Satu
πΎππ‘πππ π πππ π‘ππππ πππ‘π π ππ‘πππβ πππππππ ππππππππ ππππππ¦π π ππππππ, ππ πππππππ ππ πππππ, πππππ‘ππ π‘ππππ ππ πππβ ππππππ. π·πππβ ππππππππππ ππ π€πππβππ¦π, πππ‘πππ¦π πππππ ππ‘ ππ πππ€πβ ππππ’, βπππ’ππππ¦π ππππ¦ππ, ππππ’ ππππππ ππ’π πππ‘ππ. π ππ‘ππππ¦π π ππππππ ππππ¦ππ, βπππππ π‘ππππ’π ππππ π πππ, π πππ’πβ ππππππ πππ ππ π¦πππ πππππππ ππππππ¦π π ππππππ, ππππ’ππππ πππππππ ππ π‘πππ, π πππ‘π π πππ’π π¦πππ πππ ππ πππππππ¦π.
Tujuh hari sebelumnya, Ratu berjalan-jalan di
dekat kolam penuh teratai. Kau, pelayan yang selalu merasa sial, pelayan yang
merawat Ratu dari semenjak kecil, dan mungkin sampai ia mati, mengikuti dari
belakang. Lebih sialnya lagi, Ratu kembali menceritakan semua luka-lukanya. Kau
hampir selalu merasa mual jika Ratu sudah mulai menjabarkan setiap penderitaan
yang ia rasakan.
“Raja pasti bermalam dengan perempuan itu
lagi,” katanya. Kau menunduk sejak tadi, mencoba mengalihkan pikiran ke
bunga-bunga teratai yang terlihat begitu tenang. Namun, itu tidak berguna.
Bayangan tentang wajah Raja sudah memenuhi kepalamu.
“Anda tidak perlu memikirkan itu,” ucapmu.
Sebuah kalimat yang terlalu sering diucapkan kepada Ratu.
“Perempuan itu pasti cantik,” kata Ratu lagi.
Kau diam saja, merasa tidak perlu
menanggapi.
Kemudian setelah hari itu usai, Ratu sakit dan
tidak mau menemuimu. Kau baik-baik saja dan cukup senang dengan hal itu.
Namun, meskipun kau bukan pelayan yang baik,
malah bisa dibilang pelayan yang sebenarnya banyak buruknya, kau tiba-tiba
ingat janjimu kepada Ibunda Ratu. Kau pernah berjanji akan selalu membuat
putrinya tetap hidup. Bagaimana kalau Ratu terus sakit-sakitan dan mati? Di
saat usianya masih semuda itu?
Maka, setelah dua hari berlalu, kau memaksa
untuk bertemu dengan Ratu. Ratu menarikmu ke kamarnya dan bicara yang
bukan-bukan.
“Aku melihat Raja bunuh diri. Kemudian semua
orang mati. Ditelan cermin.”
Kau ingin tertawa, tapi sekaligus kasihan,
karena Ratu mungkin menjadi gila.
“Di mana Ratu melihat itu semua?”
“Di mimpiku,” katanya.
Kau menyuruh Ratu beristirahat, tapi sebelum
pulang kembali ke tempatmu, Ratu berbisik, “Janji padaku satu hal, perempuan
hina. Biarkan aku mati nanti malam. Dan kau, akan kumaafkan.”
Tubuhmu bergetar saat mendengar kalimat-kalimat
itu. Jelas, Ratu sudah tahu siapa perempuan yang ditemui Raja hampir setiap
malam. Kau menimbang, kau berpikir, Ratu sudah tahu. Kalau kau menyelamatkan
Ratu, kalau Ratu terus hidup, sudah tentu kau yang akan mati.
Keesokan paginya, Ratu ditemukan tenggelam di
kolam teratai. Kau pura-pura menangis di depan Raja.
Sayangnya, meskipun selanjutnya kau bisa
merebut cinta yang seharusnya diterima Ratu, itu tidaklah lama. Kau harus
membayar semua yang kau ambil dengan sesuatu yang lain.
Kau mungkin tidak bersalah untuk Ratu, karena Ratu memang ingin mati, tapi kau melanggar janji kepada ibundanya. Itulah yang kemudian membuatmu harus terus hidup dalam waktu yang tidak pernah kau bayangkan. Kau harus terus hidup, meskipun kau tidak ingin.
Dua
Pukul dua pagi. Ibumu menyuruhmu masak mie
instan.
“Apa kau diejek lagi?” katanya ketika melihat
wajahmu yang murung.
“Sudah, jangan diambil hati. Memangnya di dunia
ini, ada manusia yang tanpa dosa? Tidak mungkin. Jangan-jangan, di antara orang
tua murid di sekolahmu, ada yang jadi langganan Ibu.”
Kau tersenyum, menatap air yang mendidih di
panci. Ingin rasanya kau terjun ke sana dan tenggelam, meleleh, lebur, hancur
sekalian.
“Apa Ibu tidak malu?” tanyamu.
“Untuk apa? Daripada mati, lebih baik kita
berusaha. Semua orang juga begitu. Sudah. Mana mi-nya?”
Kau menyajikan semangkuk mie instan ke hadapan
ibumu. Tiba-tiba, ia menarik tanganmu dan melihat ada banyak goresan di sana,
dan berkata, “Tetaplah hidup. Semua yang Ibu lakukan, juga untukmu.”
Lalu kau tertawa, sambil membayangkan
tahun-tahun gila yang akan kau jelang di masa depan.
Tiga
Kau membuka mata dan menyadari bahwa di sini,
kau adalah seorang laki-laki tunawisma yang kehilangan pekerjaan dan tidak
diterima lagi oleh keluarga.
Sering kau dapati, orang-orang jahil meludah ke
wajahmu. Namun, kau merasa ini lebih baik dari kehidupanmu yang sebelumnya.
Setidaknya, kau bisa tertawa bebas di malam hari, berlari-lari di bawah sinar
bulan yang bagimu, sebenarnya, tidak ada indah-indahnya sama sekali. Di dalam
tawamu, kau masih mengutuk segala hal.
Selanjutnya, di suatu malam, kau diseret oleh
orang-orang yang mengaku sebagai polisi dan besoknya, kau diperkenalkan kepada
publik sebagai seorang pembunuh. Kau tertawa saat seorang reporter mewawancarai
dirimu.
“Saya memang membunuh. Saya pembunuh.”
Lalu mereka menganggapmu sakit jiwa.
Melemparimu batu dan telur busuk. Setelahnya, puluhan tahun, kau mendekam di
penjara.
“Ini yang terakhir?” tanyamu kepada hening dini
hari yang gelap dan dingin.
πππππ. π΅πππ’π.
Empat
Baru berjalan beberapa langkah, seseorang sudah
memukul kepalamu dari belakang. “Perhatikan langkahmu. Bagaimana bisa kau
berjalan seperti itu? Yang benar saja? Ibu bisa gila kalau begini.”
“Ibu, aku ….”
“Apa Ibu menyuruhmu menjawab? Turuti semua yang
Ibu katakan. Menikahi lelaki kaya dan berkuasa, sekalipun sudah tua dan
penyakitan, itu akan membuatmu bahagia. Kita hanya perlu uang untuk hidup.
Lakukan apa saja yang Ibu katakan! Apa susahnya?”
Tanganmu gemetar. Kau juga membenci kehidupan
yang ini.
Saat ibumu menyuruhmu becermin, kau ingat masa
lalu. Cermin retak. Tanpa menunggu lama, kau tinju cermin itu. Lalu benar,
cermin itu pun retak, tapi tidak ada yang terjadi lagi setelah itu.
Besok, kau akan menikah dengan lelaki tua yang
penyakitan. Terakhir kali kau bertemu dengannya, kau bisa melihat lelaki itu
sedikit bungkuk, matanya kuning, giginya hitam, kulitnya berwarna putih pucat,
dipenuhi luka berbau busuk, tapi semua orang hormat kepadanya.
Kau akan menikah dengannya. Tidur bersama,
hidup bersama, entah sampai berapa lama.
Lima
“Di mana ibumu?”
Kau menggeleng. Di sampingmu, ada tas besar.
Kau dibuang.
“Ya ampun. Ayo ke rumahku, kau bisa tinggal
bersama dengan anakku.”
Kau tersenyum, meskipun hanya sebentar saja,
sebab kau selalu tahu ada takdir buruk yang akan menghadangmu beberapa saat
kemudian.
Saat kau sampai di rumah itu, rupanya rumah itu
memang terdapat banyak anak-anak. Kau masuk dan diberi makanan. Kemudian kau
tertidur karena sangat lelah.
Keesokan paginya, kau bangun dan mendapati
dirimu di tempat lain. Di sebuah kamar yang beraroma menyengat. Kau tersenyum
pahit.
“Apa kehidupan ini tidak terlalu kejam untuk
anak perempuan berusia dua belas yang dibuang?”
“Ikuti saja alurnya. Sekalipun kau berusaha
untuk lepas, kutukan itu akan tetap mengikuti.” Kau berkata demikian kepada
dirimu sendiri.
Enam
Mungkin, tiga puluh menit lagi, atau lebih.
Mungkin, sebentar lagi, kau hanya perlu menunggu ibumu pergi.
Kau akan menelan pil tidur yang diam-diam kau
curi dari laci ibumu. Sepuluh butir? Ya, sepertinya cukup.
Di kehidupan ini, tidak ada yang bisa kau
terima. Ibumu tukang mabuk dan suka memukulmu dengan brutal. Ibumu juga sering
mengungkapkan penyesalannya karena telah melahirkan dirimu.
“Tapi Ibu, aku tidak pernah meminta untuk
dilahirkan ke dunia ini. Jika Ibu memang tidak ingin jadi seorang ibu, bukankah
seharusnya Ibu tahu diri?”
Tiga tamparan mendarat di pipimu kala itu. Lalu
kau berpikir, di dunia ini, ada berapa banyak yang seperti dirimu? Menjadi
bahan penyesalan, tidak diterima bahkan sejak awal? Dunia ini terlalu busuk.
Sepuluh butir pil tidur. Seharusnya bisa.
Seharusnya berhasil. Kau menangis keras-keras setelah terdengar suara pintu
ditutup.
Ibumu sudah pergi.
Kau hanya harus meminum pilnya.
Namun, rupanya kau masih hidup, bahkan untuk
besok, besoknya lagi, di percobaan berikutnya, kau tidak kunjung mati.
Tujuh
Kau melihatku di bawah sini. Di permukaan air
sungai. Kau di atas sana, di jembatan, tanpa pertimbangan apa-apa lagi, dengan
mantap hendak menjatuhkan diri.
Kau mengenakan seragam SMA. Setengah wajahmu
buruk rupa. Seperti terkena luka bakar. Kau terus menatap tajam ke arahku. Aku
mungkin terlihat seperti dirimu yang berusia dua belas di kehidupanmu yang
pertama.
Kau berteriak. “Ini yang terakhir?!”
Aku diam sebentar, tapi kemudian tersenyum
lagi. “Ya, ini yang terakhir. Setelah semua ini, apa yang kau ingat?”
“Apa?!”
“Apa yang kau ingat!”
“Penderitaan! Takdir sial! Rasa sakit!
Semuanya! Sekarang, ini akan berakhir! Benar?”
Suaramu serak. Kau terlalu bersemangat.
“Melihatku, apa yang kau ingat?!”
“Sama! Penderitaan! Takdir sial! Rasa sakit!
Semuanya!”
Aku kecewa dengan jawabanmu. Bukankah, dulu,
saat kau ketahuan mencuri, tanganmu tidak jadi dipotong karena Ibunda Ratu
menolongmu? Bukankah saat kau merasa sedih, ketakutan, kesepian, Ibunda Ratu
datang mengajakmu bicara dan membuatmu tertawa? Bukankah saat kau tidak punya
pekerjaan, Ibunda Ratu memberimu kesempatan mengabdi di kerajaan?
Kenapa?
Kenapa saat kau merasa kesepian, sedih, dan
merasakan sendirian lagi, kau melupakan orang yang pernah mencintaimu dengan
tulus?
“Hei, kau! Ini yang terakhir, bukan?!” tanyamu
lagi.
"Iya! Ini yang terakhir!”
Kemudian kau melompat ke dalam air sambil
tersenyum lebar. Kau tidak berusaha untuk berenang. Kau memang ingin tenggelam.
Namun, kau belum akan mati. Masih ada beberapa
tahun lagi.
(*)
Tasikmalaya, 15 Desember 2023
Komentar
Posting Komentar