Cernak: BAHAGIA KARENA PUASA

 

 

“Haus. Lapar,” keluh Alif, bocah laki-laki kelas 3 SD.

Entah mengapa cuaca siang hari pada bulan Ramadan terasa makin panas saja. Alif berusaha keras menahan haus dan lapar untuk belajar puasa. Namun, dia hampir tidak kuat melanjutkan puasanya.

Suara beduk terdengar dan azan zuhur berkumandang dari corong masjid. Alif bergegas menghampiri Bunda di dapur.

“Bunda, aku buka puasa sekarang, ya?” rengek Alif.

“Lo, katanya mau belajar puasa sampai magrib? Alif kan sudah kelas 3 SD. Dulu saat kelas 1 dan 2 sudah puasa zuhur terus. Sekarang harus ada peningkatan, dong!” saran Bunda.    

“Tapi, aku nggak kuat lagi.”  

“Bunda belum selesai masak soto ayam, makanan kesukaanmu. Nanti sore baru matang. Jadi, puasanya sampai magrib, ya!”  

Alif tertunduk lesu.

“Ingat juga, Alif! Bunda janji, kalau Alif berhasil puasa magrib sampai sebulan penuh, Bunda akan belikan Alif baju baru dan mainan baru,” Bunda menambahkan.

“Bunda, ini kan baru hari pertama. Besok aku puasa magrib, deh!”

“Alif, hari ini masih libur sekolah sampai tiga hari ke depan. Sejak pagi kamu cuma tiduran aja di rumah. Ayo, kamu pasti kuat! Lanjutkan puasanya, ya!”   

Dengan terpaksa, Alif menuruti perintah Bunda. Dia kembali ke kamar dan melanjutkan tidur agar tidak merasakan perut yang keroncongan. 

***

Setelah tiga hari libur awal bulan Ramadan, Alif mulai masuk sekolah hari ini. Tantangan dan godaan makin besar ditemui oleh Alif. Saat mengayuh sepeda untuk berangkat ke sekolah, dia melihat pohon mangga, jambu, dan rambutan berbuah sangat lebat di tepi jalan. Alif ingin mengambil buahnya dan memakannya secara sembunyi-sembunyi. Namun, hari masih pagi sehingga Alif masih bisa menahan diri.

Di sekolah, Alif berbincang dengan Hamzah, teman sebangkunya ketika jam istirahat tiba. Biasanya, mereka membeli kue bersama di kantin sekolah. Karena sekarang bulan Ramadan, mereka hanya bermain saja tanpa memakan kue atau meminum air.

“Alif, kamu puasa zuhur atau magrib?" tanya Hamzah.

“Puasa magrib, dong!” jawab Alif bangga.

“Alhamdulillah, aku juga puasa magrib.”

“Kamu biasanya minum dan makan apa saat buka puasa? Aku paling suka minum es buah dan makan soto ayam.”

Hamzah berpikir sejenak, lalu menjawab, “Iya, sama. Aku juga suka itu. Eh, tapi jangan ngobrolin minuman dan makanan saat puasa.”  

“Kenapa?”

“Nanti jadi ingin makan dan minum. Khawatir batal puasanya.”

Sebenarnya mengeluh lapar dan membicarakan makanan itu tidak membatalkan puasa. Namun, Hamzah merasa malu teringat menu makanan di rumah yang seadanya. Hamzah dan Alif pun mengalihkan obrolan kepada hal lain.

Saat zuhur sepulang sekolah, badan Alif terasa sangat lemas. Dia tergeletak di tempat tidur sambil merintih, “Lapar. Haus. Aku buka puasa sekarang ya, Bun?”

Bunda merasa kasihan melihat putranya tidak berdaya setelah pulang sekolah. Sejak hari itu, Alif berbuka puasa setiap pulang dari sekolah dengan alasan lelah.

Berbeda dengan Hamzah. Anak laki-laki dari keluarga sederhana itu terbiasa puasa magrib sejak kelas 2 SD. Walaupun berbuka dengan minuman dan makanan seadanya, Hamzah tetap bahagia.

“Hamzah, sangat banyak manfaat berpuasa bagi kita. Tubuh kita jadi sehat. Kita juga bisa lebih berhemat,” begitu nasihat Ibu.

“Iya, Bu. Aku senang berpuasa.”

“Ada dua kebahagiaan bagi orang yang berpuasa,” Ayah mengutip sebuah hadis, “Orang yang berpuasa akan meraih dua kegembiraan, kegembiraan ketika berbuka puasa/berhari raya, dan kegembiraan ketika bertemu Tuhannya. (HR. Muslim) Hamzah tentu bahagia bisa makan saat buka puasa dengan rezeki dari Allah, mendapat pahala, silaturahmi ketika Lebaran, dan kelak bertemu dengan Allah di akhirat. Iya, kan?”

“Tentu, Yah. Amin.” Senyum Hamzah mengembang. Dia tetap gembira membayangkan hari raya nanti meskipun tidak pernah dibelikan baju baru oleh orang tuanya.

***

Pada pertengahan bulan Ramadan, SD tempat Alif dan Hamzah bersekolah mengadakan acara buka bersama. Khusus hari ini Alif berpuasa hingga magrib karena malu jika ditanya oleh guru dan temannya. Hamzah sudah terbiasa puasa magrib, tapi ada yang luar biasa baginya hari ini.

“Alhamdulillah, ayam goreng krispi!” pekik Hamzah kegirangan. Setelah berdoa, mencicipi takjil, dan salat Magrib, para siswa makan bersama di aula.  

Alif terheran-heran. “Biasa aja kali! Aku sering banget makan ayam goreng, hampir tiap hari. Emangnya kamu nggak pernah?” Dia iseng bertanya.

Tanpa disangka, Hamzah menggeleng. “Aku jarang banget makan daging sapi, ayam, ikan, dan telur. Biasanya kalau dapat itu dari nasi berkat atau syukuran tetangga aja. Setiap hari Ibu masak lauk tahu, tempe, dan sayuran.”  

Mendadak, selera makan Alif lenyap. Dia tidak menyangka teman sebangkunya selalu makan lauk yang sangat sederhana. Mungkin Alif akan bosan dan marah-marah bila Bunda setiap hari masak menu yang sama. Dia baru menyadari betapa melimpah rezeki keluarganya.  

Keesokan harinya, Alif merenung. Wajah semringah Hamzah saat menyantap ayam goreng terus terbayang. Alif malu kepada dirinya sendiri bila masih puasa zuhur. Dia mulai puasa magrib setiap hari.

***

Tanpa terasa, bulan Ramadan tinggal seminggu saja. Alif bertekad puasa magrib hingga hari terakhir Ramadan. Ketika Ramadan tinggal dua hari, Bunda dan Ayah ingin menepati janji mereka untuk membelikan Alif baju dan mainan. Namun, Alif mempunyai satu permintaan lagi.

“Ayah, Bunda. Yuk, kita ajak temanku, Hamzah, buka puasa bersama. Nanti belikan baju dan mainan buat dia juga, ya.”  

Ayah dan Bunda menyanggupi permintaan Alif. Mereka mengajak Hamzah makan di restoran dan belanja di mal. Ini pertama kalinya Hamzah merasakan kebahagiaan lain menjelang hari raya.

“Terima kasih, Alif. Kamu sahabat terbaikku. Sebenarnya kamu nggak perlu melakukan semua ini. Aku tetap gembira bisa puasa dan berhari raya. Di luar sana banyak orang sakit yang nggak bisa menikmati ibadah Ramadan seperti kita. Jadi, kita harus bersyukur dan bahagia bisa berpuasa.” Hamzah menyampaikan ajaran orang tuanya.    

“Aku yang berterima kasih kepadamu, Hamzah. Darimu, aku jadi paham bahwa kita bisa bahagia karena berpuasa. Dulu aku merasa sangat berat untuk puasa. Alhamdulillah, sekarang aku lebih kuat puasa sampai magrib.”  

“Alhamdulillah. Ayo sekarang kita ikut takbir keliling!”  

Dua sahabat itu bergembira merayakan malam takbiran dengan penuh rasa syukur.


*) Riski Diannita, ibu rumah tangga yang gemar literasi sejak remaja dahulu. Ia lulusan S-1 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia serta menekuni kepenulisan semenjak tamat kuliah. Mulai 2016, karyanya terbit di beberapa buku antologi maupun buku solo secara indie. Aktivitasnya kini sebagai pengajar les, penulis, dan freelancer editor sejak 2019. Ia aktif sebagai anggota FLP Cabang Mojokerto. Penulis dapat disapa melalui media sosial Facebook: Diannita Riski, Instagram: @riskidiannita

 

 

Komentar