Pak Muncak duduk semakin gelisah.
Suara riuh pengunjung warung yang sedang mengadakan
rapat dadakan itu mengelu-elukan namanya. Penuh semangat. Bukannya senang, Pak
Muncak malah merasa dirinya terpojok. Serba salah.
Menyesal dia pergi ke warung.
“Pokoknya Pak Muncak harus maju, saya yakin tidak ada lagi yang lebih
mampu dan lebih kompeten,” suara Sutan Siri yang duduk di deretan tengah warung mendapat tepuk
tangan menggema. Kedai kopi yang berukuran sempit itu seakan mau pecah dengan
suara-suara sorakan peserta rapek mancik[1] itu.
Jarum jam tepat berada di angka sebelas malam.
“Ya, tiada yang lebih pantas selain Pak Muncak, kita sudah
mengenalnya lebih dari berpuluh tahun. Jika kita tidak mencalonkan beliau,
pasti Datuak Permato dengan mudah akan memenangkan pemilihan kali ini,” suara Datuak
Palimo mencuat di antara teriakan-teriakan itu.
Pak Muncak semakin resah.
“Bagaimana Pak Muncak? Bapak bersedia untuk mencalonkan diri? Saya
jamin Bapak pasti menang tanpa perlawanan berarti, hanya Datuak Permato
yang jadi saingan Bapak. Tapi kami yakin, suaranya tidak akan seberapa. Bapak
bersedia, bukan?” suara Haji Mambang yang sepertinya sudah didaulat untuk
menjadi pemimpin rapat membuat duduk Pak Muncak menjadi semakin tidak tenang.
Angin malam menerobos ke dalam warung. Dingin.
Pak Muncak berkeringat.
“Begini Pak Haji, ambo[2] tidak mau
buru-buru menjawab, bagi ambo ini bukan perkara kecil, ini adalah amanah yang
berat, berikanlah ambo waktu beberapa hari ini untuk berpikir.” Pak Muncak
memberikan jawaban. Cukup diplomatis. Dan sidang darurat alias rapek mancik yang dimulai usai shalat
tarawih tadi pun ditutup sampai di situ.
Tergesa Pak Muncak melangkahkan kakinya meninggalkan warung. Jangan
sampai ada yang bertanya lagi. Dia tidak siap menjawab. Dan dia memang tidak
ingin menjawab.
Begitu banyak warga desa yang ingin dirinya maju untuk menjadi salah
seorang calon dalam pemilihan kepala desa setelah lebaran nanti. Sudah lebih setahun
jabatan itu kosong. Kepala desa yang lama meninggal dunia, serangan jantung.
Ketahuan korupsi oleh warga, menyalahgunakan uang santunan masyarakat miskin.
Apakah dia memang layak? Pak Muncak menggeleng sendiri. Tidak! Dia
sungguh-sungguh tidak layak. Bagaimana mungkin dia akan menjadi orang nomor
satu yang akan memimpin ribuan
kepala di desa itu jika mengendalikan empat kepala saja
dia merasa gagal?
***
“Uda yakin…?” kening Mak Odah berkerut. Sepertinya ragu dengan usul
yang baru saja diutarakan Pak Muncak, suaminya.
“Tidak ada cara lain, Odah. Aku yakin ini akan berhasil.” Pak Muncak
menyandarkan tubuh ringkihnya ke sandaran kursi kayu yang sedang didudukinya.
Matanya menatap ke luar dari daun jendela rumah
gadang[3] yang belum
ditutup. Angin malam yang dingin menerpa tubuhnya yang hanya mengenakan sehelai
sarung, tapi Pak Muncak sama sekali tidak merasakan dingin, sudah terbiasa. Dua
orang laki-laki yang baru pulang minum kopi di warung ujung desa lewat di depan
rumahnya dan berteriak memanggil Pak Muncak. Pak Muncak menyahut, lalu kemudian
matanya menatap ke langit yang malam ini dipenuhi bintang.
Rindu pun menyeruak.
Mata Pak Muncak tidak berkedip saat matanya melihat empat buah
bintang yang paling dekat dengan bulan berkedip-kedip ke arahnya. Keempat
bintang itu saling berkejaran, bersembunyi dan kemudian ke luar lagi dari balik
rembulan. Satu bulir bening tiba-tiba jatuh menuruni pipi Pak Muncak.
Mak Odah bergegas menutup daun jendela. Kebiasaan suaminya memang
begitu. Setiap menatap angkasa malam dan bercengkerama dengan bulan-bintang, air
matanya pasti menetes. Ah, bukankah aku juga begitu? pikir Mak Odah. Hanya saja
dia lebih bisa menyembunyikan hal itu.
“Apakah harus dengan perceraian?” Mak Odah duduk di samping Pak
Muncak. Pak Muncak kaget. Buru-buru menghapus air mata di pipi. Sama sekali
tidak disadarinya keempat bintang yang tadi menyapanya sudah hilang terhalang
daun jendela.
“Aku hanya ingin mereka pulang, Odah. Aku tidak ingin mengecewakan
para warga. Keinginan mereka untuk mencalonkanku begitu kuat. Tapi aku merasa
tidak pantas, Odah. Aku merasa sangat tidak pantas jika mereka tidak pulang
lebaran ini. Aku…. ah tidak… kita Odah, kita sebagai orang tua telah gagal.”
“Tidak bisakah dengan kata-kata lain? Mengapa harus kata cerai, Uda?
Bagaimana nanti jika malaikat mengaminkan?”
“Tuhan mengetahui niatku Odah, Tuhan tahu apa isi hati kita.
Menurutku itu yang paling baik. Odah, sudahlah, tolong ambilkan buku tulis di
atas meja kamar, penanya ada dalam kantong bajuku. Besok akan kukirimkan
semua.”
***
Pak Muncak kembali memandang keempat amplop putih di tangannya.
Empat amplop.
Empat alamat tujuan.
Satu pengirim.
Amplop pertama untuk Syahrul di Yogyakarta. Sudah lebih sepuluh tahun si sulung
itu di sana. Punya seorang istri, empat orang anak. Hanya anak tertua yang
dikenal Pak Muncak, cucu tertuanya. Itupun saat berumur 3 tahun. Sekarang
mungkin sudah SMA.
Amplop kedua untuk Yusrizal di Pontianak. Sejak tamat kuliah dari
STT Telkom Bandung tujuh tahun lalu, dia langsung dapat pekerjaan di Pontianak.
Pernikahannya dengan gadis Pontianak dan kelahiran kedua orang anaknya hanya
dikabarkan lewat surat.
Amplop ketiga tertuju ke kota Jakarta, untuk Siti Rohani. Terakhir
Pak Muncak bertemu dengannya lima tahun lalu. Saat itu Siti memutuskan untuk
menikah padahal kuliahnya di Universitas Indonesia belum lagi rampung. Sekarang
Siti juga mempunyai dua orang anak. Pak Muncak hanya melihatnya lewat foto yang
dikirimkan.
Yang terakhir, amplop keempat, ditujukan buat si bungsu di kota
Medan, Muhammad Adnan. Adnan kuliah di universitas nomor satu di luar pulau
Jawa, Universitas Sumatera
Utara. Bekerja dan menikah juga di kota Medan. Sudah
hampir empat tahun Pak Muncak tidak melihat wajah Adnan, bahkan menantunya yang
bermarga Lubis dan telah memberikannya cucu nomor sembilan pada lebaran tahun
lalu sama sekali belum pernah bertemu dengannya.
Tahun berganti tahun, lebaran demi lebaran dilewatinya berdua dengan
Mak Odah. Hanya amplop-amplop putih yang bertandang ke rumah gadang miliknya
setiap lebaran tiba.
“Maaf Bapak, maaf Mak,
tahun ini tidak bisa pulang, pekerjaan tidak bisa ditinggalkan.”
“Pak, Mak, si bungsu baru
saja sembuh dari sakit, tidak mungkin diajak melakukan perjalanan jauh.”
“Waktu cuti hanya tiga hari
Pak, Mak, tidak sempat untuk pulang kampung.”
“Lebaran ini saya
berlebaran di rumah mertua lagi, mudah-mudahan tahun depan kami bisa pulang
kampung.”
Pak Muncak sangat hafal sekali dengan semua isi surat-surat itu.
Tiap tahun dia selalu mendapatkan hal senada, dengan alasan yang selalu
berubah, kadang sama.
Keempat anak itu seakan tenggelam di rantau. Padahal tidak hanya dia
dan Mak Odah yang merindukan mereka. Rumah gadang juga. Sungai di kaki bukit
juga. Pohon mangga di tepi sawah pasti juga merindukan lemparan-lemparan
mereka.
Entah apa yang membuat mereka begitu betah di rantau dan melupakan
tanah kelahiran. Apakah karena kampung ini masih tertinggal jauh dari kemajuan?
Memang belum ada listrik yang menerangi kampung ini, belum ada sinyal sehingga
HP tiada berguna di sini. Atau mungkinkah karena rupiah yang telah membuat
mereka enggan balik ke desa?
Makanya Pak Muncak bertekad, tahun ini mereka harus pulang. Cukup
sampai di sini dia gagal. Tak kan terulang lagi kesalahan itu. Dia juga tidak
ingin mengecewakan para warga. Aspirasi warga yang ingin dia maju pada
pemilihan nanti akan dipenuhinya dengan satu syarat, keempat anaknya pulang
lebaran ini.
Lalu surat yang biasanya berisi kalimat, “Apakah lebaran ini kalian pulang”? kali ini ditukar oleh Pak
Muncak dengan kalimat, “Pulanglah,
sehabis lebaran nanti aku dan mak kalian akan bercerai.”
Pak Muncak yakin, lebaran kali ini rumah gadang akan dipenuhi
teriakan anak-anak, cucu-cucunya.
***
Keempat surat telah terkirim. Kini Pak Muncak tinggal menunggu.
Surat itu pasti telah diterima oleh keempat anaknya. Dia mengirimkannya dengan
pos kilat khusus. Satu minggu lagi lebaran menjelang. Pak Muncak sudah tidak
sabar untuk menghafal satu persatu nama-nama cucunya.
Para warga juga semakin gencar melakukan pendekatan pada Pak Muncak.
Mereka sama sekali tidak melihat calon lain. Sudah berkali-kali Pak Muncak
menolak dengan halus.
“Ambo merasa tidak pantas,” begitu katanya saat Haji Mambang datang ke rumah
sore itu.
“Tidak pantas bagaimana? Dari semua orang yang kami pantau, Bapak
yang paling pantas.”
“Tapi Pak Haji….”
“Pak Muncak, keberhasilan keempat anak bapak menjadi orang, menjadi
bukti kuat bagi kami kalau Bapak adalah contoh figur yang sangat pantas
memimpin desa kita.”
Teriris.
Sakit.
Mungkin Haji Mambang tidak merasakan, tapi Pak Muncak begitu
tertoreh ketika dia dikatakan berhasil membuat anaknya menjadi orang.
Memang keempat anaknya sarjana, bahkan ada yang S2. Memang keempat
anaknya telah bekerja dengan gaji yang tinggi, bahkan jauh lebih dari cukup.
Tapi keempat anaknya juga seperti kacang yang lupa kulitnya. Keempat anaknya
juga….
Ah…Pak Muncak merasa benar-benar telah gagal.
“Jadi kapan Bapak akan memutuskan? Kami sangat berharap Bapak maju.”
“Tunggulah setelah lebaran Pak Haji, tunggulah setelah keempat anak
ambo pulang, ambo ingin membicarakan dulu dengan mereka.”
***
Pak Muncak duduk di balik jendela rumah gadang sambil tersenyum.
Rumah gadang sepertinya juga tengah tersenyum. Pak Muncak memandang para
bocah-bocah saling berteriak dan berkejaran di halaman. Sesekali terdengar
teriakan marah. Sesekali terdengar pertengkaran. Suara saling berebutan. Tak
jarang ada yang menangis sambil berlari kepangkuan ibunya. Pak Muncak sangat
bahagia.
“Assalamualaikum…” dua
orang dengan bawaan lumayan berat memasuki halaman rumah gadang sambil
tersenyum. Meski lelah, mereka tampak bahagia karena akhirnya sampai untuk
melepaskan penat yang mendera.
“Adnan! Alhamdulillah… ”
seperti terbang Pak Muncak berlari menuruni anak tangga. "Odaaaah… capeklah kau kamari! Anak kau alah pulang!"[4]
Pak Muncak langsung memeluk Adnan dengan erat. “Waang nan paliang dakek, tapi waang nan paliang lamo tibo.”[5] Pelukan
Pak Muncak makin erat.
Sementara itu Mak Odah muncul di pintu rumah gadang. Tak kalah
histerisnya, dia berteriak memanggil Adnan. Belum selesai dia menuruni semua
anak tangga, tangisnya sudah pecah.
Syahrul, Yusrizal dan Siti saling pandang dari atas rumah
gadang. Tempo hari, mereka juga diperlakukan sama oleh Pak Muncak dan Mak Odah.
Satu pertanyaan yang sampai detik ini masih belum terjawab oleh mereka,
benarkah Bapak dan Mak akan bercerai?
***
Jarum jam sudah menunjukkan pukul dua belas malam. Sayup-sayup suara
takbir masih bergema dari mesjid di ujung desa. Pak Muncak dan Mak Odah masih
duduk di bangku halaman rumah. Berdua saja. Belum sampai lima belas menit yang
lalu anak-anak mereka dan cucu-cucunya berangkat tidur, kelelahan setelah tadi
sama-sama bermain kembang api di halaman sambil meneriakkan takbir
bersama-sama.
“Kapan Uda akan bicara?” Mak Odah berbisik.
“Entahlah Odah, jika tanpa membicarakannya hidup kita akan berjalan
seperti dua hari ini, maka aku lebih memilih diam.”
“Tapi mereka semua sedang menunggu itu. Kita harus memberitahu
masalah perceraian dalam surat itu.”
Pak Muncak memandang langit malam. Berjuta bintang kedip-kedipan di
angkasa.
Rindu itu kini sudah bermuara.
“Tadi Siti menyinggung masalah itu di dapur. Aku hanya diam, tidak
tahu harus mengatakan apa. Jadi sebaiknya Uda segera mengatakan hal yang
sebenarnya pada mereka.”
“Besok Odah… besok sepulang shalat id di tanah lapang, aku akan mengatakannya.”
“Bagaimana dengan pemilihan kepala desa nanti? Uda akan maju?”
“Janjiku dalam hati memang begitu, jika semua anakku pulang lebaran
ini, aku akan maju, tapi semua ditentukan besok Odah, setelah aku bicara dengan
mereka.”
***
Keesokan
harinya.
“Apakah kalian setuju jika kami bercerai?” itu kalimat pertama yang
diajukan Pak Muncak setelah semua anggota keluarga berkumpul membentuk
lingkaran di ruang tengah rumah gadang.
Setelah melaksanakan shalat id di lapangan. Setelah saling
bermaaf-maafan. Setelah memakan sepiring ketupat yang sudah dimasak Mak Odah
dan Siti sejak kemarin. Pak Muncak mengumpulkan semua anak-anaknya di ruang
tengah rumah gadang. Hanya anak-anak. Para cucu dan para menantu bermain di
halaman.
Pak Muncak memandang keempat anaknya satu persatu. Mak Odah menunduk
dengan resah. Apakah suaminya akan marah? Atau sebaliknya?
Dan empat orang yang seakan seperti terdakwa, menunggu dengan dada
berdebar tak karuan. Cerai… Semoga bukan itu yang akan dikatakan bapak.
“Aku dan amak kalian sangat senang. Kalian semua telah berhasil menjadi orang,” Pak Muncak
memulai pembicaraan. Datar. Tenang. Tanpa ekspresi. “banyak yang mengatakan
kami orang tua paling berhasil membina rumah tangga. Semua anak sudah sarjana
dan punya pekerjaan dengan gaji tinggi. Sekarang kami tidak perlu lagi
mencangkul di sawah, tiap bulan kami mendapatkan kiriman rupiah yang tidak
sedikit.”
Keempat kepala di depan Pak Muncak duduk dalam diam. Masih bingung.
Ke mana arah pembicaraan Pak Muncak? Semua bertanya dalam hati. Di
bagian mana nanti masalah perceraian itu akan dibahas?
“Merantau adalah tradisi kita orang minang, pemuda pemudi minang
bahkan malu jika sudah besar masih berada di bawah ketiak orang tua. Dan kalian
kembali membuat para tetangga bangga pada kami, semua anak kami berhasil di
rantau.”
Keempat kepala di depan Pak Muncak masih diam dalam bingung.
“Tapi kalian melupakan satu hal…” Pak Muncak berhenti, seakan
sengaja menggantung apa yang mau dikatakan berikutnya. Keempat kepala
mendongak. Melupakan apa? “lebaran ini kalian pulang semua, pasti karena kami akan bercerai.
Sekarang aku tanya, apakah kalian tetap akan pulang jika surat itu tidak
kukirimkan?”
Suara itu kini mulai meninggi. Pertanyaan sinis itu dilepaskan
dengan cepat, dan tepat mengenai sasarannya. Memang itulah alasan mereka
pulang, mencegah perceraian itu jangan sampai terjadi.
“Bangau saja yang bisa terbang sejauh mungkin masih
ingat kubangan tempat dia berasal.”
Kalimat itu kini seperti silet yang menyayat dengan cepat. Saking
cepatnya tidak ada yang merasakan sakit, tapi darah sudah mulai menetes.
“Kami menyekolahkan kalian agar menjadi terpelajar. Tahu bagaimana
cara berbakti pada orang tua. Tapi ternyata kami gagal. Orang sekampung bangga
melihat kami, mengira kami berhasil menjadi orang tua, padahal kami adalah
orang tua paling gagal di kampung ini. Apakah kalian kira cara berbakti adalah
dengan mengirimkan jutaan rupiah setiap bulannya? Sama sekali prinsip orang minang dalam
merantau tidak ada dalam diri kalian. Rantau adalah tempat mengais rezki, tapi
biarpun hujan emas di rantau sana, hujan batu di negeri sendiri rasanya jauh
lebih baik.”
Dada-dada itu kini mulai sesak. Pun dada Mak Odah yang kini menangis
tersedu di samping Pak Muncak.
“Perceraian itu memang akan terjadi, tapi bukan perceraian antara
kami, melainkan antara kita, dan antara kalian.”
Satu dua bulir-bulir bening mulai turun.
Tidak ada mata yang tidak basah.
“Kami sudah punya sembilan cucu, satupun tak ada yang kami kenal.
Mereka juga tidak saling kenal satu sama lain. Sudah empat hari di sini, baru
satu hari kemarin mereka mulai bermain bersama. Sampai kapan ini akan kalian
pertahankan?”
Tiba-tiba Siti menghambur memeluk Pak Muncak.
“Bapak, sudah… jangan diteruskan,” tangisnya tumpah ruah di
pangkuan Pak Muncak. Syahrul, Yusrizal dan Adnan menyusul, menghambur dan bersimpuh di
depan Pak Muncak dan Mak Odah.
Saat itulah seseorang berlari menaiki tangga rumah gadang. Aulia,
anak Syahrul nomor tiga yang sekarang duduk di kelas 5 SD masuk ke ruangan itu tanpa
permisi, menangis dan dengan lantang berteriak.
“Papa, kapan kita kembali ke Jogja, Aulia tidak betah di sini!”
Kegagalan itu makin menghunjam dada Pak Muncak. Sepertinya dia belum
siap untuk jadi kepala desa. [*]
[1] Rapat tikus
[2] Saya
[3] Rumah adat suku
Minangkabau
[4] Cepatlah kemari,
anakmu sudah pulang.
[5] Kamu yang paling dekat, tapi kamu yang paling terakhir sampai.
Komentar
Posting Komentar