π‘¦π‘Žπ‘›π‘” π‘šπ‘’π‘›π‘’π‘™π‘Žπ‘› π‘‘π‘–π‘Ÿπ‘–π‘›π‘¦π‘Ž π‘ π‘’π‘›π‘‘π‘–π‘Ÿπ‘–, π‘˜π‘’π‘šπ‘’π‘‘π‘–π‘Žπ‘› π‘šπ‘’π‘›π‘’π‘™π‘Žπ‘› π‘–π‘ π‘‘π‘Žπ‘›π‘Ž, π‘ π‘’π‘Ÿπ‘‘π‘Ž π‘ π‘’π‘šπ‘’π‘Ž π‘¦π‘Žπ‘›π‘” π‘Žπ‘‘π‘Ž 𝑑𝑖 π‘‘π‘Žπ‘™π‘Žπ‘šπ‘›π‘¦π‘Ž.

Tujuh hari sebelumnya, Ratu berjalan-jalan di dekat kolam penuh teratai. Kau, pelayan yang selalu merasa sial, pelayan yang merawat Ratu dari semenjak kecil, dan mungkin sampai ia mati, mengikuti dari belakang. Lebih sialnya lagi, Ratu kembali menceritakan semua luka-lukanya. Kau hampir selalu merasa mual jika Ratu sudah mulai menjabarkan setiap penderitaan yang ia rasakan.

“Raja pasti bermalam dengan perempuan itu lagi,” katanya. Kau menunduk sejak tadi, mencoba mengalihkan pikiran ke bunga-bunga teratai yang terlihat begitu tenang. Namun, itu tidak berguna. Bayangan tentang wajah Raja sudah memenuhi kepalamu.

“Anda tidak perlu memikirkan itu,” ucapmu. Sebuah kalimat yang terlalu sering diucapkan kepada Ratu. 

“Perempuan itu pasti cantik,” kata Ratu lagi.

Kau diam saja, merasa tidak perlu menanggapi. 

Kemudian setelah hari itu usai, Ratu sakit dan tidak mau menemuimu. Kau baik-baik saja dan cukup senang dengan hal itu.

Namun, meskipun kau bukan pelayan yang baik, malah bisa dibilang pelayan yang sebenarnya banyak buruknya, kau tiba-tiba ingat janjimu kepada Ibunda Ratu. Kau pernah berjanji akan selalu membuat putrinya tetap hidup. Bagaimana kalau Ratu terus sakit-sakitan dan mati? Di saat usianya masih semuda itu?

Maka, setelah dua hari berlalu, kau memaksa untuk bertemu dengan Ratu. Ratu menarikmu ke kamarnya dan bicara yang bukan-bukan.

“Aku melihat Raja bunuh diri. Kemudian semua orang mati. Ditelan cermin.”

Kau ingin tertawa, tapi sekaligus kasihan, karena Ratu mungkin menjadi gila. 

“Di mana Ratu melihat itu semua?”

“Di mimpiku,” katanya. 

Kau menyuruh Ratu beristirahat, tapi sebelum pulang kembali ke tempatmu, Ratu berbisik, “Janji padaku satu hal, perempuan hina. Biarkan aku mati nanti malam. Dan kau, akan kumaafkan.”

Tubuhmu bergetar saat mendengar kalimat-kalimat itu. Jelas, Ratu sudah tahu siapa perempuan yang ditemui Raja hampir setiap malam. Kau menimbang, kau berpikir, Ratu sudah tahu. Kalau kau menyelamatkan Ratu, kalau Ratu terus hidup, sudah tentu kau yang akan mati.

Keesokan paginya, Ratu ditemukan tenggelam di kolam teratai. Kau pura-pura menangis di depan Raja.

Sayangnya, meskipun selanjutnya kau bisa merebut cinta yang seharusnya diterima Ratu, itu tidaklah lama. Kau harus membayar semua yang kau ambil dengan sesuatu yang lain.

Kau mungkin tidak bersalah untuk Ratu, karena Ratu memang ingin mati, tapi kau melanggar janji kepada ibundanya. Itulah yang kemudian membuatmu harus terus hidup dalam waktu yang tidak pernah kau bayangkan. Kau harus terus hidup, meskipun kau tidak ingin. 


Dua

 

Pukul dua pagi. Ibumu menyuruhmu masak mie instan.

“Apa kau diejek lagi?” katanya ketika melihat wajahmu yang murung. 

“Sudah, jangan diambil hati. Memangnya di dunia ini, ada manusia yang tanpa dosa? Tidak mungkin. Jangan-jangan, di antara orang tua murid di sekolahmu, ada yang jadi langganan Ibu.”

Kau tersenyum, menatap air yang mendidih di panci. Ingin rasanya kau terjun ke sana dan tenggelam, meleleh, lebur, hancur sekalian. 

“Apa Ibu tidak malu?” tanyamu.

“Untuk apa? Daripada mati, lebih baik kita berusaha. Semua orang juga begitu. Sudah. Mana mi-nya?”

Kau menyajikan semangkuk mie instan ke hadapan ibumu. Tiba-tiba, ia menarik tanganmu dan melihat ada banyak goresan di sana, dan berkata, “Tetaplah hidup. Semua yang Ibu lakukan, juga untukmu.”

Lalu kau tertawa, sambil membayangkan tahun-tahun gila yang akan kau jelang di masa depan. 

 

Tiga

 

Kau membuka mata dan menyadari bahwa di sini, kau adalah seorang laki-laki tunawisma yang kehilangan pekerjaan dan tidak diterima lagi oleh keluarga. 

Sering kau dapati, orang-orang jahil meludah ke wajahmu. Namun, kau merasa ini lebih baik dari kehidupanmu yang sebelumnya. Setidaknya, kau bisa tertawa bebas di malam hari, berlari-lari di bawah sinar bulan yang bagimu, sebenarnya, tidak ada indah-indahnya sama sekali. Di dalam tawamu, kau masih mengutuk segala hal.

Selanjutnya, di suatu malam, kau diseret oleh orang-orang yang mengaku sebagai polisi dan besoknya, kau diperkenalkan kepada publik sebagai seorang pembunuh. Kau tertawa saat seorang reporter mewawancarai dirimu. 

“Saya memang membunuh. Saya pembunuh.”

Lalu mereka menganggapmu sakit jiwa. Melemparimu batu dan telur busuk. Setelahnya, puluhan tahun, kau mendekam di penjara.

“Ini yang terakhir?” tanyamu kepada hening dini hari yang gelap dan dingin.

π‘‡π‘–π‘‘π‘Žπ‘˜. π΅π‘’π‘™π‘’π‘š.  

 

Empat

 

Baru berjalan beberapa langkah, seseorang sudah memukul kepalamu dari belakang. “Perhatikan langkahmu. Bagaimana bisa kau berjalan seperti itu? Yang benar saja? Ibu bisa gila kalau begini.”

“Ibu, aku ….”

“Apa Ibu menyuruhmu menjawab? Turuti semua yang Ibu katakan. Menikahi lelaki kaya dan berkuasa, sekalipun sudah tua dan penyakitan, itu akan membuatmu bahagia. Kita hanya perlu uang untuk hidup. Lakukan apa saja yang Ibu katakan! Apa susahnya?”

Tanganmu gemetar. Kau juga membenci kehidupan yang ini.

Saat ibumu menyuruhmu becermin, kau ingat masa lalu. Cermin retak. Tanpa menunggu lama, kau tinju cermin itu. Lalu benar, cermin itu pun retak, tapi tidak ada yang terjadi lagi setelah itu.

Besok, kau akan menikah dengan lelaki tua yang penyakitan. Terakhir kali kau bertemu dengannya, kau bisa melihat lelaki itu sedikit bungkuk, matanya kuning, giginya hitam, kulitnya berwarna putih pucat, dipenuhi luka berbau busuk, tapi semua orang hormat kepadanya. 

Kau akan menikah dengannya. Tidur bersama, hidup bersama, entah sampai berapa lama.

 

Lima

 

“Di mana ibumu?” 

Kau menggeleng. Di sampingmu, ada tas besar. Kau dibuang.

“Ya ampun. Ayo ke rumahku, kau bisa tinggal bersama dengan anakku.”

Kau tersenyum, meskipun hanya sebentar saja, sebab kau selalu tahu ada takdir buruk yang akan menghadangmu beberapa saat kemudian.

Saat kau sampai di rumah itu, rupanya rumah itu memang terdapat banyak anak-anak. Kau masuk dan diberi makanan. Kemudian kau tertidur karena sangat lelah. 

Keesokan paginya, kau bangun dan mendapati dirimu di tempat lain. Di sebuah kamar yang beraroma menyengat. Kau tersenyum pahit.

“Apa kehidupan ini tidak terlalu kejam untuk anak perempuan berusia dua belas yang dibuang?”

“Ikuti saja alurnya. Sekalipun kau berusaha untuk lepas, kutukan itu akan tetap mengikuti.” Kau berkata demikian kepada dirimu sendiri.

 

Enam

 

Mungkin, tiga puluh menit lagi, atau lebih. Mungkin, sebentar lagi, kau hanya perlu menunggu ibumu pergi. 

Kau akan menelan pil tidur yang diam-diam kau curi dari laci ibumu. Sepuluh butir? Ya, sepertinya cukup.

Di kehidupan ini, tidak ada yang bisa kau terima. Ibumu tukang mabuk dan suka memukulmu dengan brutal. Ibumu juga sering mengungkapkan penyesalannya karena telah melahirkan dirimu. 

“Tapi Ibu, aku tidak pernah meminta untuk dilahirkan ke dunia ini. Jika Ibu memang tidak ingin jadi seorang ibu, bukankah seharusnya Ibu tahu diri?”

Tiga tamparan mendarat di pipimu kala itu. Lalu kau berpikir, di dunia ini, ada berapa banyak yang seperti dirimu? Menjadi bahan penyesalan, tidak diterima bahkan sejak awal? Dunia ini terlalu busuk.

Sepuluh butir pil tidur. Seharusnya bisa. Seharusnya berhasil. Kau menangis keras-keras setelah terdengar suara pintu ditutup. 

Ibumu sudah pergi.

Kau hanya harus meminum pilnya.

Namun, rupanya kau masih hidup, bahkan untuk besok, besoknya lagi, di percobaan berikutnya, kau tidak kunjung mati.

 

Tujuh

 

Kau melihatku di bawah sini. Di permukaan air sungai. Kau di atas sana, di jembatan, tanpa pertimbangan apa-apa lagi, dengan mantap hendak menjatuhkan diri. 

Kau mengenakan seragam SMA. Setengah wajahmu buruk rupa. Seperti terkena luka bakar. Kau terus menatap tajam ke arahku. Aku mungkin terlihat seperti dirimu yang berusia dua belas di kehidupanmu yang pertama.

Kau berteriak. “Ini yang terakhir?!”

Aku diam sebentar, tapi kemudian tersenyum lagi. “Ya, ini yang terakhir. Setelah semua ini, apa yang kau ingat?”

“Apa?!”

“Apa yang kau ingat!”

“Penderitaan! Takdir sial! Rasa sakit! Semuanya! Sekarang, ini akan berakhir! Benar?”

Suaramu serak. Kau terlalu bersemangat.

 “Melihatku, apa yang kau ingat?!”

“Sama! Penderitaan! Takdir sial! Rasa sakit! Semuanya!”

Aku kecewa dengan jawabanmu. Bukankah, dulu, saat kau ketahuan mencuri, tanganmu tidak jadi dipotong karena Ibunda Ratu menolongmu? Bukankah saat kau merasa sedih, ketakutan, kesepian, Ibunda Ratu datang mengajakmu bicara dan membuatmu tertawa? Bukankah saat kau tidak punya pekerjaan, Ibunda Ratu memberimu kesempatan mengabdi di kerajaan? 

Kenapa?

Kenapa saat kau merasa kesepian, sedih, dan merasakan sendirian lagi, kau melupakan orang yang pernah mencintaimu dengan tulus?

“Hei, kau! Ini yang terakhir, bukan?!” tanyamu lagi.

"Iya! Ini yang terakhir!”

Kemudian kau melompat ke dalam air sambil tersenyum lebar. Kau tidak berusaha untuk berenang. Kau memang ingin tenggelam.

Namun, kau belum akan mati. Masih ada beberapa tahun lagi. 

 (*)

 

Tasikmalaya, 15 Desember 2023

Komentar