Cerpen: FATIMA

Di jantung Kota Cilegon, di tengah bisikan doa dan suara azan yang berkumandang, terletak sebuah pesantren di mana tradisi dan iman bersatu. Di sini, putri dari seorang ulama terkemuka tinggal, Fatima binti Kyai Haji Abdullah. Kyai Haji Abdullah adalah Pimpinan Pondok Pesantren Al-Amin.

Fatima bergerak dengan anggun di lorong-lorong pondok pesantren. Hari-harinya dipenuhi dengan ajaran Al-Quran dan pengabdian nilai-nilai agama. Setiap pagi, dia dibangunkan dengan suara azan yang merdu memecah sunyi. Dengan langkah pasti, dia melangkah menuju masjid jami Alfurqon, masih di dalam pesantren, di mana para santriwan dan santriwati sudah berkumpul untuk melakukan salat subuh berjamaah. Hijab Fatima bukanlah sekadar selembar kain, itu adalah simbol identitasnya, komitmennya terhadap nilai-nilai agamanya, dan kepercayaannya yang teguh pada ajaran Islam. Sejak masih kecil, dia telah merangkul imannya dengan sepenuh hati, menemukan ketenangan dan panduan dalam ayat-ayat Al-Quran dan tradisi Nabi Muhammad Saw. Fatima Berpakaian dengan pakaian muslimah serta hijab yang sederhana yang membingkai wajahnya dengan anggun. Bagi mereka yang mengenalnya, Fatima bukan hanya seorang gadis biasa dengan usia yang hampir 19 tahun, tetapi dia adalah lambang kekuatan, kesetiaan, dan iman yang teguh.

Namun, di balik kepribadian yang taat dan santun, tersembunyi rasa ingin tahu yang tak terbendung. Fatima sering menemukan dirinya merenung di balik jendela, memandang langit biru yang terbentang luas di atasnya. Dia merindukan petualangan di luar dinding pesantren, merasakan angin sepoi-sepoi yang mengusap pipinya, dan melihat dunia yang luas di luar sana dan hatinya menyimpan sebuah rahasia, cinta terlarang.

Mata Fatima bertemu dengan mata Aart Van Burg, putra seorang ekspatriat dari Belanda yang bekerja sebagai tenaga ahli di pabrik baja terkenal di Cilegon. Ia  telah bermukim selama 7 tahun di kota baja. Takdir menyatukan jalan mereka. Di jalan-jalan ramai Cilegon, dunia mereka bertabrakan, menyala sebuah percikan yang tak bisa dipadamkan oleh tradisi atau jarak. Aart, dengan rambut pirangnya dan matanya yang biru, berdiri di antara lautan tradisi, sebuah mercusuar dari yang tidak diketahui. Terlepas dari perbedaan mereka, Fatima merasa tertarik pada Aart, seperti seekor ngengat pada nyala api, tidak dapat menahan pesona cinta terlarang.

Pertemuan rahasia mereka terjadi di sudut-sudut tersembunyi pesantren, di bawah pandangan bulan yang waspada. Percakapan berbisik mereka memantulkan melodi hati mereka, menganyam jiwa mereka dalam tarian gairah dan kerinduan.

"Aart," bisik Fatima suatu malam, suaranya hampir tak terdengar di atas desiran daun-daun. "Kita tidak bisa terus seperti ini. Cinta kita terlarang."

Aart memandang tulus wajah Fatima. "Tapi cinta kita tidak mengenal batas, Fatima. Ia melampaui tradisi dan agama. Namun ia murni dan benar." ucap Aart Tegas.

Hati Fatima terasa sakit mendengar kata-katanya, terkoyak antara kewajiban menghormati tradisi keluarganya dan keinginan perasaannya. "Abahku tidak akan pernah menyetujuinya. Dia telah mengatur pernikahan untukku, pernikahan yang bukan atas dasar cinta, melainkan tradisi dan warisan leluhur.

Mata Aart berkilau dengan tekad. "Maka kita akan menentang tradisi. Kita akan membentuk jalan kita sendiri, dipandu oleh cinta dan keyakinan atas cinta kita." Desiran romansa terlarang mereka menyebar seperti api di pesantren, mengancam untuk melahap mereka dalam kobaran skandal. Namun, Fatima dan Aart menolak untuk dipengaruhi, cinta mereka semakin membara setiap hari.

Ketika hari berubah menjadi minggu dan minggu berubah menjadi bulan, cinta mereka semakin dalam, menentang segala kemungkinan yang bertumpuk di depan mereka. Mereka menemukan ketenangan di dalam cinta mereka satu sama lain, cinta mereka adalah tempat perlindungan di dunia yang penuh dengan hukuman dan prasangka.

Tetapi takdir memiliki rencana lain untuk mereka. Pada malam sebelum pelarian mereka, ayah Fatima menemukan mereka, kemarahannya menjadi seperti badai yang mengancam hubungan mereka.

"Kamu telah membuat malu bagi keluarga kita, Fatima," Ayahnya bergemuruh, suaranya bergema di lorong-lorong pesantren.

Fatima berdiri tegak, hatinya berat tapi tak tergoyahkan. "Abahku yang terhormat, dengan berat hati Fatima katakan cinta kita bukanlah dosa. Ini adalah bukti akan kekuatan cinta dan keyakinan."

Pada akhirnya, cinta mereka yang menang, melampaui batas dan prasangka. Dengan restu dari ayahnya, Fatima dan Aart memulai perjalanan bersama, cinta mereka menjadi mercusuar harapan di dunia yang penuh dengan kegelapan.

Dan Fatima diberikan izin untuk menjalani hidupnya bersama dengan Aart. Di bawah cahaya bulan yang bersinar cerah di atas mereka, Fatima dan Aart menikah di pesantren, Aart menjadi mualaf berpindah keyakinan menjadi seorang muslim. Meskipun mereka tahu bahwa perjalanan mereka tidak akan mudah, mereka juga tahu bahwa cinta mereka akan membawa mereka melalui segalanya dan tentu saja mereka telah melewati ujian dan pengorbanan di tengah-tengah dunia yang penuh dengan rintangan. [*]

 

Andradika Fasya Syamun atau AFS, lahir di Serang, Banten. Pernah tinggal di Bandung, Semarang, Hasselt (Belgia) dan akhirnya memutuskan untuk menetap permanen di Pulau Bali. The City, Diary Corrumpere dan Cinta Tak Pernah Salah adalah hasil dari upaya panjang untuk mengekspresikan dirinya melalui kata-kata yang ditulis dan diterbitakan secara indipenden. Pernah berpartisipasi dalam menulis bersama Penulis Nusantara dalam buku kumpulan cerpen Gila Lova: Curhat Anak Bangsa terbitan Gong Publisher. AFS berharap bahwa melalui karyanya ini, dia dapat menyentuh hati dan jiwa pembaca, menginspirasi mereka untuk mengejar impian mereka dan menjalani kehidupan yang berani dan bermakna.


Ingin naskahmu dimuat di pustaka22.com? Lihat ketentuannya DI SINI

Komentar