Cerpen: MUARA KASIH AJWA


“Ini sudah yang kelima Ajwa, mau sampai kapan?”

Aku hanya diam, tidak menanggapi pertanyaan uni. Pikiranku menerawang, seolah menembus bukit yang ada di seberang sana.

“Umurmu sudah lebih seperempat abad, sadarlah. Mau jadi perawan tua?” kali ini suara uni meninggi. Aku bergeming, memilih tetap menatap kegelapan. Daun jendela bergoyang, angin jahil menjawilnya.

“Terserah kau saja!” seperti yang aku duga, uni akan kesal sendiri, lalu memutuskan untuk keluar kamar. Samar-samar terdengar suara gaduh di ruang tengah. Sepertinya keluarga Uda Azwar tersinggung, mereka menilai keluargaku (lebih tepatnya aku) tidak menghormari niat tulus mereka. Apalagi kalau bukan menjodohkan aku dengan putra semata wayangnya.

Huff… Aku menghembuskan napas berat. Di satu sisi, aku merasa berdosa kepada amak dan abak. Beliau sudah begitu berharap aku bisa menikah tahun ini, karena di kampung, anak perempuan rata-rata menikah diawal umur 20. Uni bilang, hampir setiap hari amak dan abak ditanyai kapan anak bungsunya akan menikah. Pertanyaan ini yang secara diam-diam mengikis kesabaran beliau. Tapi apa boleh buat, semua yang datang termasuk Uda Azwar bukan tipeku. Tidak ada salahnya kan, memilah dan memilih? Toh menikah tak sesederhana itu.

Pintu berderit, Uni Fatma berdiri dengan ekspresi yang tidak dapat dijelaskan.

“Kau temui amak dan abak!” Uni Fatma berlalu.

Tadi uni mengatakan, ini sudah yang kelima bukan? Berarti ini juga kali kelima aku harus menguatkan hati, mencoba menjabarkan panjang lebar kepada amak dan abak alasan mengapa aku belum siap untuk menikah. Bisa jadi amak sudah hafal jawabanku. Mungkin aku bisa mengatakan, untuk sementara ini tidak perlu mencarikan calon untukku.

Aku beranjak menuju ruang tamu. Amak dan abak masih di sana, sedangkan Uni Fatma tidak lagi tampak batang hidungnya. Beberapa langkah dari posisi amak dan abak, aku bisa melihat dengan jelas kesedihan itu. Dari belakang, bahu amak tampak naik turun menahan tangis. Abak mencoba menenangkan. Ya Allah, haruskah aku melihat pemandangan ini kesekian kalinya?

“Amak… Abak…!” aku bersimpuh. Air mataku mengalir, tangisku pecah.

“Ma… af...”

Untuk beberapa waktu hanya tangis kami memecah hening, hingga abak mengusap rambutku.

“Maafkan amak dan abakmu, Nak.” Abak berhenti sejenak, membuang ingus dengan sapu tangan.

“Kami hanya ingin melihat kau bahagia. Sampai kapan kau akan menggadis?”

Pertanyaan ini sebetulnya tidak sulit, aku cukup mengatakan aku belum siap tapi demi mendengar suara abak yang serak, membuat lidahku kelu seketika.

“Apakah… Azwar… juga bukan tipemu Ajwa?” kini giliran amak yang bertanya terbata-bata, menahan tangis. Lidahku mati rasa, lupakan tentang penjelasan yang ingin aku jabarkan. “Apakah tipemu seperti orang kota? Pergi kerja memakai setelan jas dan kemeja dengan rambur tersisir rapi? Bukankah Azwar juga seperti itu? Dia bekerja di kantor bupati. Atau seperti motivator yang sering kau tonton itu? Bukankah Azwar juga ketua karang taruna? Dia sering berbicara dengan gagah di atas podium? Memberi pengaruh baik bagi sekitarnya.” Amak melanjutkan.

Aku diam.

“Jadi seperti apa calon yang kau inginkan Ajwa?” kini suara amak meninggi, antara marah, kecewa dan frustasi.

Aku masih menunduk. Menangis.

“Jawab amakmu!”  

“Istighfar, Mak.” Abak mengenggam tangan amak.

Aku menggeleng. Aku benar-benar tidak tahu seperti apa tipikal calon idaman dan entah kapan aku akan siap.

***

Malam kesekiannya di kosan, di posisi yang sama, dekat jendela. Jendela memang tempat favoritku. Dari sini aku bisa melihat dunia luar dari sudut pandang yang berbeda. Walau sejatinya, pemandangan yang aku lihat sama saja, tidak ada yang berubah signifikan.

“Jika emakmu sudah memaafkan, lantas apa yang membuat wajah kau masih kusut seperti jemuran belum disetrika?” Siska, teman satu kos, menatapku frustrasi. Memang amak sudah memaafkan kejadian tempo hari, tapi tetap saja amak mengingatkan hal yang serupa. Intinya amak berharap besar aku menikah tahun ini. Uni Fatma juga ikutan.

“Yang paling penting ikhtiar, kamu usaha dulu, perbaiki diri. Intinya kamu memang mempersiapkan diri kamu untuk menjadi seorang istri dan ibu. Sekarang ini zaman sudah canggih, dunia dalam genggaman mu. Ketik apapun, akan muncul hasilnya.” Masih terbayang Uni Fatma berbicara layaknya sales telepon pintar.

“Unimu ada benarnya juga. Bagaimana mungkin kau akan siap untuk menikah jika tidak mempersiapkan diri.” Aku melirik Siska sesaat, lalu memutuskan untuk berbaring. Semua orang sama saja!

Besoknya aku sudah kembali masuk kerja. Harusnya aku bisa sedikit mengenyampingkan pembahasan seputar pernikahan, tapi faktanya teman satu kantor, yang hanya terpisah satu kubikel denganku sangat sibuk membahas tentang jodoh. Sebisa mungkin aku memasang mode sibuk, membiarkan dia berbicara sendiri.

Saat jam makan siang keadaan tidak jauh membaik, sepasang manusia yang entah dari mana datangnya memutuskan untuk duduk di meja kami. Karena hanya ini tempat duduk yang tersisa. 

“Mereka itu hanya partner kerja Ajwa dan calon partner hidup hehe. Apakah kau sudah memulai memikirkan tentang itu juga?” Jimi dan Gea sibuk menahan tawa. Aku menatap mereka datar. Sedangkan sepasang manusia itu sibuk berdua. Sama sekali tidak terganggu dengan kehebohan Jimi dan Gea yang sibuk menggodaku.

***

Halaman : 1 2 3

Komentar

Posting Komentar