PETUALANGAN TIGA SAHABAT

  

“Wah, lihat langitnya! Cerah banget, tidak ada awan sama sekali!” seru Dafa sambil merentangkan tangannya, merasakan hangatnya sinar matahari pagi.

“Iya, hari ini kayaknya bakal seru! Nggak sabar mau dapat ikan besar!” sahut Fathan sambil menepuk-nepuk pancingnya yang sudah tua tapi selalu setia menemaninya di setiap petualangan.

Azka datang dengan topi lebarnya yang hampir menutupi wajah, membawa bekal makanan yang sudah disiapkan ibunya. “Aku bawa nasi goreng buatan ibu, pasti tambah enak kalau dimakan di pinggir sungai.”

“Hebat, Azka! Kita pasti bakal kenyang nanti,” kata Dafa sambil memeriksa topinya sendiri, memastikan sudah cukup kuat menahan terik matahari.

“Ayo, buruan berangkat! Kalau kita cepet, kita bisa dapat tempat yang bagus,” ujar Fathan, berjalan mendahului dengan penuh semangat

 Dafa dan Azka mengikutinya dari belakang. Semangat tiga sekawan itu terpancar dari langkah kaki yang cepat dan senyum lebar di wajah mereka. Bagi mereka, ini bukan sekadar memancing, melainkan sebuah petualangan kecil yang penuh kebersamaan, tawa, dan mungkin sedikit tantangan. Dengan langkah-langkah ringan, mereka menyusuri jalan setapak yang menghubungkan kampung dengan sungai, dikelilingi oleh pepohonan hijau dan suara kicauan burung.

“Tunggu, kita butuh umpan dulu. Cari cacing, yuk!” seru Dafa sambil menunjuk tanah di bawah pohon besar yang lembap.

Mereka bertiga segera jongkok, mengorek tanah dengan ranting dan tangan. Azka yang geli dengan cacing langsung mundur.

“Ih, geli! Kenapa harus cacing sih? Nggak ada umpan lain?”

“Kalau mau dapat ikan besar, nggak boleh takut sama cacing! Kita harus berani dan nggak pilih-pilih.” Fathan tertawa.

Azka akhirnya memberanikan diri, sambil tertawa geli saat cacing-cacing itu bergerak di telapak tangannya.

Setelah berhasil mengumpulkan cukup banyak cacing, mereka melanjutkan perjalanan menuju sungai. Mereka berjalan melewati rumah-rumah penduduk dan persawahan hijau, sambil bercanda dan tertawa sepanjang jalan. Sesampainya di sana, Dafa segera mencari tempat duduk di bawah pohon rindang.

“Di sini adem, pas buat memancing,” ujarnya sambil melemparkan pancing dengan hati-hati.

Fathan, yang terkenal paling jago memancing, sibuk mencari lokasi strategis. “Lihat aja nanti, aku pasti dapat ikan yang gede!” ujarnya dengan percaya diri.

Azka, yang baru belajar, melempar pancingnya sembarangan. “Yah, semoga ada ikannya juga,” katanya pelan sambil mengusap peluh.

Waktu berlalu, namun pancing Fathan tak kunjung bergerak. Ia mulai gusar. “Kenapa ikannya nggak mau makan umpan, sih?”

Tiba-tiba, Azka berteriak gembira, “Aku dapat ikan!”

Namun, ikannya kecil sekali. Fathan tertawa keras. “Hahaha… itu ikan atau duri? Kamu cuma buang-buang waktu!”

Azka tertunduk. Dafa menenangkan Azka. “Santai aja, Azka. Yang penting kita senang-senang. Kita nggak perlu jadi yang paling hebat, yang penting kita berusaha.”

Fathan yang semakin kesal melempar batu kecil ke sungai. Namun, batunya malah menghantam joran pancing Dafa, membuatnya terjatuh ke air.

“Fathan! Kenapa sih kamu begitu?”

Dafa kesal dan berdiri, menatap Fathan dengan marah. Fathan terdiam, menyadari kesalahannya.

“Hei, kita ke sini buat bersenang-senang, bukan buat marah-marah. Fathan, kamu juga nggak perlu kesal begitu. Kita kan teman. Sudah, kita istirahat dulu,” Azka segera melerai.

Mereka duduk bersama, menikmati bekal nasi goreng dan telur yang mereka bawa. Sambil makan, suara tawa mulai terdengar lagi di antara mereka.

“Maaf, ya, Dafa. Aku cuma kesal karena nggak dapat ikan,” kata Fathan dengan tulus.

“Nggak apa-apa, yang penting kita nggak putus asa,” jawab Dafa sambil tersenyum.

Tiba-tiba, saat mereka tengah asyik makan, pancingan Fathan bergerak liar.

 “Eh, ada ikan!” seru Fathan terkejut, hampir menjatuhkan makanannya.

Dengan sigap, ia menarik pancingnya. Ikan besar berwarna perak muncul di permukaan air, menggelepar dengan kuat.

“Iya! Ini baru ikan besar!” seru Fathan gembira, wajahnya bersinar puas. Dafa dan Azka bertepuk tangan, ikut bahagia.

“Lihat kan? Sabar itu berbuah manis,” ujar Dafa sambil tersenyum. Fathan mengangguk.

 “Iya, aku jadi belajar kalau kita tidak boleh menyerah, dan jangan sampai amarah merusak pertemanan kita.” Azka menimpali.

“Kita juga belajar kalau kebersamaan itu jauh lebih berharga dari sekadar menangkap ikan. Hari ini aku senang banget bisa belajar dan bersenang-senang sama kalian.” jawab Fathan.

Meski hari itu mereka hanya mendapatkan sedikit ikan, mereka pulang dengan hati yang penuh kebahagiaan dan pelajaran berharga bahwa kesabaran, kebersamaan, dan keberanian menghadapi tantangan adalah kunci dari petualangan mereka.

“Petualangan hari ini seru sekali. Kapan-kapan kita coba lagi, ya!” ujar Azka.

Fathan dan Dafa mengangguk setuju. Ketiganya dengan penuh semangat, meninggalkan sungai pulang ke rumah masing-masing dengan senyum lebar dan hati bahagia. [*]


*) Naskah hasil Lokakarya Penulisan Cerita Anak yang diselenggarakan oleh Pustaka Dua-2. 

Komentar

Posting Komentar