Ujung Tahun 1969 : Benarkah Itu Tumor?
Dengan berat hati akhirnya Amak memutuskan
untuk berterus terang, hingga Bagindo Sulaiman tak jadi datang melamarku. Tapi
dia tetap datang ke rumah dengan alasan tak ingin putus tali silaturahmi dengan
Amak. Lama-lama hatiku jadi simpatik melihat kebaikan Bagindo Sulaiman.
Ternyata selama ini sikap baiknya pada kami benar-benar tulus.
Meski
Amak menuruti keinginanku untuk tak jadi menikah, tapi wajah Amak tak bisa
menipuku bahwa sebenarnya dia kecewa dengan keputusanku. Hanya saja Amak tak
ingin melihatku sedih dan menderita dengan pernikahan paksa ini. Aku tak
sanggup melihat wajah Amak yang tak lagi secerah kemarin. Ditambah lagi Uda
Aznan tiba-tiba kembali ke rumah. Tapi, bukannya membawa keberhasilan, Uda
Aznan malah membawa masalah baru. Sebelumnya, Uda Aznan pergi merantau dan
sudah banyak biaya yang dikeluarkan oleh Amak untuk ongkosnya. Tapi baru
merantau selama tiga bulan, Uda Aznan balik lagi ke rumah. Kembali luntang-lantung
ke sana kemari tanpa kerjaan.
Hingga
pagi ini kembali kudengar teriakan amarah Amak padanya.
“Jangan pernah kau sentuh surat
berharga itu Aznan! Cepat kau keluar dari kamar Amak!” pekik Amak berang.
Uda
Aznan benar-benar tak punya hati! Gerutuku. Selalu membuat Amak mengalirkan air
mata karena melihat tingkah laku Uda yang semakin hari semakin melewati batas
itu. Tak bisakah sehari saja udanya itu membuat wajah Amak tersenyum? Hampir setiap
hari lemari pakaian Amak dibongkarnya. Entah apa yang dia cari. Tapi yang
kutahu, Amak selalu berteriak marah padanya bila kembali memergokinya mengacak-acak
isi lemari. Uda Aznan pun pergi dengan wajah kesal karena yang dia cari tak
berhasil didapatkan. Terus terang, aku sendiri saja tak berani
membongkar-bongkar lemari Amak.
Amak
perlu aku di saat-saat seperti ini. Karena tinggal aku anak Amak yang masih
setia menemaninya dalam duka. Aku tak boleh berpikir macam-macam lagi setelah kejadian buruk
yang menimpa Amak kali ini, selain menenangkan hati Amak yang sering makan hati
melihat sikap udaku yang tak bertanggung jawab itu.
Pagi
ini cuaca tak secerah biasanya. Wajah Amak terlihat layu dan lelah.
“Ada
apa, Mak? Sepertinya Amak masuk angin,” aku berkata khawatir.
“Entah
mengapa, beberapa hari ini Amak sering merasa tidak enak badan. Kadang dada Amak
sesak, Layla,” jawab Amak lemah.
“Sebaiknya
kita ke dokter sekarang, Mak.”
Amak
pun tak menolak.
Ujian
yang baru datang menimpa Amak. Bahkan lebih berat lagi dari ujian yang pernah Amak
alami sebelumnya. Setelah didiagnosis oleh dokter, ditemukan sebuah benjolan di
paru-paru Amak. Kemungkinan besar itu kanker! Untuk memastikan apakah kanker
itu ganas atau jinak, Amak disuruh datang lagi beberapa hari untuk mengetahui
hasil pemeriksaan. Dunia serasa gelap di sekelilingku. Aku benar-benar tak
sanggup mendengarnya.
Berhari-hari
kulihat Amak begitu gelisah. Tidurnya juga tak pernah tenang. Sama seperti
diriku. Tapi tidak dengan Uda Aznan. Dia seperti tak peduli terhadap apa yang
menimpa Amak. Aku terus menguatkan hati Amak. Berusaha mengurangi ketakutan dan
kecemasannya. Padahal jauh di lubuk hatiku yang paling dalam, ketakutan itu
sangat besar menghinggapiku. Aku takut terjadi hal yang lebih buruk lagi pada Mandeh.
Bagaimana kalau kanker yang ditemukan di paru-paru Amak itu adalah kanker
ganas? Aku tak sanggup memikirkannya. Biarlah hasil pemeriksaan nanti yang akan menjawabnya.
Beberapa
hari kemudian, aku kembali menemui dokter yang tempo hari memeriksa Amak. Untuk mengetahui
hasil pemeriksaan yang Amak
jalani.
Sebenarnya Amak bersikeras
ingin ikut, tapi dengan berbagai alasan yang kuutarakan, akhirnya Amak bersedia ditinggal.
Bukan aku tidak ingin mengajak
Amak, aku hanya khawatir jika sesuatu yang serius nanti menimpa Amak, ada baiknya aku saja
yang mendengar lebih dulu.
“Ibu
Anda mengidap kanker di paru-paru. Tapi masih stadium satu, jadi masih ada harapan untuk bisa
disembuhkan,” ucap dokter hati-hati padaku. Spontan sekujur tubuhku lemas
bagaikan tak bertulang. Haruskah kuberitahu Amak yang sebenarnya? Tidak!
Bagaimana kalau Amak tidak kuat mendengarnya? Itu akan menambah parah
penyakitnya saja. Aku harus merahasiakan ini dari Amak. Biarlah aku yang
menanggung kecemasan ini sendirian.
“Bagaimana
hasilnya, Layla?” tanya Amak tak sabar.
“Masih
seperti kemarin, Mak. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan,” jawabku mencoba
berbohong.
“Benar
kan Amak baik-baik saja. Jadi kamu jangan panik dan cemas lagi Layla,” ucap Amak
kembali ceria.
“Tapi
kata dokter, Amak harus menjalani pengobatan rutin,” jawabku sambil berusaha
memasang senyum. Padahal hatiku menangis pedih.
Di
belakang Amak, aku menangis sejadi-jadinya. Tembok kamarku menjadi tempat
pelampiasan rasa marah dan gundahku. Marah. Mengapa penyakit mematikan ini
harus menimpa Amak yang begitu kusayangi? Gundah. Membayangkan dari mana biaya
untuk mengobati Amak? Yang aku tahu pengobatan sakit kanker sangatlah mahal
biayanya.
***
Hmmm… sampai di sini, Mandeh
menghentikan ceritanya. Sementara Upik yang mendengarnya, ikut gelisah dan
takut hal yang serupa terjadi pada Mandeh. Namun, dia juga sama seperti Mandeh
di masa muda dulu, berusaha menutupi kegelisahan dan ketakutan itu. Ya Tuhan … Mengapa
nasib Mandehnya harus sama seperti neneknya? Tidak! Tidak! Hasilnya belum final.
Belum tentu tumor di punggung Mandeh itu ganas.
“Ayo dong, Mandeh, terusin
ceritanya,” Upik memohon manja. Meskipun dia tahu mendung di wajah Mandeh
segera menerpa. Pastilah Mandeh merasa sangat berat menceritakan kembali kisah
pahit orangtuanya sendiri.
“Baiklah, karena anak
bungsu Mandeh ini masih penasaran saja, Mandeh akan terusin kalo Mandeh akhirnya
bertengkar hebat dengan apakmu[1],
Aznan,” jawab Mandeh mencoba tersenyum. Upik pun kembali menyimak dengan saksama.
***
“Sudahlah
Layla, gadaikan saja surat rumah untuk biaya berobat, Amak. Di saat seperti
ini, kesehatan Amak lebih penting, bukan?”
“Uda
jangan ngomong seenaknya. Aku akan mencari cara lain tanpa harus menggadaikan
surat rumah. Bagaimana kalau kita tak sanggup menebusnya? Di mana kita dan Amak akan tinggal?” jawabku
sambil melotot marah.
“Lalu,
ke mana akan kau cari uang untuk biaya berobat Amak yang tidak sedikit itu. Pikirkan itu
baik-baik. Uda hanya mencoba memberi jalan keluar terbaik.”
“Jadi,
hanya aku yang harus mencari biaya untuk Amak? Lalu di mana tanggung jawab Uda sebagai anak tertua? Sudah tak
mau membantu mengurus Amak, keluar biaya juga enggak, Uda Aznan benar-benar tak
berguna!” umpatku kesal.
“Jangan
memperkeruh suasana. Bilang saja kalau kau tak ingin rumah ini dijual, agar
bisa menguasainya sendiri kan? Di Ranah Minang, harta pusaka peninggalan orang tua akan
jatuh ke tangan anak perempuan, kau pikir aku tidak tahu rencanamu?”
“Uda
Aznan benar-benar kelewatan! Kalau tidak memikirkan Amak yang sedang sakit,
sudah aku…,” cepat-cepat kubatalkan niatku untuk menampar mulutnya yang suka
memfitnah itu.
Uda
Aznan pun segera berlalu dari hadapanku sambil tersenyum penuh kemenangan. Tinggallah
aku yang dilanda sebuah kebimbangan.
Aku
dilanda kebimbangan yang amat sangat. Di satu sisi, aku mencemaskan Amak. Tapi
di sisi lain, aku harus segera mengambil keputusan yang tak ingin kuputuskan.
Aku harus segera menggadaikan surat rumah Amak sebagai biaya pengobatan yang
tidak sedikit, mulai dari biaya kemoterapi, obat-obatan, hingga biaya rawat
inap. Tapi bagaimana kalau nanti Amak sembuh? Dan tahu rumahnya sudah
digadaikan pada orang lain. Bisa-bisa Amak tidak akan memercayaiku lagi. Bahkan
mungkin saja Amak akan membenciku seumur hidup.
“Layla,
rumah ini rumah pusako. Jadi jangan
pernah dijual meskipun nanti Amak sudah berkalang tanah. Berjanjilah, Nak. Bagi
Amak meskipun rumah ini kecil, tapi penuh kenangan. Dan kenangan itu akan terus
hidup di hati Amak sampai kapan pun. Kenangan asam manisnya hidup bersama Abak
kau,” begitulah yang selalu kudengar dari Amak sejak dulu. Tapi tak mungkin aku
membiarkan Amak begitu saja dan hanya menunggu sampai penyakit Amak bertambah
parah tanpa diobati. Aku harus segera
mengambil tindakan yang tepat. Aku harus mengobati Amak berapa pun biayanya.
Apakah aku harus meminta bantuan pada Abak? Meskipun hati ini masih sakit
bila ingat kelakukan Abak dulu. Tapi Abak harus tahu dan ikut meringankan beban
Amak, karena bagaimanapun Amak pernah menjadi istri dan ibu yang baik.
Tapi tunggu dulu... rasanya tidak mungkin Abak akan
membantu. Yang ada malah Abak akan mendoakan agar Amak cepat mati. Bukankah sudah tidak ada cinta
lagi di hatinya buat kami? Huh... Aku masih punya harga diri. Aku tidak akan
meminta bantuan Abak. Tidak. Bahkan Abak tidak boleh tahu kalau Amak sedang sakit. Usul Uda
Aznan sebaiknya memang harus kupertimbangkan. Itu satu-satunya cara tercepat
dan paling gampang mendapatkan uang.
“Bagaimana,
Layla? Mumpung sudah ada orang yang mau meminjamkan uangnya dengan jaminan
surat rumah dari kita.”
“Memang
sudah tak ada pilihan, mau bagaimana lagi. Nih! Ambillah surat rumah Amak. Tapi
harus segera Uda kasih uangnya ke aku setelah dapat pinjaman.”
“Kalau
masalah itu, kamu jangan takut,” jawab Uda Aznan sambil tersenyum lebar. Aku
tak tahu apa makna senyumnya. Yang terpenting sekarang adalah dia segera membawa uang untuk
biaya berobat Amak. Tak kupikirkan lagi apa yang akan terjadi setelah ini. Yang
kuinginkan sekarang hanya kesembuhan Amak. Berapa pun biayanya. Aku yakin
setelah menjalani pengobatan yang terbaik, pasti Amak akan sembuh. Aku berusaha
menuai harapan baru dihatiku. Sambil memintal permohonan dari tasbih, zikir,
dan doa pada Tuhan untuk kepulihan Amak.
Setelah
menjalani penyinaran di bagian
punggung satu kali sehari selama 30 kali, benjolan di paru-paru Amak pun
mengecil. Aku bahagia sekali mendengarnya. Itu artinya Amak bisa terlepas dari
radioterapi yang mengakibatkan punggung Amak gosong seperti habis terbakar,
sehingga Amak tak boleh mandi sama sekali karena takut kulitnya akan melepuh.
Tapi ketika Amak menjalani kemoterapi sebanyak enam kali setiap tiga minggu
sekali, rambut Amak yang dulu hitam lebat, rontok secara drastis. Amak juga
mengeluh kalau lidahnya terasa pahit dan sakit seperti terbakar.
Sementara,
Uda Aznan tak pernah menanyakan keadaan Amak. Dia tetap sibuk dengan dunianya.
Bermain billiar dan bergadang hampir setiap malam bersama teman-temannya.
Benar-benar anak durhaka. Semoga Allah mengampuni udaku itu agar tidak terkena
karma.
Setelah
bolak-balik mengantarkan Amak selama beberapa minggu, akhirnya kemoterapi yang
menyakitkan itu selesai juga.
“Lebih
baik Amak dipukul oleh orang sekampung, daripada harus dikemoterapi lagi,” ucap
Amak sambil berjalan tertatih-tatih. “Akhirnya Amak bisa kembali lagi ke rumah,”
ucap Amak senang sambil menahan sakit.
Begitu
sampai di rumah, Uda Aznan tak ada. Aku heran dengan kelakuannya. Sedikitpun udaku
itu tak mengkhawatirkan keadaan Amak. Ke mana
anak tak berguna itu! rutukku di dalam hati. Malah sebagai gantinya,
tiba-tiba tamu tak diundang datang untuk menagih utang.
Tempo hari setelah Uda Aznan berhasil menggadaikan surat-surat
rumah, dia tidak menyerahkan sepenuhnya uang hasil penggadaian itu padaku. Dia
memohon agar memberikan sedikit uang itu untuk melunasi hutang-hutangnya.
Katanya, sudah beberapa hari ini dia dicari-cari karena utang itu. Aku tahu,
Uda Aznan tidak bohong soal utang itu. Sebab dia memang pernah dicari orang ke
rumah untuk menagih utang itu. Yang menyakitkan bagiku, semua utang-utang
itu hanya untuk dihabiskan di meja judi
dan minum-minum.
Tapi aku tak sampai hati juga melihat Uda Aznan sampai berurai
air mata memohon agar sebagian uang hasil menggadaikan rumah itu digunakan
untuk membayar utangnya. Aku luluh. Akhirnya kuberikan juga dengan memberikan
penekanan agar dia segera melunasi semua utangnya.
Tapi sekarang? Mengapa orang-orang ini datang lagi?
“Bukankah
uang yang kemarin dipinjam sudah dilunasi oleh Uda Aznan? Mengapa sekarang
datang menagih?”
“Kamu
tidak tahu, Layla? Udamu meminjam uang padaku sebanyak 20 juta, dan dia baru membayar
setengahnya.”
Ya
Tuhan! Mengapa Uda Aznan selalu seperti ini? selalu mengkhianati kepercayaan yang
diberikan kepadanya. Tempo hari, aku sudah memberikan uang itu untuk melunasi
semua utangnya, nyatanya dia tidak melunasi semua. Ke mana harus kucari uang untuk melunasi
utang sebanyak itu? Tak mungkin aku meminjam duit lagi pada sanak famili. Semua
barang berharga milik keluargaku juga sudah terjual. Uda Aznan benar-benar tak
punya otak. Dasar keparat! Aku tak dapat menahan diri untuk menyumpahi udaku itu.
Tapi apa mau dikata, semuanya sudah terlanjur menjadi bubur. Bagaimanapun aku
harus segera melunasinya. Jika mereka terus-terusan datang ke rumah, bukan tidak
mungkin suatu saat Amak
mengetahui
dan akan menambah beban di kepalanya. Cukup penyakitnya saja yang dipikirkan Amak, jangan sampai Amak tahu kalau Uda Aznan
sedang dililit utang.
“Aku
kasih waktu sampai minggu depan. Kalau udamu itu tak jua melunasinya, maka jangan
salahkan kami bertindak macam-macam,” ancam si rentenir. Aku hanya bisa terduduk lemas
mendengarnya. Kepalaku serasa mau pecah memikirkannya. Bagaimana bisa di tengah
kondisi Amak yang tengah sakit parah, udaku masih saja membuat ulah. Aku pun
kembali menggerutu sambil membanting pintu.
“Siapa
yang datang, Layla?”
“Bukan
siapa-siapa, Mak,” aku kembali berbohong demi menjaga mental Amak.
“Tadi
Amak dengar dia menyebut-nyebut nama Aznan. Ada perlu apa?” tanya Amak menyelidik.
“Ah
bukan siapa siapa, Mak. Hanya seseorang yang ingin mencari Uda Aznan.”
“Ke
mana saja udamu itu. Amak pulang malah tak ada di rumah,” jawab Amak sambil terbatuk-batuk.
“Amak
perlu banyak istirahat, tidurlah,”
bujukku untuk mengalihkan pertanyaan Amak.
“Layla,
sebelum Amak meninggalkan dunia ini, Amak ingin sekali melihat kau menikah,
Nak.”
“Amak
nggak boleh berkata begitu! Perkataan Amak hanya akan membuat Layla bertambah sedih,” jawabku
sambil memijat kaki Amak. “Percayalah Mak, Layla pasti akan menikah suatu hari
nanti. Tentunya dengan orang yang Layla cintai.”
“Akh,
semoga saja harapanmu segera terwujud, Amak hanya bisa mendoakan yang terbaik
untukmu, Nak,” ucap Amak lemah. Tak lama kemudian Amak pun tertidur.
Tinggallah
aku yang diserang rasa bersalah karena belum bisa memenuhi harapan Amak untuk
dapat membahagiakannya. Jauh di lubuk hatiku, aku tak ingin melihat Amak lebih
murung lagi. Tapi, bagaimana ini? Apa yang harus kulakukan? Mengapa aku begitu
egois, padahal Amak sudah berusaha keras ingin membuatku bahagia. Pasti Amak memiliki
keyakinan yang kuat bahwa Bagindo Sulaiman mampu membahagiakanku, sebab Amak sudah
mengenalnya luar dalam lewat persahabatan mereka yang harmonis selama ini.
Sementara aku hanyalah anak bau kencur. Yang belum banyak pengalaman dalam
mengenal orang lain. Buktinya Ardy yang kucintai tak pernah lagi muncul batang
hidungnya. Kupikir Ardy tak pernah serius berhubungan denganku.
Aku
hanyalah seorang wanita yang tak memiliki apa-apa. Tak memiliki karier dan
kesibukan berarti selain mengurus rumah dan bermain-main. Apalagi yang harus
kutunggu? Untuk ukuran orang kampung sepertiku, menikah adalah pilihan terbaik.
Apalagi bila Tuhan telah mendekatkan jodohku.
Tiba-tiba terlintas di pikiranku untuk meminjam uang pada
Bagindo Sulaiman. ya, pasti beliau tidak akan keberatan meminjamkan sepuluh
juta yang akan kugunakan membayar utang Uda Aznan. Meskipun berat, tapi ini
satu-satunya jalan untuk membayar utang Uda Aznan. Aku yakin, pasti ada jalan
untuk membayar utang itu nantinya. [*]
Komentar
Posting Komentar