Sejak ayahku meninggal dunia, saat itu aku duduk di kelas enam sekolah dasar, aku mulai mengalami kejadian ganjil yang tidak lazim diterima akal sehat. Aku tidak tahu kenapa aku bisa memiliki kemampuan melihat makhluk halus. Orang-orang menyebutnya indigo. Apakah keahlian ayah menular kepadaku?
Ibu
pernah bilang bahwa ayah adalah seorang keturunan indigo. Saat menikahi ibu, ayah berharap akan dapat memutus
mata rantai keahlian itu agar tidak menurun pada keturunan
selanjutnya. Nihil, ternyata aku juga
seorang
indigo.
Sejak diketahui mengidap kelainan ini, aku
mulai sering mengalami hal-hal tak biasa. Seperti melihat sosok perempuan
sebaya diriku sedang duduk di salah
satu bangku kelas. Dia bukan teman sekelasku, bukan juga siswa sekolah ini. Dan
begitu aku mengalihkan pandangan, dia sudah menghilang.
Peristiwa
itu hanyalah sebagian
kecil dari banyaknya kejadian ganjil yang terjadi padaku. Aku bisa melihat dan mendengar yang orang lain tak
bisa. Mulai dari pintu kelas yang bergerak sendiri, suara
gamelan di ruang kesenian, perempuan bertudung cokelat di belakang sekolah,
aroma melati, dan masih banyak lagi.
Karena
itulah, aku pun tahu dan cukup mengerti, kemampuan ayah turun ke
diriku. Aku masih ingat bagaimana kekuatan indigo
ayahku merenggut ayah dariku.
***
Empat
tahun lalu.
Aku
dan ayah pergi
berkemah di hutan. Kami sangat
menikmati suasana hutan yang sejuk dan asri. Tidak ada perasaan ganjil sama
sekali pada saat itu.
Pada malam hari, saat aku sedang membakar unggun, ayah tiba-tiba menggila saat melihatku. Ayah mendekatiku
tergesa, lalu seperti menarik sesuatu yang ada di
kepalaku. Pada saat itu, aku mulai merasakan tarikan hebat di rambutku. Tapi aku tidak tahu apa yang ditarik ayah.
Aku
merintih kesakitan karena seperti
ada sesuatu yang berusaha memegang erat kepalaku. Ayahku
terus berusaha menariknya.
Entah apa yang sedang ayah tarik. Saking
gigihnya, ayah tidak sadar kalau nyawanya dan nyawaku sekarang sedang terancam terbang ke surga. Ayah tidak
menyadari, kami telah berdiri tepat di tepi tebing. Akhirnya....
Aku
dan ayahku terjatuh dari tebing.
Aku diselamatkan oleh
anggota perkemahan yang sedang berkemah di bawah tebing. Sedangkan ayah tak bisa diselamatkan. Tapi sebelum menghembuskan
napas terakhirnya, ia masih sempat berbisik di telingaku, agar aku menjadi
seorang penghafal
Alquran.
Hingga
saat ini, aku tidak tahu makhluk apa yang ayah lihat di kepalaku.
***
Minggu adalah jadwalku untuk menyetorkan hafalan
Alquranku pada seorang guru ngaji. Tidak hanya aku, ada beberapa anak lain yang
juga melakukan hal yang sama. Termasuk Reyhan dan Diego, dua orang sahabatku. Tempatnya
bukan di masjid atau surau, tapi di kantor camat. Pihak kecamatan memang dari
dulu memfasilitasi siswa dan pemuda yang ingin menghafal Alquran.
Dalam perjalanan pulang
ke rumah, aku
melewati jalan yang kanan kirinya penuh dengan kebun yang asri dan sejuk. Aku baru kali ini melewati jalan ini. Entahlah,
seperti ada yang memanggilku agar aku berbelok menuju jalan ini. Di sudut
kebun, di depan sebuah pondok, aku melihat seorang
pria tampan sedang duduk,
tepatnya di bawah pohon rindang di kebun sebelah kiri.
Sekilas,
pria itu mirip ayahku. Tetapi, tubuhnya sedikit lebih kekar. Wajahnya tampan
sekali. Jika orang bertemu dan melihatnya, maka orang akan mengira bahwa ia
menyamar jadi tukang kebun hanyalah
demi konten medsos. Ya, ia lebih
cocok jadi seorang bintang film, bukan tukang kebun.
Aku
menoleh ke arahnya, ia memberikan senyumannya padaku. Namun, entahlah, senyumnya membuat bulu
kudukku berdiri. Kebun yang semulanya terasa asri dan sejuk tiba-tiba berubah
menjadi panas dan sesak seiring pria itu tersenyum.
“Dari
mana, Nak?”
tanya pria itu.
“Oh … saya dari kantor camat, Om,” jawabku.
“Ngapain
di sana?” tanyanya kembali.
“Ada
pelatihan di sana, Om.”
jawabku menjelaskan sekaligus mengakhiri percakapan. Aku buru-buru pamit. Sepertinya
pria itu tidak
puas dengan jawabanku. Aku menoleh sekali lagi, pria itu tampak tersenyum sinis kepadaku.
Bulu kudukku berdiri. Ada sesuatu
yang ganjil pada pria itu.
***
Kejadian kemarin tak pernah lari dari ingatanku. Tidurku menjadi tidak
lelap. Aku bertekad
tak akan lagi melewati jalan itu agar tak bertemu dengan
pria itu. Aku segera pergi ke sekolah lebih awal hari ini. Ada ujian kesenian bersama
Bu Kikis pada jam pertama.
Ketika
sampai di sekolah, aku langsung mengambil buku kesenian dari dalam tas untuk membaca ulang yang kupelajari tadi malam. Tak
lama, Reyhan datang
dan segera menuju ke mejaku.
Aku teringat dengan pria tampan di kebun itu. Apakah aku harus memberi
tahu Reyhan tentang kejadian
itu? Reyhan sepertinya tahu aku sedang menyimpan sesuatu. Dia
tampak penasaran dengan apa yang ingin aku katakan. Akhirnya aku memberitahunya tentang kejadian itu. Reyhan
menyarankan agar itu menemui
pria itu lagi dan menyelidiki siapa dia. Reyhan bilang
pria itu mungkin saja orang
baik.
***
Aku
kembali pulang lewat kebun yang
ada pria itu, sesuai saran Reyhan. Seperti yang kuduga, pria itu sedang duduk
di pondok. Aku pun pura-pura melewati pria itu berharap ia memanggil namaku.
“Nak
Bagas!” teriak pria itu padaku.
Yes,
berhasil. Dia memanggilku. Tapi tunggu dulu, mengapa ia tahu namaku? Bukankah
kemarin kami sama sekali tidak berkenalan? Aku
menuju pondok itu dan berbincang-bincang dengannya.
Tak
lama sesudah berbincang-bincang dengan pria itu, aku pun pamit untuk pulang ke
rumah. Di sepanjang perjalanan aku masih heran akan satu hal, bagaimana pria
itu bisa tahu namaku meskipun aku tak pernah menyebutkannya?
***
Keesokan harinya aku memberi tahu
lagi kejadian itu pada
Reyhan, juga pada Diego -yang
juga pengidap indigo-. Reyhan tampak senang sekali dengan
penjelasanku. Berbeda dengan Diego yang menunjukkan raut wajah khawatir. Diego berpesan padaku agar aku
selalu waspada dan mengulang doa-doa.
Karena penasaran, aku
kembali pulang melewati jalan
kebun itu. Dan, seperti yang kuduga pria itu berada di pondok sedang menikmati
secangkir kopi. Aku menyapa pria itu dan berbincang-bincang dengannya. Aku seperti merasakan kehadiran seorang ayah. Meski berbeda rupa. pria
itu seolah adalah
ayahku.
Bukannya khawatir, aku sekarang malah menjadi akrab dengannya. Apa yang
ditakutkan Diego sepertinya tidak terbukti, pria itu memang baik seperti kata
Reyhan.
Di
sela-sela pembicaraan kami, aku memberitahukan kepadanya bahwa besok akan melaksanakan
ujian matematika. Aku bertanya kepada pria itu apakah ia pintar matematika. Dan
ternyata dia juga pintar matematika seperti ayahku. Ini kebetulan atau apakah? Aku belajar mengerjakan soal dengan bantuannya. Sebelum pulang, ia
berpesan kepadaku untuk menjawab opsi ABCD berturut-turut di empat soal terakhir.
***
Hari ini aku ujian
matematika bersama Mr. Anton. Melihat soalnya saja aku sudah pusing. Apalagi
soalnya dalam bahasa
Inggris. Aduh, tambah double
sulitnya.
Aku
sudah mengerjakan tiga puluh enam
soal
dari empat puluh soal. Soal
ke-37 benar-benar diluar kemampuanku. Begitu juga dengan tiga soal terakhir,
sangat sulit. Apakah aku harus mengikuti kata-kata pria
itu? Waktunya juga tinggal sedikit lagi.
Selesai
ujian, banyak temanku yang mengeluhkan empat nomor terakhir ujian
tadi. Tak terkecuali Reyhan dan Diego. Aku tertawa kecil-kecil melihat keluhan
mereka. Aku juga tidak
tahu apakah jawabanku benar atau tidak, tapi entah mengapa, aku sangat senang
setelah akhirnya mengikuti saran pria tampan di kebun itu. Aku menjawab ABCD
untuk empat soal terakhir.
***
Keesokan harinya, Mr.
Anton membagikan hasil ujian
matematika kami. Mr. Anton tersenyum saat memanggil namaku dan mengumumkan di hadapan kelas
kalau nilaiku sangat memuaskan.
Seratus!
Ternyata
tebakan pria itu benar. Aku harus membagikan kabar gembira ini dengan pria itu nanti
sepulang sekolah.
***
Pria
itu tampak senyum kepadaku setelah mendengar bahwa aku seratus dalam ujian
matematika. Pria itu tampak senang sekali atas keberhasilanku.
“Nak Bagas punya keinginan yang belum tercapai? Nanti
Om akan kabulkan permintaan itu.” Katanya kemudian.
Awalnya aku ragu, tapi kemudian aku mengatakan juga. Ya,
aku punya satu keinginan, aku ingin kemampuan indigoku hilang. Aku ingin menjadi manusia
normal tanpa ada kemampuan indigo.
Tapi
aku tidak yakin kalau pria itu bisa mengabulkan keinginanku..
Pria itu tersenyum. Lalu merogoh sesuatu dalam kantung
celananya. Dia mengambil sebuah gelang dari kayu dan menyerahkan padaku
“Pakailah
gelang ini sampai hari Minggu, lalu datanglah kembali ke sini pada Minggu sore. Aku akan menghilangkan
indigomu dengan suatu cara.” ucap pria itu.
Bulu
kudukku tiba-tiba berdiri mendengar ucapan pria itu. Suasana kebun tiba-tiba
menjadi sesak dan bau. Aku berusaha bangkit dari halusinasiku. Aku menepuk
pipiku, dan pria itu tampak tersenyum
seperti biasa kepadaku.
Aku
pun pamit pulang ke rumah. Di sepanjang perjalanan, aku melihat dengan seksama
gelang itu. Gelang itu memiliki motif batik yang sangat indah, namun masih
cocok dipakai oleh laki-laki. Aku berharap gelang ini dapat membantuku.
***
Sabtu
malam, aku pergi mengaji bersama dua sahabatku, Reyhan dan Diego. menyetorkan
hafalan masing-masing,
aku merasa ada yang aneh, tanganku terasa sakit sejak aku memasuki masjid tadi.
Gelang yang kupakai terasa
sangat erat membelit pergelangan tanganku.
Rasa sakit itu semakin menjadi hingga aku sama sekali
tidak khusuk saat salat isya berjamaah
dilaksanakan.
Setelah
salat,
Reyhan dan Diego
menanyakan keadaanku yang tidak
seperti biasanya. Sontak, mereka kaget melihat pergelangan
tanganku merah.
“Bagas,
tangan kamu kok merah?” tanya Reyhan.
“Gak,
gak ada apa-apa. Sepertinya gelang
ini tadi terlalu erat di tanganku,” jawabku menyembunyikan raut wajah
kesakitan.
“Ngomong-ngomong,
kok kamu tiba-tiba pakai gelang? Itu
gelangmu?” tanya Diego penasaran.
Akupun menceritakan asal-usul gelang itu.
“Bagas,
lepaskan gelang itu!” perintah
Reyhan tiba-tiba.
“Iya Gas, kamu harus buang gelang itu.” Diego ikut
bersuara.
Aku menggeleng. Gelang ini harus tetap aku pakai
hingga besok. Itu persyaratan yang diberikan pria di kebun. Kalau aku lepaskan,
bisa-bisa dia tidak bisa mengabulkan apa yang kuinginkan.
“Besok, hari Minggu, baru aku lepasin,” jawabku
santai.
“Bagas,
lepaskan gelang itu. Sekarang!” perintahnya Reyhan dan Diego
berbarengan.
“Emang
apa sih masalahnya?” tanyaku mulai kesal.
Reyhan berusaha menarik tanganku.. Aku sontak
menepisnya. Reyhan berkata
bahwa sepertinya aku sudah dimanipulasi oleh pria itu. Sepertinya dia bukan pria baik-baik. Tidak
mungkin dia bisa menghilangkan indigo
hanya dengan bantuan gelang.
Aku
marah kepada Reyhan karena telah mengejek pria itu. Sontak aku menarik tanganku dengan keras. Reyhan terlihat kaget.
Diego juga.
“Aku hanya ingin sembuh, dan pria ini akan
membantuku.”
“Tapi Gas, aku rasa Reyhan ada benarnya, pria itu
bukan pria baik-baik.”
Aku menggeleng, “Jangan coba-coba halangi aku.”
“Terserah padamu Bagas,
silahkan lanjutkanlah ritualmu itu. Tapi, jika suatu hari kamu menyesal dengan keputusanmu,
maka jangan salahkan kami.” ucap Diego, lalu mengajak Reyhan pulang.
***
Aku
sampai di kebun itu tepat
jam 5 sore. Pria tampan yang sedang duduk di depan pondok itu menanyakan
apakah aku sudah siap. Aku hanya
mengangguk, dan pria itu pun memulai ritual untuk menghilangkan indigoku.
Di
tengah-tengah ritual, pria itu memintaku membelakanginya. Tanpa ragu, aku menuruti permintaannya. Tak lama kemudian pria itu tiba-tiba berteriak histeris. Aku
terkejut, menoleh
ke arah pria itu. Dan yang
kudapati sekarang bukan lagi seorang pria tampan, melainkan sesosok makhluk
mengerikan. Badannya dipenuhi bulu lebat berwarna hitam, matanya merah, kuku-kukunya
terlihat
tajam dan runcing. Makluk itu
menjerit kesakitan karena giginya yang seperti taring
berubah melepuh dan mengeluarkan darah yang mengucur deras.
Belum hilang kekagetanku, makhluk
itu terbang ke langit dan lenyap bersama awan-awan. Aku terduduk, lemah dan kehilangan tenaga.
“Apakah
kamu baik-baik saja,
Bagas?” Diego dan Reyhan dengan
napas terengah sudah berada di sampingku, mereka sangat khawatir.
“Apa
yang sebenarnya terjadi?” tanyaku dalam keadaan syok.
“Kamu
hampir saja ditarik ke alam baka oleh
pria
itu.” jelas Diego.
“Bagaimana
kamu bisa tahu?” tanyaku.
“Sebenarnya,
aku sudah menyelidiki pria itu sejak pertemuan pertamamu dengannya, aku
merasakan sesuatu yang ganjil pada pria itu, dia bukan manusia, dia adalah jin yang ingin
mencelakaimu.” jelas Diego kepadaku.
“Lalu
kenapa aku bisa selamat?” tanyaku lagi.
“Itu
karena hafalan Alquranmu.”
Kali ini Reyhan yang menjawab.
Tiba-tiba aku ingat ayah. Ingat pesannya sebelum maut
menjemputnya. Ayah berwasiat agar aku menjadi seorang hafiz Quran.
Aku memandang Reyhan, lalu memeluknya dan mengucapkan
kata maaf. [*]
*) Syahrul Ramadhan, seorang pelajar kelahiran
Payakumbuh,
September 2007. Aktif menulis sejak tahun 2022. Saat ini, Syahrul aktif menjadi
kontributor Kompas Muda.
Komentar
Posting Komentar