UMMIKU BUKAN UMMIKU
Karya: Rina Marleni
Siang itu udara sangat menyengat. Ais baru
saja melangkah masuk ke dalam rumah setelah mengucapkan salam dan meletakkan
sepatunya di rak kayu buatan almarhum abahnya. Ia berjalan gontai menuju
kamar sederhana yang dihiasi oleh gambar-gambar hasil karyanya.
Ais tak mendengar jawaban salamnya.
Rumahnya sepi, seperti tak ada kehidupan. Hanya gemercik air sungai yang terdengar
mengalir di belakang rumahnya. Aliran air itu semakin memberi kesan nestapa di
hati Ais. Ia duduk di sebuah kursi tua yang sudah dimakan rayap karena usia.
Ais manatap buku catatannya dan
memperhatikan deretan angka-angka yang ada di sana. Ia termenung mendapati
begitu banyak nol yang berjejer. Ia tak
yakin akan sanggup menyampaikan hal itu pada umminya. Ia termenung
memikirkan nasib dia dan umminya.
Tiba-tiba dari kamar lain terdengar suara
batuk yang tak kunjung berhenti untuk beberapa saat. Ais segera berlari menuju
suara tersebut, sambil membawakan segelas air hangat.
“Ummi, minumlah air ini,” ucap Ais
terbata.
“Ais sudah pulang?” tanya wanita paruh
baya yang dipanggil ummi tersebut sambil sesekali batuk.
“Sudah Ummi, barusan,” jawab Ais
“Kenapa Ais tidak baca salam ketika masuk
rumah?” tanya ummi selanjutnya.
“Ada Ummi, kemungkinan Ummi terlelap tadi,
sehingga tak mendengar Ais membaca salam,” jawab Ais sambil menyerahkan air
yang dibawanya.
“Minumlah air hangat ini Ummi,
mudah-mudahan dapat meredakan batuk Ummi.”
“Terima kasih Ais,”
jawab Ummi. “Ais sudah salat dan makan?”
“Ais sudah salat di sekolah, Ummi. Alhamdulillah,
sekarang sudah diperbolehkan salat kembali di masjid sekolah dengan mematuhi
protokol kesehatan,” jawab Ais.
“Alhamdulillah, syukurlah kalau begitu,”
ungkap Umi. “Sekarang Ais makan ya, tadi Ummi sudah masakkan sop kesukaan Ais.”
“Baik Ummi, terima kasih,” wajah Ais
berseri. Ia membayangkan betapa lahapnya ia makan jika sudah dimasakkan sop
kesukaannya tersebut. Ais melangkah keluar dari kamar Umminya.
Setelah sampai di dapur, hidungnya
dipenuhi dengan aroma daun sop yang sangat menggugah selera. Sop tersebut sangat
Istimewa bagi Ais, tak sebanding dengan sop yang disajikan di restoran mewah.
Sop tanpa bumbu penyedap. Adakah saat ini yang menjual sop seperti itu?
Walaupun terdiri dari telur puyuh, bayam, jagung serut, dan wortel, namun
kesehatannya sangat terjamin. Itulah yang membuat Ais sangat suka dengan semua
masakan umminya. Setelah menyantap hidangan sederhana itu, Ais duduk sebentar,
menunggu semua makanan tersebut sampai di lambungnya.
“Assalamu’alaikum…” suara itu membuyarkan lamunan
Ais.
“Wa’alaikumsalam,” Ais menjawab.
Ais segera menuju ruang depan untuk
membuka pintu, namun ia melihat umminya telah berbicara dengan tamu tersebut.
Seorang laki-laki. Ais tak dapat memandang wajahnya karena ditutupi masker
sebagai aturan selama masa pandemi. Tamu itu tak dibawa masuk oleh umminya,
namun pembicaraannya begitu serius dan sangat pelan. Ais tak dapat menangkap
pembicaraan tersebut. Sebenarnya Ais tak ingin menguping pembicaraan umminya,
namun ia sangat penasaran melihat ummi dan tamu itu berbicara sangat pelan.
“Saya tak bisa menerimanya, mohon
sampaikan pada Nyonya,” ungkap umminya.
“Tapi, Bu, saya tak diperbolehkan kembali,
seandainya ini belum Ibu terima,” laki-laki itu menyodorkan amplop berwarna
coklat muda pada ummi.
“Tapi, Pak, saya
tak bisa menerimanya,”
Karena penasaran
dengan pembicaraan itu, Ais mendekati umminya.
“Ummi…”
Umminya kaget, segera mengambil amplop
yang dari tadi di sodorkan oleh laki-laki itu dan menyimpannya.
“Ya… ya… Ais,” jawab Ummi. Ummi berusaha
menenangkan diri.
“Ada apa Ummi?” tanya Ais. “Om ini siapa?”
“Oh… i... ni, teman
lama Ummi,” jawab ummi terbata.
“Ayo masuk dulu, Om,
tak enak bicara di depan rumah,” ungkap Ais pada laki-laki tersebut.
“Omnya buru-buru Ais, hanya mampir
sebentar saja,” ungkap Ummi, sambil melihat ke arah laki-laki itu.
“Iya… iya Ais, Om hanya sebentar, masih
ada kerjaan lain,” kata lelaki itu, sambil menutup resleting tas gendong yang
dipakainya. “Om pamit ya, Ais.” ungkap lelaki itu kemudian memakai helmnya dan
berlalu.
Ummi masuk ke dalam rumah, tak ada sepatah
katapun yang keluar dari mulutnya. Sebenarnya Ais ingin tau lebih banyak
tentang pembicaraan umminya dan lelaki itu. Terlebih lagi saat Ais melihat
amplop yang disembunyikan oleh umminya, namun ia takut menyinggung perasaan umminya.
Ais melangkah menuju dapur, bersiap-siap
dengan rutinitasnya membantu ummi setelah pulang sekolah. Ais adalah anak
satu-satunya keluarga itu. Ia hidup berdua dengan umminya. Ia tak tau pasti
cerita tentang abahnya. Yang ia tau, abahnya sudah meninggal. Hanya itu jawaban
ummi setiap kali Ais menanyakan tentang keberadaan abah. Tentang sosok dan
keberadaan pusara abah pun tak pernah ia tahu.
Dulu Ais pernah mendesak ummi untuk
bercerita tentang abah, namun ummi hanya menangis. Sejak saat itu Ais memendam semua kerinduan tentang
sosok seorang ayah. Ia tak ingin ummi sedih, cukup sudah penderitaan yang
ditanggung ummi selama ini.
Ais masih
tergolong anak-anak, usianya saat ini beranjak 11 tahun, duduk di kelas 6 SD.
Walaupun usianya masih kanak-kanak, ia telah memiliki pemikiran yang sangat jauh
ke depan. Ia tak mau ikut-ikutan dengan teman-temannya yang lebih suka bermain
sepulang sekolah. Sebenarnya, Ais juga ingin seperti teman-temannya,
menghabiskan waktu kanak-kanaknya dengan bermain, namun ia tak tega melihat
kondisi ummi yang setiap hari bekerja untuk memenuhi kebutuhan mereka. Ia rela
menerima jasa menjahit hiasan jilbab dari tetangganya dari pada bermain.
***
Pintu kamar Ais tiba-tiba
terbuka.
“Ais….” Ummi
masuk ke kamar dan mengusap kepala Ais. “Sudah malam, sebaiknya Ais tidur,
besokkan sekolah, menjahitnya dilanjutkan besok sepulang sekolah.”
“Tinggal sedikit
Ummi, biar Ais selesaikan, besok bisa Ais antar dan kita bisa dapat uang,”
jawab Ais sambil tersenyum.
“Ais butuh uang
untuk apa’? tanya umminya.
“Tak ada Ummi,
hanya untuk menambah keperluan dapur,” ungkap Ais.
“Ayo, anak Ummi
tidak boleh bohong,”
Ais tertunduk,
kemudian ia mengambil buku dari dalam tasnya dan menyerahkannya pada Ummi.
“Ini, Ummi…” Ais
memperlihatkan beberapa tagihan sekolah yang harus segera dilunasi. “Tapi Ummi
jangan khawatir, Ais janji akan bisa melunasinya, Ummi jaga kesehatan saja,
lihat ini Ummi,“ Ais membuka lemarinya dan mengeluarkan beberapa helai jilbab
yang telah selesai ia kerjakan. “Kalau dalam 2
minggu ini Ais bisa menyelesaikan lebih banyak lagi, maka semua tagihan ini
akan terlunasi, Ummi jangan khawatir, ya?” Ais kembali meyakinkan umminya.
Ummi memeluk Ais, air matanya mengalir, ia
sangat bersyukur Allah telah menitipkan seorang gadis cantik dan elok budi
dalam kehidupannya.
“Baiklah, Ummi yakin Allah akan mencukupi
semua kebutuhan kita, sekarang Ais tidur ya… besok harus sekolah,” ujar Ummi,
kemudian ia membantu melipat kembali jilbab yang telah selesai dikerjakan Ais
dan memasukkannya ke dalam lemari. Ais heran, tak biasanya ummi seperti ini.
Namun ia mengikuti saja apa yang diperintahkan.
***
Pagi ini udara sangat bersahabat, tak
terlalu dingin seperti biasanya. Ais bangkit dari tempat tidurnya dan segera
menuju ke belakang. Ia mendapati umminya sedang salat di ruang tengah. Ais
melihat jam masih setengah 5, namun ia telah menemukan umminya tafakur di hadapan
Rabb-Nya. Lantunan ayat suci Alquran dan zikir, selalu menghiasi telinga Ais di
pagi hari. Dan itu membuat Ais sangat nyaman.
Ais sudah menyelesaikan semua rutinitasnya
di pagi hari, saatnya ia menuju ke sekolah. Tapi ia tak melihat umminya di
dapur. Ais menuju ke kamar umminya dan mendapati umminya sudah mengenakan
pakaian yang rapi.
“Wah, Ummi sudah rapi juga, Ummi mau
kemana?” tanya Ais.
“Ummi ingin antar
Ais ke sekolah,” jawab ummi sambil tersenyum.
“Ummi jangan
becanda, sekolah Ais kan dekat dari sini?” Ais keheranan melihat tingkah
Umminya.
“Alhamdulillah,
Ummi sudah sembuh dan sekarang Ummi ingin menemani putri Ummi ke sekolah,
bolehkan?” Ummi memegang dagu Ais.
“Waaahhh… dengan
senang hati Ummi, ini kali pertama Ummi antar Ais ke Sekolah, teman-teman Ais
pasti senang juga melihat Ais datang dengan Ummi,” ungkap Ais dengan nada
semangat.
Keduanya berjalan
menuju sekolah yang memang tak jauh dari rumah mereka. Selama di perjalanan Ais
sangat senang sekali. Setiap orang yang ia temui di jalan, tak lupa ia sapa.
Sebenarnya banyak tanda tanya dalam pikiran Ais, namun ia menepis semuanya. Ia
tak ingin merusak momen yang belum pernah ia rasakan bersama umminya saat ini.
***
Bel pulang sudah
dibunyikan, Ais bersiap-siap untuk pulang. Saat akan melangkah ke luar kelas,
Ais ditemui oleh bendahara sekolah. Wajah Ais sedikit berubah, ia tau bahwa ibu
itu akan menagih uang yang belum di lunasi Ais.
“Assalamu’alaikum
Ais,” sapa gurunya tersebut.
“Wa…’alaikum
saaa….lam, Bu” jawab Ais. “Maaf, Bu, Ais belum bisa melunasi semua tagihan itu,
namun Ais janji akan segera melunasinya, Ais akan berusaha, Bu.” ungkap Ais
dengan nada menghiba.
“Ais… Ais jangan
khawatir, ya? Semua tagihan kemarin sudah dilunasi oleh Ummi Ais.
Tadi surat lunasnya belum ibu berikan ke Ummi Ais, jadi ibu titip ya… mohon Ais
sampaikan pada Ummi,” ungkap guru Ais tersebut, sambil menyerahkan selembar
kertas dan berlalu.
Ais masih berdiri mematung, ia tak percaya
bahwa Umminya sudah melunasi semua tagihan sekolah yang jumlahnya bagi mereka
sangatlah besar. Ais sekarang mengerti mengapa tadi pagi ummi bersikeras ingin
mengantarnya. Tapi, dari mana Ummi mendapatkan uang itu? Selama perjalanan
pulang, Ais masih tak percaya dengan tulisan lunas yang tertera pada kertas
itu. Ia ingin segera menanyakan pada ummi.
Belum hilang rasa penasaran Ais, sekarang
ia menyaksikan sebuah mobil mewah parkir di depan rumahnya. Ais tak langsung
masuk ke dalam rumah, ia menuju mobil mewah itu dan memegangnya, mobil itu
berbunyi, Ais terkejut. Pemilik mobil yang berada dalam rumah Ais keluar, ia
melihat Ais sedang ketakutan memandangi mobil itu.
“Ais, sini!” suara itu mengejutkan Ais. Suara
yang datang dari seorang wanita cantik yang di balut dengan hijab yang sangat
memesona.
Ais bergeming. Suara itu tak pernah ia
dengar, namun kenapa hatinya bergetar mendengarkannya. Seolah-olah suara itu
sangat dekat dengan dirinya, suara yang sangat ia rindukan.
Wanita itu mendekati Ais, memeluk dan menciuminya. Ais
masih keheranan. Ia tak merespons apa yang dilakukan wanita itu terhadap
dirinya. Namun kenapa hatinya terasa nyaman, seolah-olah pelukan ini melebihi
rasa pelukan umminya?
“Tante, teman Ummi,
ya?” tanya Ais kemudian.
Wanita itu menganguk
sambil berusaha menyembunyikan matanya yang tiba-tiba berair. Mereka berdua masuk
ke dalam rumah. Ummi Ais
tak menyaksikan kejadian itu, karena sedang berada di dapur. Sesampai di ruang
tamu, Ais mendapati Umminya sedang menyajikan air di atas meja.
“Assalamu’alaikum,
Ummi” sapa Ais sambil mencium tangan umminya.
“Waalaikumsalam Ais,” balas Umminya.
Ais tak memperhatikan bahwa ada seorang
lelaki yang dari tadi sudah berdiri mengharap untuk disalami oleh Ais. Lelaki
itu kemudian duduk kembali. Ia berusaha sekuat tenaga untuk mengendalikan
gejolak jiwa yang dari tadi sudah ditahannya.
“Ayo Ais, salam
dulu dengan Papa,” ujar ummi.
“Kenapa panggil
papa, Ummi, bukannya panggil Om?” tanya Ais.
Serta merta
lelaki yang dimaksud menghampiri Ais.
“Ais boleh
panggil Om, panggil Papa juga boleh,” ungkap lelaki itu sambil menghampiri Ais
dan bermaksud untuk memeluknya. Ais menghindar.
“Maaf Om,
bukannya Ais tak sopan, Ummi bilang kalau sama laki-laki, selain Abah dan
saudara kandung tidak boleh bersentuhan, itu bukan mahram,”
Lelaki itu tak dapat berkata apa-apa, ia
mencoba sekuat tenaga mengendalikan dirinya. Ia tak mau pertemuan pertamanya
dengan Ais menjadi kesan yang tak mengenakkan di hati Ais.
“Ais... sini duduk dulu di samping Ummi,
ada yang mau Ummi
sampaikan pada Ais,” ungkap Ummi dengan nada yang berat.
Ais merasa heran
melihat suasana yang tiba-tiba terasa aneh, terasa canggung. Tidak hanya ummi,
tapi juga kedua tamu itu.
“Ais… Ais sayang sama Ummi?” ummi membuka
pembicaraan setelah beberapa lama hanya keheningan yang tercipta.
“Aduh Ummi, itu pertanyaan apa? Tentu saja
Ais sayang sama Ummi,” jawab Ais.
“Ais sekarang sudah besar, telah menjadi
anak yang salehah, berbakti kepada orang tua, benarkan?” Ummi melanjutkan.
“Iya Ummi,” jawab Ais polos.
“Ais, selama ini Ais bertanya tentang
Abahkah? Sebenarnya…” ummi menggantung ucapannya, sangat berat melanjutkan. “Sebenarnya
Om dan Tante ini adalah orang tua kandung Ais, Ummi adalah orang tua yang telah
membesarkan Ais.”
“Dahulu, saat Ais berumur 7 bulan, ada
permasalahan yang dihadapi orang tua Ais yang mengharuskan Ummi membawa Ais.
Sekarang masalah itu telah selesai, papa dan mama ingin Ais kembali ke rumah.”
Ais sungguh tidak
menyangka akan mendengarkan hal itu dari mulut ummi. Ais memeluk Ummi erat, ia
menangis.
“Ummi, apakah
Ummi tak sayang Ais lagi, sehingga Ummi menyuruh Ais pergi?”
Papa dan mama Ais
juga larut dalam kesedihan. Mereka tak berkutik, hanya airmata mereka yang
terus mengalir.
“Ummi… Ais rela
hidup susah dengan Ummi, Ais rela mencari uang setiap hari, asalkan jangan
suruh Ais jauh dari Ummi,” Ais terus menghiba
dipangkuan Umminya.
Ummi menenangkan
dirinya dan mengusap pundak Ais.
“Ais… Ais boleh
datang kapanpun ke rumah ini, bermain dan tidur di sini, Ais masih tetap putri
Ummi,” lanjut Ummi sambil menciumi kepala Ais.
“Tapi Ummi, Ais tak mau satu haripun
berpisah dengan Ummi, Ais mau sama Ummi,” keduanya berpelukan.
Kedua orang tua Ais yang menyaksikan hal
itu tak sampai hati memisahkan mereka. Memang semuanya berawal dari kesalahan
mereka di masa dulu. Ketika gemerlapnya dunia, membuat mereka terikat dengan
hutang rentenir dan harus melunasi dengan cara menyerahkan bayi yang baru
berusia 7 bulan, agar semua barang-barangnya tak di sita. Mereka memutuskan
untuk menitipkan Ais pada pembantunya agar tidak dibawa oleh rentenir tersebut.
Mereka merelakan semua hartanya disita. Mereka
kembali membangun bisnisnya dari awal. Setelah 2 tahun berlalu, kondisi
keuangan mereka sudah membaik, mereka menjemput Ais dan umminya ke rumah yang
dahulu mereka kontrakkan untuk tempat tinggal Ais dan umminya, namun rumah itu
telah kosong, karena ummi tak sanggup melunasi sewanya.
Bertahun-tahun mereka
mencari keberadaan Ais dan umminya. Namun baru beberapa bulan yang lalu ia
mendapati kabar bahwa Ais dan umminya tinggal di sini, kemudian mereka menyuruh karyawannya untuk mencari semua
informasi tentang Ais dan umminya.
Namun ia juga tak sampai hati memisahkan ibu dan anak itu. Mereka menyadari kelalaian mereka yang membuat hal ini terjadi. Mereka sudah memutuskan akan menyerahkan semua keputusan pada Ais dan umminya. Seandainya Ais dan umminya mau pindah ke rumah mereka, maka mereka sangat bersyukur sekali, namun kalau tak mau, mereka akan menghargai keputusan itu. Walaupun mereka adalah orang tua Ais, namun perasaan Ais telah menyatu dengan umminya. Dan yang terpenting bagi mereka saat ini adalah kebahagiaan Ais. [*]
Komentar
Posting Komentar