Apakah bisik hatimu melarang mengatakannya? karena tanpa dijelaskan pun kiranya mereka paham dengan apa yang sedang kau lakukan dan apa yang sedang dipertahankan. Semuanya akan bermuara pada --lagi-lagi-- mempertahankan.
Tapi, entah kau paham atau tidak, kebanyakan mereka mengoceh, kadang-kadang mengutuk. Mereka tak lagi memandangmu sebagai perempuan tua yang harus disantuni sebagaimana yang lain. Mereka mungkin sepakat menyebut kau si tua cerdik. Mereka tak lagi memberimu sumbangan atau membubuhi tanda tangan di mapmu, juga mencibir keterangan tentang pembangunan sebuah surau yang selalu kau katakan.
Kau memang selalu
terluka diumpati mereka. Diumpati pemilik toko,
pelayan toko, tukang jahit, penjual rokok, penjual minuman, tukang
parkir, sopir angkutan, kenek angkutan, penjaja koran, keamanan pasar, para
pembeli, dan semua orang yang berkali-kali juga telah kau jelaskan tentang
pembangunan surau itu, yang kemudian kau mintai. Lagi, lagi dan lagi.
Kedatanganmu di pasar, ditandai suara gemerincing recehan dalam kotak kaleng dan sebuah map plastik kuning penuh coretan. Kotak kaleng dengan sebuah pegangan di sisi atasnya. Bagian depan bertuliskan huruf-huruf yang tak begitu besar. Sebuah huruf tertinggal di sana, berantakan. Namun, maksudnya jelas, minta sumbangan untuk pembangunan surau. Di dalam map terdapat lembaran kertas yang akan menambah gairahmu menyeringai pada orang-orang.
Kau mengguncang kotak kaleng. Menyapa orang-orang, “Assalamualaikum, minta sedekah, Nak...” tak berapa lama, kau merogoh map plastik kuning dan sebuah pena yang tak bertutup dalam tas yang talinya melingkar di sebelah bahumu. Kadang-kadang pena itu membuatmu kesal. Tintanya tak mau keluar.
Kau menempelkan map ke dadamu layaknya seorang sekretaris menunggu berkas-berkas ditandatangani tuannya di kantor. Ya, kau juga minta tanda tangan, meski yang lebih penting sebenarnya bukan tanda tangan tapi uang sumbangan, untuk pembangunan surau. Kau juga akan memperlihatkan beberapa foto; foto kubah surau, foto orang-orang sedang mengerjakan surau, foto buruh bangunan dan foto-foto yang --sebagaimana kau jelaskan-- sangat terkait dengan pembangunan itu. Sisi-sisi foto sudah mengelupas dan pudar. Kau tak tahu siapa-siapa di foto itu. Entah dari mana kau mendapatkannya.
Sembari
memperlihatkan foto-foto, mulutmu kiranya enggan diam. Untuk hal ini, kau pantas dapat
pujian. Tuturanmu meyakinkan. Orang-orang akan cepat tanggap dengan jabaran
kalimatmu dan akan iba dengan seringaimu. Ritualmu kemudian mengeluarkan
lembaran kertas telah terbentuk sebuah tabel, menunjukkan nama-nama orang yang
telah berpartisipasi menyumbang pembangunan.
Bagaimanapun hasilnya sulit diperkirakan. Kau inginkan tentunya orang-orang memperhatikanmu, melihat map-mu kemudian menulis namanya juga memberikan lembaran uang yang diisikan ke kaleng. Lalu kau mengucapkan terima kasih dan berpamitan.
Entah telah berapa hari, telah berapa minggu, telah berapa bulan atau entah telah berapa tahun. Kau masih memperkenalkan pembangunan surau itu, masih juga kepada orang-orang yang dulu telah kau kenalkan.
***
“Kira-kira berapa
tahun lagi pembangunan surau itu selesai, Mak?”
“Apa hanya Mak,
yang jadi panitia pembangunan, yang lainnya mana?”
“Siapa nama imam di
surau itu? jemaahnya ada?”
“Dasar pembawa sial, pagi-pagi sudah
minta-minta. Kemarinkan sudah!“
“Lebih baik
mengemis saja Mak, daripada ngaku-ngaku minta sumbangan atas nama surau. Tobat
lah.”
“Masih menjaja
surau, belum laku-laku ya, Mak?”
"E... gaek, Lah
baun tanah, mangicuah se karajo! (E... tua, sudah
bau tanah, masih saja menipu!)”
Begitu mereka
membalas salammu. Kau paham dengan maksud pertanyaaan dan pernyataan itu. Kau
tak memilih menjauhkan langkah atau menjarakkan badan setelah mendengarnya. Kau
hanya diam, memasang perasaan asing, menunggu kalau-kalau ada --meski mereka
terus mengomel-- uluran uang masuk ke dalam kalengmu. Sebenarnya kau terluka.
Kau bagai
mengabaikan rasa malu yang selalu dikaitkan orang-orang dengan harga diri.
Padahal, dalam pikiranmu tidak begitu. Kau akui bahwa kau tak punya rasa malu.
Tapi kau masih punya harga diri.
Entah telah berapa
jam atau entah sampai di mana pengitaranmu di pasar saat itu, seseorang
mengusikmu.
“Anak-anakmu di mana kini, Mak? Apakah dia tahu kalau ibunya begini?
Menjadi sampah.”
Ulu hatimu bagai
ditusuk-tusuk dan disengat. Tak dapat kiranya kau diam atau memasang tampang
asing lagi. Kali itu waktu bagai berpihak padamu, mendorongmu, saatnya membalas
mereka.
“Aku tak bersuami
apalagi punya anak!” napasmu sesak, dan mengatur
gelegak marah yang sedapat mungkin ditutupi. Berharap dapat menyenangkan hatimu
sendiri. Lagi-lagi kau terluka. Kau berbohong. Membohongi dirimu sendiri.
“Oo jadi Mak ini
masih gadis,” orang itu terkekeh. Beberapa detik saja kekehnya terdengar, kau
menimpalinya dengan kalimatmu yang menderas,
“Apa urusanmu? Terserah
aku mau melakukan apa. Urus saja dirimu sendiri. Kalau pun aku menjadi sampah di kota ini, aku
tak akan mencemarimu.” Orang itu tersenyum. Kau boleh juga rupanya. Dan ia
berkacak pinggang "Pergi kau dasar penipu...."
Jika sekarang telah
sepuluh orang yang menghardikmu, belum tentu orang yang kesebelas berbuat sama.
Jika hari ini orang-orang mengusirmu belum tentu besok atau lusa mereka berbuat
sama. Kau menghibur diri, “Luar biasa. Aku kagum pada kegigihanku, dapat masuk
meski ada yang menutup.” Dan sosok suamimu, anak-anakmu seketika mengendap di
pikiranmu. Kau sangat terluka mengingat mereka. Kau tak mau suamimu dan
anak-anakmu diumpat. “Suamiku bukan laki-laki hidung belang dan anak-anakku
bukan malin kundang.”
***
Di tengah pasar.
Seorang laki-laki muda meladenimu. Ia tidak berdasi, tidak berkaos oblong,
tidak tinggi, tidak juga pendek, tidak putih, tidak pula hitam, tidak berpeci,
tidak pula gondrong. Semuanya serba biasa. Kau menyeringai padanya sebagaimana
pada yang lainnya.
“Nak, surau ini
sudah lama sekali dibangun. Sumbangan orang-orang belum juga dapat
menyelesaikannya.”
Laki-laki muda itu
mengamati map yang kau tunjukkan. Ia membolak-balik halaman dalam map. Beberapa
foto pembangunan surau dan nama-nama orang yang telah menyumbang, Rp100.000,
Rp50.000, Rp20.000. Terdapat juga di sana nama yang bertulis hamba Allah dengan
sumbangan Rp10.000, Rp5.000 dan yang paling banyak Rp1.000.
Pemilik toko,
pelayan toko, tukang jahit, penjual rokok, penjual minuman, tukang parkir,
sopir angkutan, kenek anguktan, penjaja koran, keamanan pasar, para pembeli, dan orang-orang
yang sering kau mintai ada di sekitarmu. Ia mengamati laki-laki muda yang
menurutnya terperangkap dalam labirin ungkapan kata-katamu yang mengharu-biru.
“Di mana letak
surau ini Mak?” tanya laki-laki muda itu.
“Jauh sekali. Mak
rasa anak pun tak sanggup menempuhnya.”
“Selain Mak, siapa
lagi yang meminta sumbangan pembangunan surau ini.”
“Tak ada. Oleh karena itu, setiap
hari mak harus meminta sumbangan.”
“Apakah Mak mau
mengantarkan saya, melihat pembangunan itu?”
Kau terperanjat.
Bukan seperti orang-orang yang biasa mengoceh dan mengutukmu. Ada bisik di
bilik dadamu, meminta kau untuk diam.
“Bisakah saya melihat surau ini
Mak?”
“Oh, e... sebaiknya
tidak usah Nak, tempatnya jauh sekali,” kalimatmu tersembul juga.
“Tak usah khawatir,
Mak naik mobil saya.”
Tak sempat singgah
dipikiranmu, anak muda itu membawa mobil. Kau semakin bingung memenuhi
permintaannya. Hingga di dalam mobilnya pun kau masih bertampang bingung.
“Sebetulnya anak
ini siapa?” tanyamu kaku duduk di sebelahnya,
“Saya bukan
siapa-siapa.”
“Lantas apa
pentingnya melihat pembangunan itu? apa anak kira Mak berbohong?”
“Maaf, Mak, saya
tidak mengatakan begitu.”
“Lantas?”
Laki-laki muda itu
tak lagi menjawab, ia meminta kau kembali konsentrasi menunjukkan alamatmu.
Dan semua jadi tak
lama, saat mobil itu memasuki halaman rumahmu. Halaman yang dipenuhi berbagai
bunga yang tak diurus. Kau mengajak pemuda itu naik ke rumahmu. Di sisi tangga
itu, dua ekor kucing tersentak dan berebut mengusapkan kepalanya ke kakimu.
Mungkin senang dengan kedatanganmu.
Laki-laki muda itu
mengitari rumahmu. Ia dapati foto-fotomu bersama seorang laki-laki dan beberapa
orang anak.
“Siapa ini Mak? Apa
ini foto Mak bersama suami dan anak-anak?”
“Bukankah
kedatangan anak ke sini untuk melihat pembangunan surau?”
“Maaf, Mak betul,
dan mana surau yang Mak katakan itu,” laki-laki itu sedikit kaget.
Kau tak menjawab.
Ia membaca kebingunganmu. Hingga kau menarik tangannya ke dalam rumah menuju
dapur dan memperlihatkan padanya.
“Kau lihat
bata-bata itu?
“Ya, tapi mana
suraunya?”
“Tidak ada, bata-bata
itu lah yang akan jadi surau.”
“Mak berbohong!”
“Memang, tapi tiada
salahnya saya menebus kebohongan itu dengan pembangunan sebenarnya?”
“Apa maksud Mak?”
ia bingung.
“Apa kau melarangku
hidup? Sekarang pulang lah, Saya tidak berharap sumbangan darimu. Kau mungkin
bisa berlindung dari usia mudamu. Tapi aku yakin kau sebenarnya tahu itu. Kau
dengar, surau itu akan tetap dibangun. Walau kebohongan mengawalinya.”
Laki-laki muda itu
tersenyum sinis. Ia beranjak keluar rumah. Langkahnya di tangga membuat dua
kucingmu ketakutan. Ia membuka pintu mobilnya, mengunci kembali dan melaju.
Belum jauh jarak
mobil itu dengan rumahmu, dan berhenti. Ia turun. Bergegas mendekatimu.
“Apa yang
tertinggal?”
“Tidak ada, saya
tentu paham dan saya tak akan pergi begitu saja, surau itu saya yang akan
bangun, bukan Mak.” [*]
Andi Asrizal. Penulis merupakan alumnus Sastra Daerah Minangkabau dan Program Studi Lingusitik Pascasarjana Universitas Andalas Padang. Cerpen-cerpennya pernah dimuat di Padang Ekspres, Haluan, Majalah Tasbih dan dimuat dalam Antologi 12 Cerpen Pilihan Annida: Sebuah Kata Rahasia (SMG Publishing, 2010), antologi Seribu Tanda Cinta (Deka Publishing, 2012), antologi Setangkai Bunga Lilin dari Bening Cinta Ibu (Sedaun Publishing, 2012), antologi Azka Sofa (PT Nusantara Persada Utama, 2020), dan antologi Terapi Kamar Mandi (Balai Bahasa Provinsi Riau. 2023). Saat ini penulis menetap di Pekanbaru sebagai pengajar Bahasa Indonesia sekaligus menjadi instruktur bimtek SNBT UTBK. Penulis dapat dihubungi di email andiasrizal@gmail.com.
Jangan lupa ikuti Sayembara Menulis Cerita Anak. Infonya ada di LMBUA 2024
Komentar
Posting Komentar