Cerpen: COKELAT VALENTINE

 

“Kenapa harus cokelat?” tanya Rara dengan nada polosnya, jidatnya sedikit berkerut.

Dita menggeleng takjub. Suka heran dengan Rara yang terlalu polos untuk remaja era ini. “Eh, dengerin ya, cokelat itu adalah benda paling romantis sedunia!”

“Romantis? Sedunia? Masa, sih?” masih dengan nada serupa, lipatan di kening sekarang bertambah.

“Eh, dibilangin nggak percaya,”

Jidat berkerut itu sekarang ditambah dengan gurat wajah keheranan. Betul-betul gak ngeh sama topik pembicaraan.

“Ya ampun Ra, kamu letoy amat, sih. Gini ya, sekarang yang mesti kamu siapin adalah sebungkus cokelat terbaik dan termahal, terus bungkus yang rapi, lalu persembahin buat Radit, cowok yang katamu sangat mirip Justin Bieber itu. Ingat, tinggal dua hari lagi.”

“Harus yang mahal ya, Ta? Terus, mesti 14 Februari?” Masih dengan kerutan wajah polosnya.

“OMG.… ini anak kuper banget. Kamu makhluk bumi bukan, sih? Hei, 14 Februari itu kan hari valentine, hellooouuw!” Dita menggerak-gerakkan telapak tangan persis di depan wajah lugu kawannya.

“Mmm, emang kalau diberikan pada hari lain, nggak bisa, ya?”

“Bisa, bisa, ntar nunggu pas tujuh belas agustus juga boleh. Sekalian aja serahin pas kalian panjat pinang bareng! Aduuuh, kamu ini payah deh, Ra, ya kudu pas hari valentine lah, kan itu hari kasih sayang anak muda sedunia. Katanya kamu mau ngungkapin rasa sayangmu ke cowok itu, ya momen-nya juga kudu nyari yang pas dong, Ra! Kemarin kamu curhat, katanya lagi naksir berat sama Radit. Naksir beneran apa kagak, nih?”

Yang diajak bicara hanya manggut-manggut, meringis sekilas, sambil garuk-garuk dahinya yang pasti nggak gatal sama sekali.

“Tapi Dit, aku cuma naksir, gak ada niat buat pacaran. Boleh kan?”

Rara, anak pindahan yang baru dua bulan menjadi penghuni kelas. Dia memang dari kampung, diajak sama tantenya untuk tinggal di kota. Kemarin Rara curhat tentang Radit, cowok ekonomi semester akhir yang kampusnya memang tidak jauh dari sekolah mereka. Dita sendiri belum mengenalnya. Tapi dari cerita Rara, Dita yakin kalau Radit pasti cowok keren. Hujan menjadi awal penyebab Rara bertemu dengan Radit. Mereka sama-sama berteduh di sebuah halte tak jauh dari sekolah. Hanya berdua. Sempat kenalan dan ngobrol sebentar, lalu saling bertukar nomor whatsapp. Dan sepanjang malam Rara membahas Radit di hadapan Dita.

***

Ide Dita untuk memberikan sebungkus cokelat pada Radit akhirnya disetujui Rara. Meski terpaksa. Dia tidak punya pilihan, Dita terlalu kuat untuk disanggah. Alasannya untuk tidak mau pacaran dianggap Dita terlalu kuno, norak, kampungan, dan gak up to date sama sekali. Makanya, di Minggu pagi ini, mereka berdua mau ke mall untuk membeli sebungkus cokelat terbaik dan termahal seperti anjuran Dita.

***

Rara memegang sebungkus cokelat berbalut kertas kado warna pink itu dengan perasaan berbunga-bunga. Meski tadi sempat tidak percaya dengan bandrol harga yang tertera pada batangan cokelat sepanjang 15 cm itu, tapi dia tetap membelinya.

“Ra, cokelat ini buatan luar negeri. Diimpor langsung buat ngerayain valentine di Indonesia. Kamu lihat kan tulisan di bungkusnya, bukan made in Indonesia?”

“Tapi harganya, Ta?” wajah Rara masih ragu.

“Ingat Radit, Ra. Masa kamu nggak mau beliin itu buat dia. Hanya sekali ini juga kok Ra, setelah kalian jadian, percaya deh, tiap saat kamu bisa minta dia beliin ini.”

“Halal nggak, nih?”

“Ya ampun… ini cokelat Nona, ya halal lah… tuh juga ada cap halal dari MUI di bungkusnya.”

Saat sedang berjalan menuju halte yang tak begitu jauh dari sebelah mall, tiba-tiba Dita terpekik.

“Ya, ampun, Ra! Aku kelupaan belum beli kamus Bahasa Inggris, titipannya Dewi! Tungguin sini bentar ya, Ra, plis! Aku balik sebentar ke mall,”

“Ya, udah sana, lagian aku juga males balik ke mall itu lagi,” sahut Rara dengan nada lemas dan malas.

“Jangan lama-lama lho, Taa…,” seru Rara saat Dita menggegas langkah, kembali ke mall yang tak begitu jauh, duapuluhan langkah dari sebelah halte.

“Koran, koran, majalah, majalah! Mbak, majalahnya, Mbak!”

Rara melirik abang penjual koran dan majalah, yang barusan lewat di hadapannya.

“Nggak, Bang, makasih…,” sahut Rara seraya mengulas senyum.

“Majalahnya baru-baru lho, Mbak, liat-liat dulu juga boleh,” sambil menyodorkan sebuah majalah remaja.

Ih, nih abang, dibilangin nggak beli, maksa banget, sih? Gerutu Rara dalam hati sementara bibirnya mengerucut gemas.

“Nggak Bang, makasih,” dengan memaksa mengulum senyum dan sekilas melirik majalah remaja yang disorongkan si abang. Eiits! Tunggu, tunggu! Tulisan di cover majalah tersebut langsung menarik perhatiannya. Ada Apa dengan Valentine?

“Bang, Bang, tunggu!” tahan Rara saat abang penjual koran itu baru selangkahan kaki meninggalkan dirinya.

***

Rara masih tersenyum malu-malu ke arah Radit yang tengah lekat menatapnya. Mereka sedang duduk di kafe, menunggu makanan yang mereka pesan setelah tadi puas keliling-keliling mall.

“Ra, kamu mau nggak jadi pacarku?”

Ya ampun…. Radit, kok kayak obat sakit kepala, ya? Langsung ke pusat sasaran. Tanpa basi-basi kayak iklan rokok. Sungguh Rara tidak menyangka Radit secepat itu mengatakan, tunggu makanan datang dulu kek, ngobrol ke sana kemari dulu kek. Rara bingung. Di satu sisi dia senang, tapi di sisi lain dia seperti terbebani. Dia ingat artikel yang dibacanya pada majalah yang ia beli kemarin.

“Kamu serius?” bola mata Rara tak berkedip.

“Ini buat kamu…” Radit mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Sebuah kado dibungkus kertas warna merah hati. Rara jelas melihat tulisan kecil yang tertulis rapi di atas kertas itu, ‘Rara, will u be my valentine?’

Rara seakan melayang. Dia menerimanya dengan jantung berdebar-debar. Apakah dia juga harus memberikan cokelat buat Radit sekarang? Tapi, ah tidak, nanti… dia akan berikan nanti. Atau bisa jadi dia tidak akan berikan. Pertemuannya hari ini dengan Radit sebenarnya juga atas inisiatif Dita. Dita yang mengirimkan pesan pada Radit lewat ponsel Rara.

Rara memegang bingkisan di tangannya dengan perasaan yang tidak bisa diungkapkan. Inilah pertama kalinya dia makan bareng dengan lelaki yang membuat jantungnya berdebar. Sambil makan, Rara melirik-lirik ke arah Radit. Sesekali tatapan mereka bertemu, membuat rona wajah Rara tersipu malu.

“Ayo dibuka…!” usai makan, Radit berbicara.

“Harus sekarang, ya? Apa nggak bisa kubuka di kamar saja nanti?” Rara tersenyum malu-malu.

“Mm, nanti juga boleh, tapi aku akan lebih senang jika kamu membukanya sekarang. Ada kejutan lain di dalam. Aku menunggu jawaban kamu. Semoga kamu senang.”

“Baiklah, aku akan membukanya sekarang.” Usai berkata, dengan berdebar-debar Rara merobek pelan-pelan kertas merah hati yang membungkusnya. Entah apa isinya, yang jelas bingkisan dari Radit sangat tipis, yang pasti bukan cokelat.

Dan pertanyaan Rara terjawab begitu isi bingkisan itu sudah terbuka. Sebuah kertas warna pink. Ya, hanya selembar kertas. Selembar kertas yang istimewa. Dia yakin itu sebuah surat cinta yang romantis.

Rara memandang Radit. Radit mengangguk. Mengisyaratkan pada Rara agar segera membacanya.

Tidak membutuhkan waktu lama bagi Rara untuk menuntaskan membaca tulisan-tulisan dengan tinta emas di atas kertas berwarna pink itu. Seketika muka Rara memerah. Radit tersenyum.

“Kamu mau, kan?”

Rara diam. Dadanya bergemuruh.

“Diam tandanya mau, lho?” Radit menggoda.

Rara mulai tidak tenang. Sungguh dia tidak menyangka, apakah Radit serius mencintainya? Tiba-tiba ponsel di dalam tas Rara berbunyi. Segera dia membuka. Sebuah pesan singkat dari Dita.

Seketika dia berdiri. “Radit, maaf, aku harus segera pulang.” Rara bergegas meninggalkan Radit yang masih belum mengerti apa yang terjadi.

“Ra, ada apa? Siapa yang barusan mengirim pesan?” Radit kelihatan cemas. Entah apa isi pesan yang barusan di baca Rara. “Nanti malam bagaimana, Ra?”

Rara sudah tidak peduli. Dia sudah keluar dari kafe.

***

Rara menghembuskan napas lega. Sungguh dia tadi bingung bagaimana caranya untuk bisa secepatnya menghilang dari pandangan Radit. Untunglah sms dari Dita menyelamatkannya. Pasti Radit berpikir telah terjadi sesuatu yang hebat, suatu masalah besar, padahal pesan dari Dita isinya biasa saja: ‘Bagaimana Ra? Sukses kan?’

Rara segera membalas pesan itu, ‘semua aman dan terkendali, kamu benar-benar dapat diandalkan, nanti aku cerita.’

Rara kembali melangkahkan kaki menyusuri trotoar. Pasti Radit sekarang sedang kebingungan. Apalagi Rara belum menjawab permintaan Radit di surat tadi. Apakah Radit mengira kalau Rara setuju dengan aksi diam yang dilakukannya tadi? Kalau Radit berpikir demikian, Rara yakin nanti malam Radit pasti akan menunggunya lagi di kafe itu. Bukankah begitu yang dikatakannya dalam surat? Kalau kamu setuju, nanti malam aku tunggu lagi di sini jam tujuh.

“Aww… Kak, hati-hati, dong!” lamunan Rara buyar. Tanpa sengaja, dia menabrak seorang bocah lelaki berusia kira-kira 10 tahun di sebuah tikungan dekat perempatan lampu merah. Bocah itu sedang berlari menuju lampu jalan yang sedang menyala hijau.

“Aduh… maaf ya, Dik, kakak nggak sengaja.” tiba-tiba Rara ingat cokelat dalam tasnya. Cokelat yang seharusnya ia berikan pada Radit. Buru-buru ditariknya bungkusan cokelat itu dari dalam tas. Dengan tersenyum lebar, Rara menyodorkannya ke bocah lelaki itu.

Bocah lelaki itu sungguh tidak menyangka. Seketika dia menerima. Senyumnya terkembang dan berulang kali mengucapkan terima kasih. Rara melangkahkan kakinya yang sekarang terasa jauh lebih ringan.

“Kak…!” Rara menoleh. Bocah itu memanggilnya. “Ini buat Abang, ya?” katanya.

“Ya… happy valentine, ya?” Rara tersenyum penuh kebahagiaan. Artikel tentang valentine yang ia baca di sebuah majalah remaja ternyata memang benar adanya. Banyak orang yang telah menyalahartikan valentine. Radit salah satunya.

***

“Cokelatnya udah kamu berikan?”

Rara mengangguk.

“Dia bilang apa?”

“Dia kelihatan sangat bahagia, matanya berbinar melihat bingkisan yang kusodorkan.”

“Ra, kamu kelihatan sangat bahagia. Radit menerima cintamu?”

Belum sempat Rara menjawab, seseorang terdengar menekan bel di depan rumah kosan. Dita segera berlari ke pintu depan.

Sementara Rara merebahkan tubuhnya di kasur. Tapi tak lama kemudian Dita kembali ke kamar.

“Ra, aku nggak nyangka kalau Radit ternyata lebih tampan dari yang kamu ceritakan, Justin Bieber kalah jauh.” Wajah Dita berbinar-binar.

Rara mengerutkan dahinya, “maksud kamu?”

“Itu, si Radit di depan nungguin kamu. Kalian janjian mau pergi, ya?”

Seketika muka Rara pucat. Ra… Radit di depan? Dari mana Radit tahu kalau aku tinggal di sini? Bukankah aku tidak pernah cerita?

“Kamu serius?”

“Ra, kamu kenapa, sih? Harusnya kamu tuh senang, tapi kok malah seperti ngelihat hantu begitu? Ayolah buruan, jangan biarin Radit nunggu terlalu lama!” seraya dengan lekas menarik lengan Rara.

Rara sangat yakin, dia tadi belum menjawab pertanyaan Radit. Dia tadi hanya diam dan Radit pasti beranggapan kalau dia setuju dan menerima. Mungkin memang ini saatnya Rara berterus terang. No Valentine, No Pacaran.

Dengan langkah pasti, Rara melangkah ke depan.

Seorang cowok keren menyambutnya malu-malu di teras rumah kosan. Rara terpaku, tak dapat berkata sepatah kata pun. Cowok itu bukan Radit. Cowok itu jauh lebih ganteng dari Radit.

“Mas… mencari saya?” Rara menyapa dengan gurat wajah heran.

“Ra…. Rara, ya?” ucap lelaki itu ramah dan tersenyum.

Rara mengangguk buru-buru.

“Mm… teri…terima kasih cokelatnya, ya. Sungguh, saya… saya tidak menyangka ketika tadi adik saya memberikan. Untung di dalamnya ada alamat, jadi saya tahu harus ke mana untuk mengatakan terima kasih. Di kertas ini jelas tertulis alamat rumah ini.”

“Kamu…,”

“Saya Raditya, bukankah tadi Mbak yang memberikan ini pada Radian adik saya?” lelaki di hadapan Rara menyerahkan selembar kertas. Kertas yang terdapat di dalam bungkusan cokelat valentine yang tadi diberikannya pada bocah lelaki di perempatan lampu merah. Di kertas itu jelas tertulis, Radit, will u be my valentine? Dan di sudut bawah kertas itu juga tertera namanya, Rara – Gang Kamboja 7. Rara jelas tidak tahu, semua itu dikerjakan oleh Dita.

Kini Rara mulai paham dengan apa yang sedang terjadi. Rara paham kenapa tadi bocah di perempatan lampu merah itu bertanya, ‘ini buat Abang, ya?’

Seketika Rara ingat Radit yang sekarang pasti tengah menunggunya di kafe. Menunggunya untuk mengajak Rara menginap di sebuah hotel di pinggir kota seperti yang dituliskannya dalam surat cintanya yang langsung dibuang Rara ke dalam tong sampah di ujung gang.

Sekarang, apa yang harus dikatakannya pada Raditya? [*]

 

Ingin naskahmu dimuat di www.pustaka22.com? baca infonya DI SINI

 

Komentar