PEMURNIAN MINANGKABAU DALAM CATATAN SEJARAH

 

Oleh: Qatrunnada Almumtahanah Anwar*


A. Pendahuluan

            Minangkabau adalah salah satu etnik kesukuan yang ada di Indonesia. Daerah Minangkabau disebut Alam Minangkabau yang terdiri dari darek dan rantau. Darek adalah kawasan inti yang terdapat di dataran tinggi di sekitar gunung Marapi sementara rantau adalah kawasan yang mengelilingi kawasan darek, termasuk daerah pesisir.

            Secara geografis, wilayah Minangkabau meliputi keseluruhan Sumatera Barat, sebagian daratan Riau, bagian utara Bengkulu, bagian barat Jambi, pantai barat Sumatera Utara, pantai barat daya Aceh hingga Negeri Sembilan di Malaysia. Kesamaan penerapan sistem matrilinial menjadi alasan penghitungan wilayah ini.

            Minangkabau dikenal dengan kearifan lokalnya yang berkecocokan banyak dengan ketentuan Islam. Setelah Aceh, Minangkabau khususnya Sumatera Barat adalah daerah yang kental keislamannya. Bahkan slogan Minangkabau yang terkenal, berbunyi ‘adaik basandi syarak, syarak basandi kitabullah’. Adat bersandikan syariat, syariat bersandikan kitabullah.

            Minangkabau tidak langsung bernuansa dan beridentitaskan Islam sejak masa berdirinya. Prasasti Adityawarman di Batusangkar menjadi salah satu bukti bahwa seperti banyak kerajaan lainnya di nusantara, Minangkabau memiliki corak Budha di awal masa berdirinya. Barulah ketika Islam masuk melalui jalur perdagangan hal itu berubah. Identitas dan budaya Minangkabau terus mengalami penyesuaian hingga pada satu titik lahir slogan ‘adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah’.

            Perang Padri adalah salah satu peristiwa bersejarah yang terjadi di masa pendudukan kolonial Belanda. Dipimpin oleh Imam Bonjol dan delapan tokoh lain yang dikenal sebagai Harimau nan Salapan, perang ini disebut sebagai peristiwa yang memainkan peran penting dalam terbentuknya Minangkabau seperti adanya saat ini.

            Konflik antara kaum tua dan kaum muda yang kemudian membesar menjadi perang berlangsung selama puluhan tahun. Keterkaitan kolonial Belanda membuat perang ini justru menjadi awal persatuan kaum adat dan kaum agamais saat itu. Belanda bahkan sempat kewalahan menghadapi dua kaum ini sehingga mereka menawarkan gencatan senjata selama lima tahun lamanya agar dapat memusatkan kekuatan menghadapi Perang Diponegoro di Jawa.

            Bagaimana Perang Padri berdampak pada kehidupan dan tatanan masyarakat Minangkabau di zaman ini? Apa saja faktor yang menghadirkan slogan terkenal Minangkabau? Mari simak lebih lanjut untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.

 

B. Pembahasan

            Ada perbedaan pendapat mengenai asal-usul nama Padri. Pendapat pertama berpendapat bahwa nama Padri adalah nama pemberian Belanda yang diambil dari bahasa Portugis Padre yang berarti bapak. Belanda menyamakan posisi imam dan tokoh agama yang memimpin Perang Padri dengan posisi pendeta. Pendapat yang lain menyatakan bahwa nama Padri diambil dari Pidi, sebuah daerah di Aceh.

            Kondisi masyarakat Minangkabau di akhir abad ke-17 masihlah belum sesuai dengan ajaran-ajaran Islam, tidak sebanding dengan lamanya Islam masuk ke Minangkabau. Kebiasaan-kebiasaan buruk masyarakat seperti berjudi, menyabung ayam, dan riba membuat resah kaum agamis. Ditambah dengan sedang naik daunnya gerakan wahabi di Arab Saudi, jamaah haji saat itu ingin pula melakukan reformasi yang sama di Minangkabau.

            Perang Padri terjadi pada 1803-1838 masehi. Selama 35 tahun tersebut, ada sejumlah nama yang muncul sebagai tokoh penting. Di antara tokoh-tokoh yang terlibat dalam Perang Padri adalah Tuanku Imam Bonjol, Tuanku Nan Renceh, Tuanku Lubuk Aur, Tuanku Berapi, Tuanku Padang Lawas, Tuanku Padang Luar, Tuanku Galung, Tuanku Biaro, serta Tuanku Kapau. Tidak ketinggalan Tuanku Rao dan Tuanku Tambusai. (Subroto, 1986)

            Perang ini terbagi menjadi 3 periode. Periode satu adalah di mana perang ini masih berbentuk konflik internal antara kaum agamis dan kaum adat. Konflik berbentuk perang saudara ini melibatkan suku Minang dan suku Mandailing. Periode dua ditandai dengan kaum adat meminta pertolongan Belanda untuk melawan kaum padri. Hal ini membuat perang menjadi begitu sengit dan intensitas juga skalanya semakin membesar. Tuanku Imam Bonjol dan pasukan Padri menerapkan strategi gerilya yang menyusahkan pasukan kolonial Belanda.

            Kemudian Belanda mengusulkan gencatan senjata karena di saat yang bersamaan, meletus Perang Diponegoro di Jawa. Belanda menganggap perang tersebut lebih berbahaya mengancam kekuasaan mereka di Batavia, Belanda kemudian memusatkan kekuatan militernya untuk itu. Mereka menarik sebagian besar serdadu dari Sumatera Barat dan hanya menyisakan 700 prajurit untuk melindungi benteng-benteng yang ada. Gencatan senjata ini berlangsung selama lima tahun.

            Di akhir masa perang periode kedua, kaum adat kemudian menyadari bahwa Belanda sesungguhnya tidak murni ingin membantu mereka melawan pasukan Padri. Belanda memiliki kepentingan sendiri. Mereka ingin memperluas kekuasaan di Sumatera Barat dan memanfaatkan perang saudara yang ada sebagai alat. Dengan demikian, kaum adat dan kaum padri kemudian bersatu untuk melawan Belanda guna melindungi tanah air.

            Perjanjian kerjasama antara kedua belah pihak ini terjadi di lereng Gunung Tandikat. Perjanjian ini menandakan periode tiga dari Perang Padri. Kaum adat dan kaum padri yang bersatu melakukan perlawanan yang gigih terhadap pasukan kolonial Belanda. Namun, kemenangan Belanda di Jawa membuat mereka bisa memusatkan kekuatan melawan kaum pribumi ini dan membuat mereka kewalahan.

            Meskipun sempat menolak tawaran perundingan dari Belanda, Tuanku Imam Bonjol akhirnya menerima tawaran tersebut setelah menyaksikan bagaimana banyaknya pasukannya yang telah gugur dan yang tersisa pun telah merasakan keletihan yang teramat. Belanda berbuat curang dan melakukan hal yang sama seperti yang mereka lakukan pada Pangeran Diponegoro. Tuanku Imam Bonjol ditangkap saat berniat menghadiri perundingan. Ia kemudian dipindahkan ke Cianjur, lalu ke Ambon, di mana tokoh besar ini wafat pada 1864. (Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto, 1990)

            Perang yang berlangsung selama 35 tahun lamanya ini menimbulkan banyak korban jiwa dari pihak padri maupun kaum adat. Kerugian materi yang diderita masyarakat pribumi setelah perang habis-habisan membuat Belanda semakin mudah menancapkan kekuasaannya di Minangkabau. (Subroto, 1987)

            Meskipun kaum Padri kalah pada akhirnya, pemikiran dan reformasi yang mereka bawa tidak sepenuhnya hilang. Gagasan mengenai penerapan islam secara ketat dan menyeluruh terus memengaruhi perkembangan islam di Indonesia khususnya di daerah Minangkabau sendiri. Gagasan ini juga kemudian menjadi faktor perjuangan dalam melawan kolonialisme.

            Konsep ‘adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah’ lahir melalui adanya Perang Padri. Tidak salah di kemudian hari perang ini disebut sebagai gerakan purifikasi islam di Minangkabau yang hasilnya dapat disaksikan saat ini. Kompromi di bidang sosial dan budaya pun akhirnya tercapai. Adat istiadat yang tidak sesuai dengan ajaran islam perlahan ditinggalkan. Adat yang awalnya tidak dapat disentuh mengalami penyesuaian yang lebih selaras dengan ajaran islam. Perubahan tatanan politik dan hukum juga terjadi. Masyarakat Minangkabau yang bersistemkan matrilinial mengalami penyesuaian. Terjadi kesepakatan bersama untuk menggabungkan hukum syariat dan hukum adat dalam kehidupan sehari-hari. Masyarakat Minangkabau akan tetap menggunakan konsep matrilinial untuk hal-hal berkait adat dan menggunakan konsep patrilinial dalam hal-hal berkait agama.

            Perang Padri adalah salah satu contoh bagaimana konflik tidak sepenuhnya buruk dan harus berakhir dengan buruk pula. Kegigihan kaum padri dalam memperjuangkan praktik agama islam yang menyeluruh di wilayah Minangkabau menghasilkan suatu titik temu antara kaum adat dan kaum padri sendiri.

 

C. Kesimpulan

Minangkabau merupakan salah satu etnik kesukuan terbesar di Indonesia. Meskipun pada awal keberadaannya Minangkabau sempat dipimpin oleh Adityawarman yang beragamakan buddha, identitas keislaman begitu melekat dengan suku Minangkabau. Konflik antara kaum tua dan kaum muda yang kemudian meletus menjadi Perang Padri adalah satu di antara banyaknya sejarah  menarik Minangkabau.

Perang Padri berlangsung selama 35 tahun dengan pembagian 3 periode. Perang yang awalnya merupakan perang saudara ini pada akhirnya menjadi gerakan perlawanan pada kolonial Belanda. Kekalahan pasukan padri dan pasukan adat tidak serta merta membuat perjuangan mereka tidak berarti. Slogan masyhur Minangkabau saat ini, ‘adaik basandi syarak, syarak basandi kitabullah’menjadi bukti.

Kondisi masyarakat Minangkabau pada akhir abad ke-17 memang jauh dari ajaran islam. Setelah Perang Padri usai dan slogan baru telah ditetapkan sebagai bentuk kompromi kedua belah pihak, Minangkabau mengalami masa purifikasi. Kebiasaan-kebiasaan buruk seperti menyabung ayam dan berjudi perlahan hilang. Meyakinkan kita semua bahwa tidak seluruh silang pendapat dan kekalahan berakhir buruk. Perjuangan Tuanku Imam Bonjol dan belasan  ribu prajurit di masa lalu menghasilkan Minangkabau yang lebih murni dan islami seperti yang kita lihat saat ini.

          

Daftar Pustaka

Poesponegoro, Marwati Djoened, dan Nugroho Notosusanto. 1990. Sejarah Nasional Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Subroto, K. 1987. Gerakan Padri. Jakarta: Pustaka Jaya.

Subroto, K. 1986. Tuanku Imam Bonjol. Jakarta: Balai Pustaka.


*Mahasiswa Prodi Sejarah Peradaban Islam Universitas Islam Negeri Imam Bonjol Padang


Komentar