Monster Kegelapan
Oleh: Habiburrahman Alfajri
Namaku Rizki.
Beberapa hari lagi aku akan berulang tahun yang ke delapan. Aku mempunyai dua
orang adik. Rafi, empat tahun, dan Rani, dua setengah tahun.
Sebagai anak
tertua, aku sering ditinggal oleh orangtuaku di rumah. Ayah dan ibu kalau ke mana-mana
masih memakai sepeda motor, tentu aku tidak bisa diajak. Motor ayah kepenuhan.
Kata ayah kalau naik berlima bisa kena razia polisi di jalan.
Walau ibu dan
ayah sering mengatakan aku sudah besar dan tidak boleh takut lagi ditinggal
sendiri, sampai sekarang aku masih takut jika sendirian di rumah. Apalagi kalau
mati lampu. Aku takut gelap. Aku takut dimangsa oleh monster kegelapan.
***
Siang ini, ayah
dan ibu ada keperluan ke pasar. Seperti biasa, aku tinggal sendirian. Ibu menyuruhku
bermain ke rumah Aziz, tetanggaku. Tapi ketika aku ke rumah Aziz, kata bundanya
ia lagi tidur siang. Aku pun bermain sendirian di rumah. Sesudah bermain,aku
kecapekan dan langsung tidur. Saat itu masih pukul tiga. Belum lama aku
membaringkan badan, tiba-tiba hujan turun, aku menarik selimut karena udara
dingin. Tak lama kemudian hal yang kutakutkan terjadi. Mati lampu.
Aku menarik
selimut menutupi seluruh kepala dan tubuhku. Kantukku hilang saat mendengar
langkah kaki kecil sedang berlari di atas loteng. Itu pasti monster yang
terbangun karena lampu sudah mati. Monster yang suka dengan kegelapan. Aku
terus berdoa dalam hati. Berharap monster itu tidak turun ke kamarku.
Hujan turun
makin deras. Lama kelamaan suara kaki monster di atas loteng juga hilang.
Apakah dia tertidur? Aku berharap lampu segera hidup sehingga monster itu akan
menghilang.
***
Aku tidak tahu
berapa lama aku tertidur. Tapi saat aku bangun, lampu masih mati. Suara azan
Magrib sudah terdengar dari Mesjid di ujung komplek. Mengapa ayah dan ibu belum
pulang? Tanyaku dalam hati. Tak lama kemudian, aku mendengar suara motor ayah
memasuki halaman. Aku segera berlari ke luar kamar.
“Rizki, kenapa
lampunya tidak dinyalakan?” Tanya ibu begitu memasuki rumah.
“Mati lampu, Bu,
sudah sejak siang tadi.” Aku menjawab. Lalu menoleh pada ayah. “Mengapa Ayah
dan Ibu lama sekali.”
“Tadi ban motor
ayah kempes, ditambah lagi hujan yang lebat, jadi kami berteduh dulu di pinggir
jalan.” jawab ayah. “Kenapa? Masih ada monster yang mengganggu?” Tanya ayah.
“Iya, Yah. Tadi
sebelum tidur dan mati lampu, monster itu datang lagi.” Aku menjawab
bersemangat. Sebenarnya, sudah dari dulu aku katakan pada ayah dan ibu kalau di
rumah kami ada monster. Ayah dan ibu hanya tertawa mendengarnya. Tapi anehnya,
monster itu hanya datang saat aku sendirian di rumah.
***
Minggu pagi.
“Rizki, beli
sarapan, yuk!” kata ayah. “Nanti setelah sarapan, kita akan menangkap monster
yang suka mengganggu itu.” Lanjut ayah sambil tersenyum.
Haa? Aku kaget.
Menangkap monster? Benarkah?
“Ayah serius?”
tanyaku mengikuti ayah menuju motornya.
“Kamu lihat saja
nanti, kalau monsternya sudah tidak ada, kamu tidak akan takut lagi kalau mati
lampu, kamu tidak akan takut lagi saat tinggal sendiri. Mau bantu ayah
menangkap monster itu? Kita harus bersatu untuk menangkapnya.
Aku masih belum
percaya apa yang dikatakan ayah. Beranikah aku? Sepulang membeli sarapan, kami
sekeluarga sarapan bersama. Ibu makan lontong gulai paku kesukaannya. Ayah
makan lontong pecal yang rasanya pedas. Aku seperti biasa membeli nasi goreng.
Buat Rafi dan Rani, ayah membelikan bubur kacang hijau. Selesai sarapan,
seperti yang dikatakan ayah tadi, ia bersiap-siap menangkap monster.
“Sebelumnya kita
bersihkan dulu sekeliling rumah dan halaman.” Kata ibu.
Kami pun
bergotong royong membersihkan rumah. Kata ibu, monster tidak suka tempat yang
bersih, kalau rumah bersih, maka monster itu akan pergi dari rumah. Setelah
rumah bersih, ayah mengambil tangga di belakang rumah dan membawanya ke dalam
rumah. Sepertinya ayah akan naik ke loteng, berhadapan langsung dengan monster
itu.
“Ayah tidak
takut?” tanyaku.
“Doakan Ayah
ya?” jawab ayah sambil tersenyum.
Ayah kemudian
naik ke loteng, membawa senter, sapu dan beberapa alat lainnya. Aku dengan
cemas melihat ayah memanjat tangga. Tak lama kemudian tubuh ayah menghilang,
ayah sudah berada di atas loteng.
Belum lama ayah
di atas loteng. Aku mendengar suara ribut langkah-langkah kaki berlari di atas
loteng. Monster itu bangun.
Aku berlari
menghampiri ibu.
“Bu, apakah ayah
tidak apa?” tanyaku.
“Ayahmu itu
pemberani. Tenang saja. Ayo, pegang ini. Nanti Kalau ada monster yang melompat
dari atas loteng, kamu pukul saja.” Ibu memberikan sebuah tongkatkayu padaku. Saat
itulah, sesuatu berwarna hitam melompat dari atas loteng, aku terkejut.
Kulayangkan tongkat kayu yang diberikan ibu, tidak kena.
“Bu, itu kan….
Itu….”
“Ya, itu adalah
monsternya.” Ibu tersenyum. “itulah yang selama ini menghuni loteng kita.
Semoga setelah ini tidak lagi.”
Aku melihat
sosok hitam yang ternyata seekor tikus itu berlari ke luar rumah. Aku yakin, di
atas loteng tidak hanya ada satu ekor. Mungkin tikus-tikus itu sudah membuat
sarang di sana. Kata ibu, kalau rumah dijaga kebersihannya, maka tikus-tikus
itu tidak akan pernah datang. Tikus benci tempat yang bersih. Aku menyesal,
selama ini selalu buang sampah sembarangan.
***
Habiburrahman Alfajri, lahir pada bulan Maret 2008, Fajar adalah panggilannya. Cerpen ini
ditulis Fajar saat duduk di kelas VI SD Islam Raudhatul Jannah Kota Payakumbuh.
Sekarang Fajar sudah kelas X di SMA Islam Raudhatul Jannah. Fajar pernah meraih
Medali Perunggu Lomba Cipta Puisi pada ajang Olimpiade Seni dan Bahasa
Indonesia (OSEBI) Tahun 2019 dan Medali Perunggu dalam ajang Kompetisi
Penelitian Siswa Indonesia (KOPSI) Tahun 2021.
Ingin kirim naskah ke pustaka22.com silakan baca infonya di KIRIM NASKAH
Komentar
Posting Komentar