Cerpen: DATUAK TUMANGGUANG

Matahari tampak mulai tenggelam dari lepas Pantai Air Manis. Pemuda itu masih menatap lurus ke arah lautan. Menyaksikan senja berganti gelap. Seseorang datang mendekat, membawa dua buah bungkusan daun pisang di dalam plastik yang dijinjingnya. Ia ikut bergabung dalam suasana senja, duduk di bawah pohon nyiur.

“Kau masih di sini, kawan?” ucapnya pelan.

Lamunan pemuda itu terputus, ia menoleh sekilas lantas kembali menatap lautan yang kini mulai menggelap.

“Oi, tak seburuk itu, bukan? Ini aku bawakan lapek bugih buatan Ibu kau.” kini sang kawan karib mulai menyodorkan dua bungkus daun pisang tersebut.

“Tidak, terima kasih. Aku sudah kenyang,” Pemuda itu menggeleng pelan, mulai menatap mata sahabatnya dalam-dalam.

“Kau tidak akan mati, Zainudin. Kau hanya akan diangkat menjadi datuak.” Pemuda yang akrab dipanggil Syarif itu terkekeh pelan. Zainudin, pemuda itu melipat dahinya, mengalihkan pandangan ke kapal-kapal nelayan yang baru saja pulang.

“Tidak. Aku tidak akan menjadi datuak.” Zainudin menggeleng tegas..

“Tapi bagaimana dengan wasiat Datuak Tumangguang?” Syahrif menangkat alis kanannya, menatap Zainudin lamat-lamat.

Bagaikan disetrum listrik, Zainudin langsung berdiri. “Tidak, aku tidak akan menjadi datuak!” Zainudin berbalik badan, meninggalkan Syarif yang kini tampak kebingungan di bawah ribuan gugusan bintang. Anak itu terlalu keras pada dirinya sendiri.

Zainudin tiba di ujung tangga rumah panggung lima belas menit kemudian. Dari dalam Rumah Gadang bergonjong tujuh itu terdengar pembicaraan yang samar. Pemuda itu menaiki anak tangga yang berjumlah enam. Mengucapkan salam lantas mematung di daun pintu.

“Akhirnya, Zainudin sudah pulang.” Seorang tokoh adat yang dihormati telah duduk di salah satu kursi rumah panggung sambil berbincang serius dengan Bundo. Zainudin menatap Bundo lamat-lamat. Wajahnya mengisyaratkan kecemasan

Duduaklah, Anakku.” Lelaki yang disegani seluruh kampung itu tersenyum tulus pada Zainudin yang kini menggigit bibir. Awalnya Zainudin ragu-ragu, namun akhirnya menurut pada tatapan Bundo.

“Baiklah Anakku. Seperti kita bersama tau, Datuak Tumangguang mau Zainudin jadi datuak selanjutnya.” lelaki itu tersenyum lagi.

“Tidak, aku tidak akan menjadi datuak.” Zainudin berkata dengan tatapan datar.

“Tapi ini sudah menjadi aturan adat dan Datuak Tumangguang sendirilah yang berwasiat agar kau yang menjadi datuak selanjutnya.” Kini raut wajah lelaki yang bergelar Ninik Mamak itu mulai mengeras.

Zainudin mulai berdiri lalu memukul meja sembari berkata dengan menguatkan intonasi, “Aku tetap tidak akan menjadi datuak.” Matanya menatap lelaki itu tajam. Sontak itu membuat Bundo dan lelaki itu terkejut. Zainudin tak peduli, berbalik badan lantas meninggalkan rumah.

***

Datuak, sebuah gelar yang diterima seorang laki-laki yang dipercaya untuk menjadi pemimpin suatu kaum atau dapat juga disebut penghulu. Masyarakat Minangkabau memiliki adat matrilineal yang berarti mengatur garis keturunan dari pihak ibu. Jika seorang datuak meninggal, maka tampuk kekuasaannya akan diwariskan ke keponakan yang paling dekat dari garis keturunan ibu.

Dan itulah kini yang membebani pikiran Zainudin. Muhammad Iskandar, Paman atau Mamak Zainudin yang bergelar Datuak Tumangguang itu telah menghadap Illahi beberapa waktu yang lalu. Dalam wasiatnya, Datuak Tumangguang meminta agar Zainudin menggantikan posisinya. Namun Zainudin menolak, ia tak suka hal-hal yang berbau adat, apalagi menjadi datuk. Jika pemuda lainnya bermimpi bahkan berlomba-lomba untuk menjadi datuak, tapi tidak dengan Zainudin.

Dulu, Zainudin pernah mencintai perempuan dari satu suku. Nama perempuan itu Nirmala. Begitu elok parasnya. Ia juga perempuan yang soleha. Kisah cinta itu sudah bertahan tiga tahun tanpa sepengetahuan keluarga masing-masing. Malang takdir tak berpihak.

Malam itu Zainudin memutuskan untuk mengenalkan Nirmala ke keluarganya. Rencananya Zainudin akan meminang Nirmala secepat mungkin. Maka marahlah Datuak Tumangguang mengetahui hal tersebut. Datuak Tumangguang menolak hubungan keduanya secara mentah-mentah.

Zainudin yang emosi mulai menepuk meja sembari berseru tak terima. Naik pitamlah Datuak Tumangguang malam itu. Bukan hanya tak merestui, bahkan Datuak Tumangguang melarang mereka bertemu lagi. Hal itu dikarenakan di dalam adat masyarakat setempat perkawinan sesuku dianggap tabu.

Hati Zainudin bagai ditusuk sembilu. Mendengar perkataan Datuak Tumangguang yang mengatakan bahwa jika Zainudin berhubungan dengan Nirmala lagi, maka Zainudin tidak akan dianggap di keluarga mereka lagi. Jika bukan karena nasihat Bundo, mungkin saja Zainudin sudah nekat.

Sejak saat itu Zainudin amat membenci tradisi adat.

***

Bundo memasuki kamar Zainudin malam itu. Zainudin tampak sibuk memandang keluar jendela. Bundo mengelus pundak putra semata wayangnya dengan lembut.

Zainudin berbalik badan, menatap wanita berkerudung putih itu lamat-lamat. “Bundo, Zainudin ndak ingin menjadi datuak.” Putranya itu menggeleng pelan sembari menunduk.

Bundo mengusap pipi putranya pelan, lantas menangkat dagunya. “Ndak ado salahnya kau penuhi wasiat terakhir Mamak kau itu.” Bundo tersenyum tulus mencoba meyakinkan putranya. Zainudin tetap menggeleng.

“Jika kau tak mau melaksanakannya demi Mamakmu, laksanakanlah demi Bundo. Kita ini keluarga terhormat, Zainudin. Jangan kau rusak kehormatan keluarga ini dengan menentang tradisi adat.” Bundo menatap putranya lamat-lamat untuk terakhir kalinya. Kemudian Bundo meninggalkan Zainudin yang masih berpikir.

Esok harinya, yang tak di duga-duga terjadi. Lihatlah, pemuda itu kini berdiri di bingkai aula panggung kecil itu. Dia datang menemui Ninik Mamak yang sedang berdiskusi di Balai Kerapatan Adat Nagari. Menyampaikan maksud dan tujuannya. Ninik Mamak yang mendengarnya seketika berseri wajahnya. Maka saat itu pula seluruh kampung dikumpulkan.

Semua terlihat senang, apalagi Bundo. Maka disiapkanlah acara yang diberi nama Batagak Panghulu itu.

“Hey, lihat siapa kini yang lah bersedia menjadi datuak.” Syarif mencoba mengoda sahabatnya itu. Zainudin hanya membalas dengan tersenyum simpul. Semua orang tertawa-tawa penuh kegembiraan menyiapkan acara pengangkatan datuak baru mereka.

***

Tapi semuanya tak berakhir bahagia begitu cepat. Malam itu, di tengah sunyinya malam bulan purnama, pemuda itu mengendap-ngendap menerobos udara dingin. Dengan sabit digenggamannya, ia tiba di depan hewan bertanduk itu.

Astaga!

Pemuda itu memotong tali pengikat kerbau yang disiapkan untuk kurban besok. Membuat kerbau tersebut berlari masuk ke dalam rimba Sumatra. Ia tersenyum simpul, senyum yang sama pada siang tadi.

Pagi itu semua warga ribut di halaman balai adat. Semuanya bingung mendapati kerbau yang sudah dihias itu menghilang tanpa jejak. Para warga panik mencari ke sana ke mari. Tanpa adanya kerbau itu, acara Batagak Pangulu tidak dapat dilaksanakan. Itu sama saja menentang tradisi.

Hingga matahari tumbang di ufuk barat, kerbau itu tak dapat ditemukan juga. Semuanya sudah putus asa. Wajah-wajah curiga ada di mana-mana. Semuanya mulai ricuh satu sama lain. Saling melempar dugaan.

Zainudin berdiri di atas balai, menepuk-nepukkan tangannya untuk menarik perhatian. Semua mata kini memandang pemuda itu.

“Maaf semuanya, tapi tampaknya acara Batagak Panghulu besok tak dapat kita laksanakan sebelum kerbau itu ditemukan.” ucap Zainudin dengan intonasi meyakinkan. Ninik Mamak mengangguk setuju. Semua penduduk kampung ber-ondeh pelan. Kecuali Zainudin, ia tampak tersenyum puas.

Semuanya pulang ke rumah masing-masing. Sebagian dari mereka pulang dengan rasa kecewa.

***

Langkah Zainudin terhenti mendengar ada suara memanggilnya dari arah belakang. Ia menoleh. Jantungnya berdetak tak karuan. Nirmala terlihat berjalan tergesa ke arahnya.

“Uda, bisa bicara sebentar?”

Zainudin mngangguk. Ia mengajak Nirmala duduk pada sebuah bangku taman di pinggir jalan. Sudah sangat lama ia tidak berhubungan dengan Nirmala. Meski hatinya sebenarnya berontak melawan kehendak Mamaknya, tapi bagaimanapun ia harus menghormati lelaki itu. Tanpa kepastian akan hubungan mereka, ia dan Nirmala tidak pernah lagi bertemu dan berkomunikasi sejak saat itu. Sejak berbulan-bulan lalu.

“Aku tau, Uda yang melepaskan kerbau untuk acara batagak pangulu.”

Zainudin kaget. Nirmala tahu dari mana?

“Aku hanya menebak, tapi aku yakin tebakanku benar.” Nirmala menjawab keraguan Zainudin.

“Uda paling benci dengan adat dan tradisi, jadi kalau Uda tiba-tiba bersedia menjadi seorang datuak, aku awalnya juga heran. Namun begitu aku mendengar acara itu dibatalkan karena kerbaunya lepas, aku langsung menduga, ini semua ulah Uda.”

Zainudin menarik napas. Ia mengangguk.

“Ya, aku yang melakukannya. Dan aku puas dengan itu.” jawabnya sambil tersenyum. “Kenapa? Kamu tidak setuju dengan ideku? Itu cara terbaik agar aku batal menjadi seorang datuak.”

“Mengapa Uda begitu membenci menjadi seorang datuak? Tidakkah Uda melihat sisi positifnya?”

“Apa?”

“Uda akan menjadi ketua adat. Suara Uda akan didengar. Luruskan lagi adat yang tidak sesuai dengan syariat. Bukankah agama tidak melarang pernikahan sesama suku? Dan banyak tradisi lain yang menurutku juga perlu diluruskan. Dan itu akan lebih mudah untuk diubah jika Uda jadi seorang datuak.”

Tak hanya cantik, Zainudin mengakui kepintaran Nirmala. Meski itu sebuah beban berat. Tapi bukankah tidak ada salahnya untuk mencoba. Zainudin tersenyum.

***

Suara kentongan terdengar lantang dari arah balai kerapatan adat. Seluruh penduduk segera keluar rumah, langsung berkumpul. Tua-muda, laki-laki-perempuan, besar-kecil. Semuanya terlihat kebingungan. Mendapati yang memukul kentongan ialah Zainudin. Semuanya menunggu.

“Pertama, maafkan aku memanggil semua tiba-tiba. Tapi ada informasi penting yang akan aku sampaikan,” suara Zainudin bergetar. Wajah-wajah semakin penasaran juga Bundo dan Ninik Mamak. Hanya hening yang memenuhi satu menit.

 “Hey, cepat katakan ada apa! Kau tidak lihat ambo sedang sibuk, hah?” Orang-orang mulai berseru tak sabaran.

Zainudin menghela napas panjang, mengingat kata-kata yang diucapkan Nirmala, sang pujaan hati.

“Sebenarnya… yang melepaskan kerbau itu aku sendiri.” Zainudin memulai kalimatnya patah-patah. Semuanya hening seketika. Semua berseru tertahan.

 “Maafkan aku yang tak ingin menjadi datuak. Tapi aku sadar kalau itu perbuatan yang salah. Tapi kini, aku bersedia menjadi datuak.” Zainudin menyelesaikan kalimatnya masih dengan raut wajah menyesal. Tetap tersisa hening di antara para warga. Satu dua mulai berbisik. Ada yang kecewa, marah, dan tak mengerti.

Syarif memberanikan diri maju ke depan menemui Zainudin. Ia tersenyum melihat sahabat karibnya itu. Di belakang Syarif juga diikuti oleh Ninik Mamak. Bundo juga ikut maju menemui putra semata wayangnya itu. Syarif menggenggam erat tangan kanan Zainudin. Sedangkan lelaki bergelar Ninik Mamak itu menggenggam tangan kiri Zainudin. Mereka berdua mengangkat kedua tangan Zainudin bersamaan.

Syarif berseru lantang, “Muhammad Zainudin bin Salahudin Iskandar, calon datuak kito basamo!

Begitu semangat ia mengangkat tangan kawan karibnya itu. Membuat penduduk mulai antusias kembali. Tak ada salahnya memberi kesempatan kedua.

“Takbir!” seru Ninik Mamak yang paling disegani itu.

“Allahuakbar!” Balas penduduk kampung dengan mengepalkan tangan kanan ke atas.

***

Kerbau itu ditemukan sehari kemudian. Sedang asyik berendam rumput di sawah yang terletak di ujung kampung. Dan esok lusa, acara batagak penghulu itu dilaksanakan dengan penuh suka cita. Semua berarak-arak berkeliling kampung. Memancarkan kebahagiaan ke seluruh penjuru kampung.

Zainudin tampak gagah dengan baju khas datuaknya yang disebut deta. Tak lupa tongkat dan keris. Setelah itu di mulailah acara pengangkatan datuak dengan mengucapkan sumpah di hadapan seluruh penduduk. Gagah betul Zainudin saat menyampaikan sumpahnya. Lalu disembelihlah kerbau sebagai rasa syukur terhadap Tuhan. Daging-daging kerbau tersebut akan dimasak sebagai jamuan sedangkan kepalanya akan dipajang. Kemudian diadakanlah pertunjukan hiburan seperti silat, randai dan sebagainya. Dan semuanya ditutup dengan arak-arakan yang berakhir di balai adat.

Kini resmi sudah Zainudin menjadi Datuak Tumangguang dari Suku Koto. Bundo tak henti meneteskan air mata saat memeluk putranya itu. Terus berbisik “Bundo bangga jo Zainudin.”

Tanpa disadari ada yang dari tadi tersenyum menatap dari kejauhan. [*]

 

 

*) Ingin kirim naskah ke pustaka22.com? Baca ketentuannya DI SINI

 

Komentar