Karya: A. Sukma Asar
Berita
apa pun yang datang dari Naisilla mestinya membuatku senang dan bersemangat.
Ya, mestinya seperti itu. Tetapi berita terakhir yang sampai kepadaku adalah
benar-benar berita terakhir dari Naisilla.
*
Aku
telah mengatakan kepada Naisilla bahwa aku akan pulang di bulan Juni mendatang.
Bulan kelahirannya. Bulan Juni adalah bulan indah bagi aku dan Naisilla, tidak
peduli bulan itu musim kemarau atau musim hujan. Aku berharap ia akan selalu
menungguku tanpa jenuh. Karena cinta kami takkan mengenal musim.
"Naisilla,
engkau masih menungguku, bukan?"
"Maaf.
Aku sudah pulang, Naisilla! Aku sudah membawa permintaanmu. Masihkah kamu
berada di rumah masa depan kita?"
"Ah,
tentu saja."
*
Aku
baru saja turun dari kendaraan yang mengantarku sampai ke desa ini. Lima tahun
lamanya aku baru menginjakkan kakiku di desa tempatku lahir dan bertumbuh. Aku
telah meninggalkan Naisilla, wanita yang selalu kuanggap sebagai sekuntum mawar
yang selalu merekah di setiap saat, di sepanjang musim.
Aku
memandang sekelilingku sebelum beranjak menelusuri jalan panjang menuju rumah.
Di belakangku, di tepi jalan, air yang mengalir dari mata air itu masih sangat
jernih sehingga permukaan tanah sangat jelas terlihat. Sumber air itu adalah
satu-satunya yang dimanfaatkan oleh pemerintah untuk pembangkit tenaga listrik
di seluruh kota kabupaten.
Sejauh
mataku memandang tampak sawah dan ladang masih menghijau. Jalanan yang dahulu
kutinggal belum diaspal, kini masih seperti itu, masih saja berbatu-batu,
menyiksa telapak kaki.
Aku
segera memasang ransel di punggungku lalu mengangkat koper berisi oleh-oleh
yang selalu dipesan Naisilla jika suatu waktu aku pulang. Istriku itu tidak
pernah meminta sesuatu selain sepasang mukena berwarna putih berenda lebar di
sepanjang ujungnya. Impiannya itu selalu saja dia ucapkan sebelum aku
berangkat. Bahkan ia mengingatkanku setiap menelepon. Kadang keinginannya itu
ia ungkapkan lewat senandung nyanyian yang merdu merayu. Itulah sebabnya aku
bersemangat mengumpulkan uang untuk membelikan pesanannya. Ah, tentu saja bukan
hanya itu. Aku di sini mengumpulkan rupiah untuk masa depan aku, Naisilla dan
anakku kelak.
Tetapi
pesanan Naisilla ini memang istimewa. Karena ia ingin memakai mukena itu jika
diizinkan bertamu di tanah suci. Aku pun ingin Naisilla bahagia saat mukena
impiannya itu berada di tangannya, atau ketika aku memakaikan langsung
kepadanya lalu wajahnya yang putih alami itu menyembul dari celah wajah
kain itu.
Aku
mulai melangkahkan kaki menelusuri jalan setapak di samping sebuah musala. Dulu
di sinilah kami selalu melaksanakan salat setiap waktu. Kadang setelah salat
Magrib kami menunggu Kang Arif untuk menikmati jualan baksonya sebagai ritual
makan malam. Setelah itu kami pulang bergandengan tangan menyusupi malam.
Jalan
setapak ini masih saja sama seperti dahulu. Di kiri dan kanannya adalah kebun
milik warga. Banyak pohon tumbang yang tidak lagi diurus. Bahkan warga belum
patuh dengan seruan pemerintah, bahwa membuat kandang sapi letaknya harus jauh
dari rumah.
Aku
berjalan sambil menutup hidung. Bau kotoran sapi menguar begitu aku melewati
rumah Mbok Lira. Wanita yang sudah ditinggal suaminya sejak lama itu memang
seorang peternak sapi. Sapinya selalu banyak untuk diperjual belikan jika
mendekati hari raya qurban.
Aku
segera mempercepat langkah. Meski banyak pepohonan tetap saja terasa panas
begitu menyengat kepalaku. Jalanan yang berbatu sesekali membuatku keseleo,
kadang membuatku terantuk, gonggongan anjing disertai lenguhan sapi membuatku
sadar bahwa aku sedang berada di kampung sendiri.
Sepanjang
jalan hanya sunyi yang menemaniku. Tidak ada yang bisa diajak berbicara atau
sekadar tertawa bahkan bertanya kepada seseorang. Sebab tempat yang aku tuju
adalah sebuah dataran sepi di ujung kampung yang memang tanpa penghuni.
Aku
tetap berjalan. Sebentar lagi aku akan mendaki beberapa meter di lereng gunung.
Lalu berjalan menuruni semak belukar yang membuat kulit para pejalan yang lewat
memerah.
Semakin
aku berjalan, cuaca semakin terik, membuat peluhku menganak sungai. Kakiku juga
sudah pegal di antara napasku yang mulai tersengal. Meskipun begitu, aku tentu
tidak peduli sebab aku ingin segera tiba dan bertemu dengan Naisilla.
Seorang
warga yang aku temui hanya tersenyum atau tertawa saja tanpa merasa terkejut
atau mengekspresikan rasa senangnya mengetahui aku telah pulang dari merantau.
Tetapi aku tidak memikirkan itu semua. Aku tidak peduli. Yang ada di kepalaku
hanya ingin berjalan cepat untuk menemui istriku.
Selama
aku di rantau, Naisilla begitu sabar menungguku. Meski kami belum mempunyai
anak saat aku tinggalkan, ia tidak pernah menghalangi rencana kepergianku. Ia
sadar kalau kami harus lebih banyak menabung untuk masa depan kami.
Naisilla
adalah seorang wanita hebat dan sabar. Ia sebenarnya wanita kota yang berasal
dari keluarga berada. Aku sempat merasa heran saat ia memutuskan hidup
bersamaku jauh di pelosok desa yang sunyi, tanpa listrik, tanpa salon dan
supermarket. Semua keadaan itu tidak pernah ia sesali atau membuatnya mengeluh.
Bahkan sebaliknya, ia begitu senang menikmati desa dengan udaranya yang bersih,
airnya yang jernih dan pemandangan alamnya yang menghijau. Dan untuk
memantapkan pilihan Naisilla hidup bersamaku, aku memberinya waktu satu tahun
untuk berpikir dan mengambil keputusan.
Aku
berhenti sejenak karena kedua kakiku semakin terasa pegal, sedang aku masih
harus berjalan setengah kilo meter lagi untuk mencapai rumah kami. Sebetulnya
rumah sekarang adalah pindahan dari rumah sebelumnya. Namun setelah aku
mengajak Naisilla tinggal di kebun milik orang tuaku, ia malah tertarik.
Katanya di sana lebih tenang dan lebih sejuk. Tidak ada tetangga tempat
berghibah.
Aku
mampir sebentar di kedai seorang warga. Namanya Wak Anggu. Saat aku pamit
pulang, ia malah memandangku aneh.
Aku
menghela napas panjang dan mulai bersemangat lagi berjalan meski rasa kantuk
dan lapar mulai menyerang.
"Sedikit
lagi." Ah, peluhku masih kurasa mengalir di tengkuk menuju leher.
Seketika
aku ingin berteriak tatkala di depan, mungkin berjarak seratus meter lagi, aku
sudah melihat atap rumah kami.
Aku
mempercepat langkahku dan tidak kurasa lagi bebatuan yang hampir menembus
sepatuku. Bahkan ranting-ranting kecil menebas pipiku sudah tidak aku
pedulikan.
Mataku
segera membulat saat berdiri di depan rumah kami. Berdinding papan, beratap
jerami dan di halaman kami pernah tumbuh bunga bakung. Rumah kami ini masih
tetap sunyi, hanya ditemani alam dan ilalang.
Di
depan pintu, aku meletakkan ransel dan koperku. Lalu aku berjongkok dan segera
membukanya agar mukena yang sudah aku bungkus rapi akan kuberikan segera kepada
Naisilla. Tidak lupa sekotak bunga tujuh rupa kusandingkan dengan bungkusan
mukena.
Sebelum
masuk ke rumah, ada perih yang menyelinap di kisi-kisi hatiku. Aku berpaling
sejenak pada bunga bakung yang pernah ditanam Naisilla. Kini bunga itu taklagi
layu tetapi sudah mengering. Takada harapan menghijau lagi.
Aku
mulai membuka pintu rumah, menarik napas panjang lalu menapaki lantai tanah
rumah kami yang berupa ubin. Aku terus berjalan pelan dengan dada serupa
sebur ombak.
Aku
sudah tiba di halaman belakang rumah.
Senyum
yang kupaksakan karena mestinya aku menangis. Duduk pun kulaksakan padahal
sebenarnya aku berdiri menggapai sebuah tubuh yang kurindukan. Bilur-bilur
keperihan membaur rasa sayang, aku meletakkan mukena itu di samping Naisilla.
Angin
yang sejuk sekali langsung menerpa sekujur tubuhku. Desau pepohonan seakan
bernyanyi menyambut kedatanganku.
"Ini
mukena impianmu, Nai. Cantik sekali, seperti wajahmu. Aku sudah datang untuk
memenuhi janjiku."
Kuulurkan
tanganku untuk menggapai kotak bunga yang harum semerbak. Aku menyiram lalu
menaburkan kembang terindah itu di pusara Naisilla.
"Tunggu. Aku pasti menyusulmu, Nai." [*]
Komentar
Posting Komentar