Cerpen Cahyu Ningsih
Siang begitu
terik. Puluhan kendaraan lalu lalang, riuh bunyi klakson kendaraan, dan peluit
tukang parkir bersatu membentuk irama tersendiri. Rara dan Anggun berjalan
pelan menuju sebuah gedung megah. Di depannya ada tulisan, Mall Metro.
Bangunan megah ini didominasi oleh kaca. Sehingga, menampilkan kesan mewah,
tapi rapuh.
“Ra, sebelum
Pak Agus jemput, kita lihat-lihat pameran saja, yuk.” ajak Anggun.
Anak
perempuan 8 tahun di sebelahnya mengangguk. Ia merasa biasa saja dengan ajakan
ini, karena melihat-lihat pameran, pertunjukan, dan kegiatan lainnya di mall
bukanlah hal yang baru bagi dia. Mereka sering melakukan kegiatan ini jika Pak
Agus, supir mereka telat menjemput.
Pameran kali
ini diadakan di Mall Metro dengan kerjasama banyak pihak. Yang dipamerkan mulai
dari lukisan, ukiran, benda-benda bersejarah, pameran buku, pameran budaya,
teknologi pintar baru, dan lain-lain. Orang-orang memenuhi setiap sudut Mall
Metro. Ada yang berbelanja, ada juga yang sekadar berjalan-jalan menyaksikan
kemegahan pameran.
Dua anak
perempuan ini memutuskan untuk memasuki pameran benda-benda bersejarah. Karena,
ruang pameran ini yang terlihat tak terlalu ramai.
Anggun
mengecek ponselnya, waktu menunjukkan pukul 15.00 WIB. Belum ada kabar dari Pak
Agus. Artinya, mereka harus menunggu sampai Pak Agus memberi kabar kapan mereka
akan dijemput. Menurut Anggun, ini hal yang menyenangkan, karena ia dan adiknya
bisa bebas bermain tanpa ada pengawasan.
Mereka
berputar-putar melihat pajangan di pameran benda-benda bersejarah. Tak ada yang
terlalu menarik minat Rara. Tak terasa sudah hampir semua bagian pameran itu
dilihatnya. Rara menghampiri kakaknya, “Kak, kita keluar saja, yuk? Tak ada
yang menarik.” ungkapnya.
Anggun
mengangguk, lantas berdiri. Mereka berjalan ke arah pintu keluar pameran.
Namun, tiba-tiba langkah Rara terhenti. Ada sesuatu yang menarik hatinya. Di
salah satu sudut pameran, di dalam etalase kaca. Tanggal Merah.
***
Mereka
memutuskan untuk keluar dari Mall. Entah mengapa, keduanya belum
memutuskan untuk pulang. Rara sedari tadi memegang kantong rok sekolahnya.
Seolah-olah benda bercahaya di sakunya akan jatuh. Mereka berjalan menuju
jembatan penyeberangan.
Jam telah
menunjukkan pukul 17.00 WIB. Alarm di Mall Metro meraung-raung, disahut
sirine mobil polisi. Kegaduhan dan kepanikan tergambar jelas di wajah orang-orang.
Apalagi salah satu penjaga stand pameran, berurai air mata menjelaskan sesuatu.
Tak lama setelah itu, berita-berita menyiarkan, salah satu koleksi pameran yang
berharga telah dicuri. Koleksi yang dicuri adalah tanggal merah.
Anggun dan
Rara berjalan cepat menuju ke halte bus. Mereka harus membawa benda berpendar
di saku Rara kepada ibunya. Sirine polisi mengaung di mana-mana. Kepanikan
tampak dari wajah-wajah pendengar berita. Jika tanggal merah dicuri, mereka
takkan bisa libur di tahun depan. Artinya, mereka tak lagi punya tanggal merah.
Penduduk kota panik dicampur amarah. Mereka tak boleh kehilangan tanggal merah
itu.
Benda
berpendar di saku rok seragam Rara menarik perhatian orang-orang yang melihat
mereka. Di luar jendela bus, orang-orang mulai menunjuk-nunjuk ke dalam bus.
Supir bus pun tampak mengawasi mereka. Dengan berbisik-bisik, mereka memutuskan
untuk keluar dari bus, dan berjalan kaki saja, serta menghindari orang-orang.
Mereka
berlari ke arah taman bermain untuk bersembunyi dari orang-orang yang ingin
menemukan mereka dan mengambil benda berpendar dalam saku Rara. Orang-orang
ramai menuju dan menunjuk-nunjuk ke arah taman bermain. Rara dan Anggun makin
cemas. Keringat mengucur deras dari pelipisnya.
“Dik, kita
menyerah saja, bagaimana?” tanya Anggun yang masih mengikuti adiknya berlari
menuju ke balik semak-semak di ujung taman bermain.
Rara
menggeleng. “Ini untuk mama kita, kak. Aku ingin memberi mama ini.” ujarnya
seraya menunjuk benda berpendar di sakunya.
Mereka terus
berlari menjauhi taman bermain. Mereka tiba di sebuah perumahan kumuh.
Anak-anak kecil berbaju lusuh bermain sampah dengan riangnya didampingi orang
tua mereka. Rara tersenyum melihatnya. “Kak, aku ingin bermain ditemani mama
juga.” gumamnya. Anggun tak menjawab, ikut memperhatikan arah pandang adiknya.
Mereka terus
melanjutkan perjalanan. Senja telah menjelang. Gerimis tipis turun dari langit.
Mereka tiba di sebuah pemukiman kecil
yang tak pernah mereka kenali sebelumnya. Mereka berteduh di depan sebuah
rumah. Dari rumah-rumah penduduk
terdengar anak-anak belajar mengeja alif ba ta, di rumah lain juga
sayup-sayup terdengar ini ibu budi, ini ayah budi. Peluh bercucuran di
pelipis keduanya. Rara berhenti sejenak menyimak ejaan yang sayup-sayup
terdengar. “Kak, di rumah kita tak pernah terdengar ini, kan?” celetuknya.
Anggun mengangguk.
Mereka memang tak pernah diajarkan untuk
mengeja oleh mamanya. Air mata menggenang di mata Anggun mengenang suara yang
sering mereka dengar ketika di rumah. Suara televisi, telepon genggam, juga
teriakan pertengakaran antara mama dan papanya.
Tak ingin
berlarut-larut, mereka memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Rumah mereka
sudah tidak jauh. Mereka sudah tidak sabar untuk memberikan hadiah kecil itu
kepada mama. Mereka berjalan pelan, tangan Rara sibuk menutupi pendar cahaya
dari benda di sakunya.
Ia tidak
ingin menarik perhatian orang-orang dengan cahaya dari benda itu. Mereka keluar
dari pemukiman itu, dan sampai di tepi jalan kecil. Mereka ingat, ini adalah
jalan menuju ke komplek perumahan mereka. Tiap pagi mereka melewati jalan ini.
bedanya, jika pagi mereka selalu diantar Pak Agus dan memilih jalan ke arah
kanan.
Setiba di
rumah, rumah mereka masih lengang. Mungkin Bi Mira sudah memasak untuk mereka.
Perutnya mulai mengeluarkan suara. Lapar. Bergegas mereka masuk ke dalam rumah.
Tak biasanya, di meja makan yang telah penuh berisi makanan, terlihat mamanya
duduk di salah satu kursi sambil menunduk.
Rara dan
Anggun sangat senang melihat itu. Biasanya, mamanya akan pulang ketika tengah
malam. Mungkin, ini kejutan ulang tahun yang disiapkan mamanya untuk Rara? Bergegas
mereka menghampiri mamanya. Rasa bahagia itu tiba-tiba sirna, saat melihat
amarah di kedua bola mata mamanya. Mereka tertunduk. Dengan suara keras
diperintah untuk duduk di kursi.
“Si..siapa
yang mengajari kalian untuk mencuri?” tanya Mama dengan nada marah. Nyali kedua
anak perempuan itu menciut.
“Kalian membuat mama malu. Mama menyaksikan
berita pencurian ini ketika rapat dengan kolega mama. Mama malu. Malu punya
anak pencuri.” sambung mamanya.
Air mata
mengalir di pipi. “Rara, bilang ke mama. Mengapa kamu mencuri koleksi pameran
itu?” tangannya mencengkeram lengan Rara. Tangisnya makin menjadi.
“Mama, kami
mencuri tanggal merah untuk mama. Agar mama bisa libur dan menghabiskan waktu
dengan kami. Kami mau mama punya waktu. Jadi, kami curi tanggal merah negeri
ini, agar mama bisa libur.” ungkap Rara berurai air mata, Anggun pun memeluk
adiknya untuk memberikan perlindungan.
Mamanya tertegun. Hening [*]
Cahyu Ningsih, S.Pd atau yang akrab disapa Cahyu adalah seorang guru Bahasa Indonesia di ICBS. Aktif menulis puisi sejak masa perkuliahan, sering menciap di akun instagram @cahyu1265515
Komentar
Posting Komentar