CERPEN: KABUR

Awan mendung menampakkan kesedihannya, angin sepoi-sepoi mengelus pundakku. Aku duduk termenung di tepi telaga, dari kejauhan seorang wanita tua memanggil dengan suara lirih.

Aku tinggal di pelosok negeri. Jangankan untuk mengenyam pendidikan, untuk makan tiap hari ibuku meminta belas kasih kepada tetangga. Ayah telah pergi meninggalkan aku, ibu, dan adik-adikku. Mungkin Tuhan lebih sayang dengan ayah, hiburku setiap ingat sosok ayah. Semenjak itulah aku berhenti bersekolah.

Sekarang aku bekerja membantu ibu di ladang dan sawah. Menanam sayuran dan padi. Hidup kami yang selama ini bergantung pada ayah sekarang benar-benar sulit setelah kepergiannya. Aku melihat ibu setiap hari membanting tulang menggantikan posisi ayah. Mau tak mau aku memilih berhenti sekolah, membantu wanita yang telah melahirkanku itu.

Tiga bulan berlalu sejak aku memutuskan berhenti sekolah. Hari ini benar-benar melelahkan. Dengan tenaga yang tersisa aku berjalan tertatih menuju pondok yang kuanggap istana itu. Bingung adalah hal yang menggambarkan pikiranku saat ini, saat aku melihat mobil-mobil mewah terparkir di depan rumah kami.

Dua orang tamu asing tersenyum menyambutku. Ibu mendekatiku.

“Kemarilah, peluk mereka, mereka ayah dan ibumu.”

Seakan petir menyambar tubuhku. Apa maksud ibu?

“Bukankah ibu adalah ibuku?” aku menatap ibu tidak mengerti.

"Tidak. Aku bukan ibumu. Pergilah kemasi barangmu, orangtuamu datang menjemputmu."

Ucapan ibu benar-benar bagaikan petir disiang bolong. Lalu semuanya berjalan dengan alur yang tak pernah kubayangkan. Semuanya berlalu terasa cepat. Tanpa kusadari, dua orang asing itu sudah membawaku masuk ke dalam mobil, dan aku hanya menurut tak mampu berkata-kata. Masih kudengar tangisan adiku saat pintu mobil ditutup dan kemudian pergi menjauh. Aku ingin kabur, tapi entah kenapa, aku hanya diam.

Dan di sinilah aku sekarang. Duduk di sebuah ruangan yang luasnya melebihi halaman rumahku. Seribu pertanyaan hadir di kepalaku. Benarkah mereka orang tuaku? Apakah dulu aku dibuang? Bisakah aku tinggal di istana ini? Untuk apa mereka membawaku lagi jika dulu aku tidak diinginkan?

Salah satu dari mereka mendekatiku dengan lembut. Ia mengelus punggungku, seraya berkata, “Semua akan baik-baik saja selama dirimu patuh pada kami.” Senyuman terpatri indah di wajahnya, lalu pergi meninggalkanku, katanya mau menyiapkan kamarku.

Aku pikir aku akan menjadi ratu di rumah ini. Tapi semua berbalik seratus delapan puluh derajat. Tak pernah kubayangkan kalu aku hanya menjadi pelayan di istana ini. Bahkan untuk makanku saja mereka Batasi. Orangtua macam apa mereka itu? Atau mereka memang bukan orangtuaku?

Beberapa hari kemudian, kedua orang asing yang mengaku orangtuaku itu memperkenalkanku dengan seseorang, sebayaku.

"Perkenalkan, ini saudaramu, bersikaplah yang baik padanya." perintah mereka.

Kami akhirnya menjadi akrab. Nasibnya sama sepertiku. Diambil dari orangtuanya dan dibawa ke sini. Di sini, ia sering dipukuli. Tidak hanya itu, ia bahkan di suruh mengemis di jalanan. Sedang aku sejak awal hanya disuruh membereskan pekerjaan rumah.

Suatu malam, dari balik dinding kamar, sayup-sayup aku mendengar percakapan seseorang.

"Aku sudah mendapatkan pembelinya, dia sanggup bayar dengan harga fantastis.”

Entah apa yang mereka bicarakan, aku tidak paham.

Dua hari setelahnya kami berdua diajak untuk pergi ke luar kota. Katanya akan ada acara keluarga. Kami berangkat menggunakan kereta api. Aku mencoba bertanya kepada saudara angkatku, apakah dia tahu kami akan ke mana, tapi dia hanya menggeleng.

Sepanjang perjalanan kami hanya menikmati pemandangan di luar. Sawah-sawah, pegunungan, juga awan-awan yang berarak. Lalu seseorang membuka pintu gerbong tempat kami berada. Betapa terkejutnya aku saat melihat siapa yang masuk.

“Kenapa ibu di sini?" tanyaku melihat ibuku muncul.

“Ibu adalah pelayannya Tuan dan Nyonya, makanya juga diajak." jawabnya seadanya. Aku berlari memeluknya, tapi ibuku seperti enggan melihat diriku.

Tidak lama kemudian. Kereta tiba-tiba berhenti di sebuah jalur yang luas dan di sekitarnya hanya ada pepohonan. Saudara angkatku terlihat gusar, sepertinya ada hal yang disembunyikannya.

"Aku akan mencari tahu kenapa kereta ini berhenti, tunggulah di sini!" ucapnya. Belum sempat aku menjawab ia sudah pergi.

Ibu tiba-tiba menarik tanganku, "Ayo ikut ibu, kita harus pergi dari sini!"

“Kenapa?" Jawabku bingung.

"Mereka itu orang jahat, mereka ingin menjualmu dan mendapatkan uang dengan cara mudah, kita harus kabur!" ibu menjelaskan.

“Astaga! Jika Ibu tahu mereka orang jahat, kenapa memberikanku pada mereka? Jadi mereka bukan orangtuaku bukan? Jadi ibu menjualku pada mereka?" tangisku pecah. Rasa kecewa itu sudah tak terbendung lagi rasanya.

"Ibu hanya ingin kau hidup layak. Tapi tidak menyangka akan jadi begini. Kita tidak punya banyak waktu. Ayo!

Tanpa persetujuanku, ibu menarik paksa tanganku. Melompat dari atas kereta.

"Pegang tangan ibu, jangan sampai terlepas, mengerti?"

Aku hanya mengangguk, kami berlari sekuat yang kami bisa. Tidak lama kemudian beberapa orang berjas hitam mengejar kami tak jauh di belakang.

Lama-lama ibu capek juga. Dia tak kuat lagi berlari. Saat langkahnya terhenti, aku mendengar dentuman pistol ditembakkan

"Diam di tempat atau kutembak kalian!" ucap seseorang yang sudah berdiri tidak jauh dari kami. Mataku membulat saat melihat benda api itu mengarah tepat ke kepala ibu.

"Silahkan bunuh aku tapi biarkan anakku pergi!" ucapnya memohon.

"Tentu saja, kami akan membunuhmu, dan dia? Tentu saja akan sangat berguna jika dibiarkan hidup." Lelaki berjas hitam itu mengarahkan senjatanya tepat pada ibu. Lalu semuanya terjadi begitu cepat, sesosok tubuh berlari mendekati kami tepat di saat lelaki itu menarik pelatuknya.

“Awasss!” ujarnya, seiringan dengan suara pistol yang menyalak. Tubuhnya jatuh. Peluru itu mengenai dadanya.

"Kau?" tanyaku bergetar. Dia adalah saudara angkatku. Dia hanya tersenyum padaku. Senyuman terakhir.

"DASARR!!" umpat lelaki itu mengetahui aku dan ibu masih selamat. Lalu dengan cepat ia Kembali mengarahkan senjata itu pada kami.

Aku menarik ibu dan menjadikan diriku tameng baginya. Saat itulah terdengar suara sirene menggema mendekati kami.

“Dorrr!!” sesuatu yang panas terasa menembus punggungku. Lalu orang yang menodongkan pistol pada kami terjatuh tepat di hadapanku. Tubuhku melemah dan semuanya menggelap seketika.

Aku tersadar saat cahaya melintasi kornea mataku.

"IBU!"  teriakku tanpa sadar dan saat itulah aku melihat satu sosok dari balik pintu.

"Anak ibu udah sadar?" tanyanya dengan penuh senyuman. Di belakang ibu aku juga melihat kedua adikku yang tersenyum menatapku.

“Ibu, bagaimana dengan orang-orang itu?”

“Polisi sudah mengurusnya. Saudara angkatmu itulah yang menelepon polisi saat itu. Jangan lupa kirimkan selalu doa terbaikmu untuknya, dia telah menyelamatkan kita.” [*]


Yosman Safrijon, lahir di Payakumbuh pada tanggal 9 Januari 2006. Saat ini menempuh pendidikan di SMA Negeri 4 Payakumbuh. Bisa dihubungi via email yosman911@sma.belajar.id

 

Ingin naskahmu dimuat di PUSTAKA22.COM? baca ketentuannya DI SINI

Komentar