Sejak dulu, kerbau adalah entitas yang tak terpisahan dalam peradaban manusia. Di berbagai belahan dunia, keberadaan kerbau berjalin kelindan dalam interaksi sosial, tradisi masyarakat, maupun dalam cerita imajinasi yang sarat nilai edukasi. Di negeri ini, keberadaan kerbau boleh dikatakan tak begitu sulit ditemui. Bagi orang yang tinggal di daerah pedesaan, maka sudah barang tentu peluangnya bersentuhan dengan hewan memamah biak ini cukuplah besar. Kalaulah tidak sebagai petani atau penggembala, minimal ia tiap hari melihat kerbau berkeliaran di pinggir jalan atau di sawah-sawah berlumpur.
Kerbau tak ubahnya sebagai simbol kuat yang menimbulkan
gairah dan etos kerja petani yang sangat terbantu akan kehadirannya untuk
membajak sawah maupun membawa hasil pertanian. Bahkan pada masa lampau, kerbau banyak
disulap sebagai alat transportasi sebagaimana di Sumatera Barat dikenal dengan nama
pedati. Dalam tataran yang lebih luas, kerbau tentu memiliki potensi lain dalam
memenuhi kebutuhan manusia, yaitu sebagai sumber tenaga kerja multiguna,
penghasil daging, susu, pupuk kandang serta alat kerajinan.
Di berbagai daerah Indonesia, keberadaan kerbau memberikan
makna tersendiri yang tidak saja sebatas pemanfaatan daging, tenaga maupun susu
untuk diperah menjadi dadih di Sumatera Barat, menjadi minyak samin (mentega)
di Aceh, maupun menjadi dangke yang diolah dengan getah pepaya seperti yang lazim
ditemukan di Enrekang, Sulawesi Selatan. Tapi lebih dari itu, bahwa keberadaan kerbau
juga erat kaitannya dengan akar tradisi masyarakat.
Di Sunda misalnya, ada tradisi petani mengajak kerbau
bicara saat membajak sawah. Di Jembrana,
Bali, ada namanya tradisi Makepung, yaitu tradisi pacuan kerbau yang menarik
gelinding atau sejenis alat pengangkut yang ditarik oleh sepasang kerbau. Banyuwangi
lain lagi dengan adanya tradisi yang bernama Kebo-keboan sebagai wujud rasa
syukur terhadap hasil panen yang mereka terima. Kemudian di Sulawesi Selatan
ada tradisi Rambu Solo, yaitu upacara pemakaman yang diselingi kegiatan menyembelih
kerbau sebagai penghormatan terakhir bagi seseorang yang meninggal.
Jumlah yang Menyusut
Tak bisa dipungkiri bahwa hubungan kerbau dan petani
memberikan warna tersendiri dalam dunia pertanian. Sebelum adanya kemajuan teknologi
seperti traktor membajak sawah, tenaga kerbau senantiasa dibutuhkan petani
dalam mengolah tanah pertanian. Tapi yang namanya perubahan zaman, tentu ada sesuatu
yang tergantikan dan lambat laun akan ditinggalkan. Sebagaimana orang-orang tak
lagi memakai televisi hitam putih, dan kini beralih memakai televisi berwarna
dengan konsep digital dan internet.
Setali tiga uang dengan ilustrasi di atas, kerbau pun
tak luput dari siklus kehidupan yang terbilang sangat memprihatinkan. Sebab di balik
bergesernya peran kerbau yang digantikan traktor, maka perlahan populasi kerbau
pun berkurang. Petani lebih memilih menggunakan traktor hingga menjual kerbau
sebagai alternatif terakhir dari siklus tersebut. Menurut Badan Pusat Statistik,
populasi kerbau di Indonesia mengalami penurunan drastis pada kurun tahun
2000-2022. Di mana tahun 2000 jumlahnya sekitar 2,4 juta ekor, maka pada tahun
2022 jumlahnya hanya berkisar 1,1 juta ekor.
Lahan Sawit dan Kerbau
Meski romantisme kerbau dan petani sudah mulai memudar
di lahan persawahan, namun tak demikian dengan lahan kelapa sawit yang saling memberikan
keuntungan terhadap keberadaan kerbau. Bahkan jika ditelusuri lebih mendalam,
maka ada potensi energi baru yang bisa bisa dipakai dan terintegrasi dengan
pengembangan energi baru terbarukan (EBT).
Tapi sebelum sampai pada bahasan itu, maka mari kita
simak betapa petani memahami betul, bahwa keberadaan kerbau sangat penting di
area perkebunan kelapa sawit. Sebagai contoh, studi kasus di Pangkal Pinang menggambarkan
bahwa meski petani memiliki kualitas tanah kelas tiga, maka ini bisa disiasati
dengan memelihara beberapa ekor kerbau untuk dibiarkan membuang kotoran
sembarangan. Ini bertujuan untuk memperbanyak mikroba guna membantu proses
penetrasi humus ke dalam tanah semi kaolin, atau tanah keras yang tak bisa
ditembus air.
Integrasi serupa juga terjadi di Kabupaten Lebak, Banten.
Di mana banyak kerbau yang dibiarkan memakan rumput di perkebunan kelapa sawit
yang merupakan upaya untuk mempertahankan populasi kerbau, dan merupakan
benteng terakhir untuk menjaga agar populasi kerbau tetap ada dan berkembang di
kabupaten tersebut. Hal ini boleh jadi adaptasi dari Peraturan Menteri
Pertanian Nomor 105 Tahun 2014 tentang Integrasi Usaha Perkebunan Kelapa Sawit dengan
Usaha Budi Daya Sapi Potong. Bahkan diperkuat dengan usaha Pemerintah Kabupaten
Lebak, yang menargetkan swasembada daging tahun 2025, sehingga terus diupayakan
peningkatan populasi peternakan kerbau melalui inseminasi buatan (IB).
Gambaran simbiosis mutualisme kerbau dan lahan kelapa
sawit ternyata tak di situ. Di sinilah
kreatifitas petani dibutuhkan dalam memanfaatkan kohe (kotoran hewan) untuk dikonversi
menjadi biogas. Di mana gas metan dari biogas ini bisa dimanfaatkan untuk
memasak, penerangan, serta menghasilkan pupuk organik padat dan pupuk organik
cair. Biogas sendiri adalah energi alternatif yang sedang gencar dikembangkan
dan berpotensi menggantikan BBM. Hal ini ditegaskan oleh Pakar Peternakan dan
Wakil Dekan Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada (UGM) Bidang
Penelitian, Bambang Suwignyo yang menyatakan, bahwa potensi ekonomi dari
kotoran sapi dan kerbau di seluruh Indonesia bisa mencapai Rp 64,3 triliun
setiap tahun.
Menarik memang atas potensi yang dihasilkan oleh
biogas yang berasal dari kotoran kerbau atau sapi yang bisa dikembangkan di
lahan kelapa sawit. Berangkat dari hal demikian, setidaknya petani masa sekarang
boleh jadi tidak melulu identik dengan kerbau untuk mengolah lahan pertanian. Banyak
ide kreatif atau potensi lain yang bisa dikembangkan seiring dengan transformasi
dunia digital yang membantu para petani mengembangkan sistem dan produk pertanian.
Terkait hal ini, tentu sangat dibutuhkan peran pemerintah
dan sinergi berbagai pihak. Bagaimana populasi kerbau, produksi biogas, produksi
pertanian, serta regenerasi petani
muda terus meningkat, yang tentu saja
semua itu sangat erat kaitannya dengan Sensus Pertanian digelar Badan Pusat
Statistik (BPS) setiap sepuluh tahun sekali tersebut. (*)
Budi Saputra. Lahir pada 20 April 1990. Sejak tahun 2008 ia menulis di berbagai media massa seperti Padang Ekspres, Lampung Post, Suara Merdeka, Batam Pos, Lombok Post, Rakyat Sultra, Kompas, Koran Tempo. Ia merupakan Penulis Emerging UWRF 2012, serta Penulis Kurasi Sibi Kemdikbud 2024 dengan judul buku “Jalan Tropis Puisi”.
Komentar
Posting Komentar