Artikel: RAMAH LINGKUNGAN

 

Sejak dulu, ramah dan sopan adalah ciri khas masyarakat Indonesia di mata dunia Internasional. Satu alasan yang menyebabkan wisatawan mancanegara ingin melancong ke Indonesia adalah karena sikap penduduknya yang ramah. Bahkan di Sumatera Barat, atau yang dikenal juga dengan nama Ranah Minang, terdapat pepatah yang berbunyi:

Nan kuriak adolah kundi

Nan merah adolah sago

Nan baiak adolah budi

Nan indah adolah baso

Pepatah itu sangat menjelaskan sekali bahwa masyarakat Minangkabau adalah orang yang sangat sopan dan ramah. Kalimat nan baiak adolah budi memberi arti bahwa kita (orang Minang) adalah masyarakat yang sopan, yang menjaga budi pekerti dan tingkah laku. Kalimat nan indah adolah baso memberikan arti bahwa kita (orang Minang) adalah masyarakat yang ramah. Menyapa (atau minimal tersenyum) bila bertemu sesorang, meskipun tidak mengenal orang tersebut.

Pepatah adat tersebut telah lahir sejak dulu, saat para lelaki dan pemuda minang adalah lelaki yang selalu salat berjamaah dan bahkan juga tidur di surau (mesjid), saat wanita-wanita minang adalah wanita yang selalu memakai kerudung untuk menutupi rambutnya, saat para perempuan minang tidak akan terlihat lagi berkeliaran ketika malam telah menjelang atau saat azan magrib sudah dikumandangkan.

Apakah sikap ramah dan sopan (menjaga budi pekerti dan tingkah laku) itu masih tercermin dalam kehidupan masyarakat sekarang ini? Pasti ada yang mengangguk mengatakan ‘masih’, namun tidak sedikit yang menggelengkan kepala mengatakan ‘tidak’.

Begitu juga dengan keramahan terhadap lingkungan. Sudahkah kita masyarakat Minang membuktikan bahwa kita adalah orang-orang yang ramah dengan lingkungan?

Tentu saja sudah. Buktinya, kota Padang (dan beberapa kota lain di Sumatera Barat) adalah kota yang selalu menjadi langganan Piala Adipura (piala yang diberikan oleh Presiden Republik Indonesia sebagai penghargaan terhadap kota yang menjaga kebersihan lingkungannya).

Hanya saja sekarang kebersihan dan keindahan kota sedikit (atau banyak?) tercemari dengan bertaburnya atribut-atribut partai (bendera partai, lambing partai, foto caleg, dll) yang dipasang semrawutan, bahkan tidak jarang yang sampai menutupi rambu-rambu jalan. Kita pasti percaya kalau para caleg kita adalah orang-orang yang ramah, tidak perlu diberikan alasan lagi terhadap pernyataan ini, karena di mana saja mereka sekarang hadir, mereka pasti akan maota lamak dengan kita. Yang dulu gak suka negur, sekarang hobi negur. Yang dulu gak suka nongkrong, sekarang nongkrong tiap hari, sambil bawa rokok banyak-banyak. Yang dulu pelit, sekarang hobi berbagi. Ramah bukan?

Itu dengan kita, bagaimana dengan lingkungan? Jika ramah lingkungan dijadikan sebagai salah satu syarat bagi partai/caleg yang akan dipilih pada pemilihan umum nanti, maka berkemungkinan tidak akan ada partai/caleg yang akan mendapatkan suara pada Februari 2024 nanti.

Lihatlah di sepanjang jalan, di seluruh daerah, begitu banyaknya baliho Alat Peraga Kampanye (APK) berupa lambang partai, bendera partai hingga foto caleg yang dipakukan ke pohon. Adakah yang setujuh kalau APK tersebut merusak pemandangan, estetika dan keindahan lingkungan? Apalagi sampai dipakukan ke pohon. Apa tidak kasihan dengan pohonnya? Pohon juga makhluk hidup. Mestinya di dalam tubuh partai ada sebuah aturan yang mengatakan untuk tidak mencemari/merusak lingkungan dalam berkampanye. Atau mungkin sudah ada tapi tidak diindahkan? Lalu Apakah ini menandakan kita adalah orang yang ramah lingkungan? [ua_]



Ingin kirim naskah ke pustaka22.com silakan baca infonya di KIRIM NASKAH

Komentar