Aku dianggap selalu berada dalam posisi tengah. Menimbang kiri. Menimbang kanan. Selalu menggantung. Terkadang aku harus memendam segala perasaan. Aku dianggap lelaki yang tak punya pendirian. Ke kanan aku berwajah manis, ke kiri pun juga berwajah manis. Kelompok sana ketika bicara, aku dengarkan. Kelompok sini, menasihati pun aku dengarkan.
“Kau ada di posisi mana?”
Aku tak peduli. Bagiku itu pilihan.
Selemah apapun pilihanku, yang penting aku menyadari itu, maka bagiku itulah
kekuatan. Aku jadi teringat Raja Ahmad. Lelaki hebat dalam sejarah yang sampai
akhir hayatnya menjadi lelaki yang selalu berada di titik tengah antara Engku
Hamidah dan Raja Djafar?
Kalian tahu sejarahnya? Kalau pun kalian
tidak sempat membaca sejarahnya dalam buku-buku sejarah Melayu yang tersimpan
di Pulau Penyengat, setidaknya kalian bisa membaca dua novel yang berjudul
Bulang Cahaya dan Hamidah, yang pada beberapa bagiannya mengisahkan kehebatan
sekaligus kebimbangan beliau berada di titik tengah. Aku banyak belajar dari
beliau. Tapi aku memang tidaklah sehebat Raja Ahmad. Tapi setidaknya aku akan
terus berusaha.
Kalian pernah mendengar kata orang-orang
bijak. Jadilah pendengar yang baik. Tuhan kita menciptakan dua telinga dan satu
mulut memiliki makna kita lebih banyak mendengar daripada bicara. Tepat sekali,
kata-kata bijak itu untukku. Aku berpikir dengan mendengar segala kebijaksanaan
akan terakumulasi dalam pemikiran dan siap untuk dilanjutkan dengan tindakan
yang lebih baik.
Namun pernah pula yang menyindir bahwa aku
terlalu pendiam. Bicaralah. Masalah tidak akan selesai hanya dengan
mendengarkan. Aku pikir banyak bicara hanya akan membuat rumit masalah yang
sebenarnya sederhana. Aku tak suka dengan bunga-bunga dalam berkata. Kalau
memang bisa satu menit mengapa harus 10 menit?
Coba kita lihat saat pidato para pejabat.
Dengan gaya formalitasnya, berapa banyak basa-basi dan bunga-bunga yang
mengiringi inti pidato yang ingin disampaikan. Makanya bagiku filosofi kita
punya dua telinga dan satu mulut itu bukan sia-sia dan tanpa makna.
Aku memilih di antara dua pihak yang
bertikai, hingga aku sering dikenal sebagai lelaki tengah. Tak ada dalam
kamusku istilah masa bodo, cuek, emang gue pikiran, dan sejenisnya. Memilih
menjadi lelaki tengah meski menikmati segala risikonya. Menurutku semua pilihan
hidup akan selalu memunculkan risiko. Tinggal bagaimana aku menikmati.
Kadang aku dijuluki lelaki gamang. Aku
hanya tersenyum. Kuulangi gamang itu pun pilihan. Terkadang aku sangat menikmati
sensasi ketegangan yang singgah. Hormon
adrenalinku terpacu membangkitkan aliran-aliran dalam tubuh yang tersumbat. Lepas
bebas. Gamang yang kupilih itu menjadi permainan untuk melihat karakter
orang-orang di sekeliling. Meniti titik-titik tengah tidaklah mudah. Perlu
kecerdasan emosi tersendiri.
Sejak aku memilih menjadi lelaki tengah,
aku merasa kesabaran berlapis dalam dada ini. Lebar dan luas seperti filosofi
dibelahnya dada Nabi Muhammad kala kecil oleh Jibril untuk menyikapi kesabaran
tingkat Nabi. Aku sadar aku bukanlah manusia tanpa rasa, tetap ketika gempuran
emosi untuk aku menjadi tegas telah mengguris sebilah hati yang lunak dalam
dada ini. Aku hanya mampu memberikan seulas senyum. Ucapan pembelaan hanya akan
menurunkan kadar pilihanku untuk menjadi lelaki tengah.
Salahkah aku ketika memilih pilihan yang
menurut nuraniku mengandung nilai kebenaran? Aku pun takkan pernah menyalahkan
yang memilih di posisi kiri atau kanan, warna hitam atau putih, kelompok pro
atau kelompok kontra, pemerintah atau oposisi, dan dua sisi lain yang saling
berseberangan. Asalkan bisa saling menghargai pilihan, tidak akan ada yang
salah.
Kawan spiritualku pernah bilang, “Kita
hidup hanya dalam dua pilihan. Pahala atau dosa, baik atau buruk, neraka atau
surga, tidak ada tengah-tengahnya.” Aku hanya bisa menjelaskan kalau pilihan
seperti itu tidak tepat perbandingannya dengan pilihanku menjadi lelaki tengah.
“Kau tidak bisa berdebat lagi, kawan?
Bukankah kau pernah menempuh kuliah dengan jurusan yang mengharuskan
perdebatan? Bahkan aku pernah melihat postinganmu di instagram tentang juara
debat. Temanya kalau tak salah pro kontra memilih pemimpin di negeri ini,”
jelas teman seperjuanganku dalam organisasi yang kugeluti bersama.
Kemampuan berdebat bukan berarti aku juga
akan bebas berbicara dengan ceplas-ceplos segala hal dalam keseharian. Aku
berdebat dengan mengumpulkan fakta dan saat aku berbicara, bicaraku adalah
ilmu. Saat ini yang aku saksikan banyak orang berdebat lebih banyak bermodalkan
keberanian menjatuhkan mental lawan. Data dan fakta yang diungkapkan cenderung
modal persepsi. Hemm … tak mengerti mereka kalau di dalamnya ada
pertanggungjawaban.
Sudahlah, takkan habis perdebatan atas
pilihanku menjadi lelaki tengah ini. Segudang alasan lain yang aku jelaskan
belum tentu membuat kalian akan mengerti. Karena kalian ingin menyeretku pada
kelompok kalian dan tidak rela di muka bumi ini ada lelaki tengah sepertiku.
“Benarkan? Masa bodo, yang jelas aku
sangat menikmati menjadi lelaki tengah.” [*]
*) Bambang Kariyawan
Ys., kelahiran Tanjung Uban – Kepulauan Riau. Menulis beragam genre tulisan.
Penghargaan yang pernah diraih Penghargaan Acarya Sastra dari Kemendikbud 2019,
Tokoh Bahasa dan Sastra Kategori Tokoh Pendidikan dari Balai Bahasa Provinsi Riau
Tahun 2020. Karya buku terbaru “Serimbun Puisi Hijau: Membaca Laut Pada Kampung
yang Hilang”. IG/FB/Youtube: Bambang Kariyawan.
Ingin kirim naskah di pustaka22.com? Baca infonya di KIRIM NASKAH
Komentar
Posting Komentar