Awal 1970 : Keputusan Paling Tepat
Langit cerah kembali menghiasi rumah Amak. Setelah rutin menjalani pengobatan, akhirnya dokter menyatakan kalau Amak sudah sembuh, tumornya sudah lenyap. Sementara itu Uda Aznan mengikuti ajakan temannya untuk merantau mencari kerja ke Jakarta. Sebelum berangkat, Uda Aznan berpamitan padaku dan Amak, hal yang sebelumnya tak pernah dilakukannya. Uda Aznan juga membisikkan kata-kata yang membuatku hampir menangis. Katanya dia sangat berterimakasih telah membayar utang-utangnya, dan suatu hari nanti, dia berjanji akan menebus kebaikanku itu. Entah mengapa, itu sepertinya ucapan yang sangat tulus darinya. Sama sekali aku tidak memberitahu padanya kalau aku melunasi utangnya dengan meminjam uang pada Bagindo Sulaiman.
Syukurlah Udanya itu memiliki kesadaran untuk tak menyusahkan aku dan Amak terus. Walaupun belum pasti apakah dia akan betah atau membuat ulah lagi nantinya. Aku dan Amak hanya bisa berdoa untuk Uda Aznan.
Bagiku, ini adalah kesempatan untuk berbicara empat mata dengan Amak.
“Mak, Layla bersedia kok, menikah dengan calon pilihan Amak.” ucapku pada Amak setelah Uda Aznan pergi.
Ucapan Amak tempo hari terus mengusikku. Amak ingin sekali melihatku menikah sebelum ajal menjemputnya. Usai pembicaraan tentang itu, bayang-bayang Ardy dan Bagindo Sulaiman bergantian memenuhi rongga hayalku. Mengharapkan Ardy datang melamar sepertinya hal yang mustahil, akhir-akhir ini saja aku tak pernah melihatnya lagi, bahkan mendengar kabar tentangnya saja juga tidak, terlihat sekali kalau selama ini dia tidak serius menjalani hubungan denganku. Lalu setelah melewati istikharah yang panjang, usulan Amak untuk menerima lamaran Bagindo Sulaiman akhirnya sepertinya memang harus kukabulkan.
Sebenarnya, tidak ada yang salah dengan Bagindo Sulaiman, selain usia kami yang terpaut jauh dan statusnya yang seorang duda beranak lima. Tapi bukankah itu bukan masalah? Bukankah memang jodoh itu Tuhan yang atur? Aku akan berusaha untuk belajar mencintainya, dan yang terpenting, Amak bahagia melihat aku sudah menikah.
“Maksudmu dengan Bagindo Sulaiman?” ucap Amak berbinar-binar.
“Iya Mak, dengan duda itu. Tapi Layla punya satu permintaan.”
“Apa itu, Layla? Katakan saja,” ucap Amak sambil mengusap rambutku.
“Bila setahun setelah menikah Layla tak juga bisa mencintai Bagindo Sulaiman, Layla bolehkan minta cerai?”
“Pernikahan bukanlah lembaga uji coba, Layla. Pernikahan sebuah lembaga yang suci dan sakral. Bukan hal main-main.”
“Layla hanya ingin mengetahui apa benar Bagindo Sulaiman jodoh Layla. Itu saja.”
“Baiklah! Nanti akan Amak sampaikan pada Bagindo Sulaiman. Mudah-mudahan dia mau mengerti,” ucap Amak lembut.
Tiba-tiba dadaku yang tadinya terasa berat menjadi lebih ringan. Seolah-olah beban berat itu terangkat dari tubuhku. Aku tak ingin lagi melihat Amak mengeluarkan air mata. Selain air mata bahagia di hari pernikahanku nanti. Kinilah saatnya kutunjukkan baktiku pada Amak yang kucinta. Mulai detik ini, kuputuskan untuk segera menutup hatiku pada pria lain termasuk pada Ardy kekasihku. Dengan menikahi Bagindo Sulaiman, pastinya surat rumah yang tergadai bisa ditebus lagi. Aku yakin, ini adalah keputusan paling tepat.
***
Bagindo Sulaiman sangat senang sekali mendengar kabar baik itu dari Amaknya Layla. Akhirnya Layla luluh juga hatinya. Sebenarnya banyak hal yang ingin dia ceritakan pada Layla, agar gadis itu lebih mengenal siapa dirinya. Terutama saat-saat perjuangan hidupnya hingga dia bisa sukses mendirikan restoran padang seperti sekarang. Dia pun kembali terkenang saat muda dulu.
(Bersambung ke Rumah mandeh Bagian 8)
Sebelumnya:
Ingin naskahmu dimuat di pustaka22.com? Baca ketentuannya DI SINI
Komentar
Posting Komentar