Cerbung: RUMAH MANDEH (Bagian 6)

 

Ujung Tahun 1969 : Benarkah Itu Tumor?

Dengan berat hati akhirnya Amak memutuskan untuk berterus terang, hingga Bagindo Sulaiman tak jadi datang melamarku. Tapi dia tetap datang ke rumah dengan alasan tak ingin putus tali silaturahmi dengan Amak. Lama-lama hatiku jadi simpatik melihat kebaikan Bagindo Sulaiman. Ternyata selama ini sikap baiknya pada kami benar-benar tulus.

Meski Amak menuruti keinginanku untuk tak jadi menikah, tapi wajah Amak tak bisa menipuku bahwa sebenarnya dia kecewa dengan keputusanku. Hanya saja Amak tak ingin melihatku sedih dan menderita dengan pernikahan paksa ini. Aku tak sanggup melihat wajah Amak yang tak lagi secerah kemarin. Ditambah lagi Uda Aznan tiba-tiba kembali ke rumah. Tapi, bukannya membawa keberhasilan, Uda Aznan malah membawa masalah baru. Sebelumnya, Uda Aznan pergi merantau dan sudah banyak biaya yang dikeluarkan oleh Amak untuk ongkosnya. Tapi baru merantau selama tiga bulan, Uda Aznan balik lagi ke rumah. Kembali luntang-lantung ke sana kemari tanpa kerjaan.    

Hingga pagi ini kembali kudengar teriakan amarah Amak padanya.

Jangan pernah kau sentuh surat berharga itu Aznan! Cepat kau keluar dari kamar Amak!” pekik Amak berang.

Uda Aznan benar-benar tak punya hati! Gerutuku. Selalu membuat Amak mengalirkan air mata karena melihat tingkah laku Uda yang semakin hari semakin melewati batas itu. Tak bisakah sehari saja udanya itu membuat wajah Amak tersenyum? Hampir setiap hari lemari pakaian Amak dibongkarnya. Entah apa yang dia cari. Tapi yang kutahu, Amak selalu berteriak marah padanya bila kembali memergokinya mengacak-acak isi lemari. Uda Aznan pun pergi dengan wajah kesal karena yang dia cari tak berhasil didapatkan. Terus terang, aku sendiri saja tak berani membongkar-bongkar lemari Amak.

Amak perlu aku di saat-saat seperti ini. Karena tinggal aku anak Amak yang masih setia menemaninya dalam duka. Aku tak boleh berpikir macam-macam lagi setelah kejadian buruk yang menimpa Amak kali ini, selain menenangkan hati Amak yang sering makan hati melihat sikap udaku yang tak bertanggung jawab itu.

Pagi ini cuaca tak secerah biasanya. Wajah Amak terlihat layu dan lelah.

“Ada apa, Mak? Sepertinya Amak masuk angin,” aku berkata khawatir.

“Entah mengapa, beberapa hari ini Amak sering merasa tidak enak badan. Kadang dada Amak sesak, Layla,” jawab Amak lemah.

“Sebaiknya kita ke dokter sekarang, Mak.”

Amak pun tak menolak.

Ujian yang baru datang menimpa Amak. Bahkan lebih berat lagi dari ujian yang pernah Amak alami sebelumnya. Setelah didiagnosis oleh dokter, ditemukan sebuah benjolan di paru-paru Amak. Kemungkinan besar itu kanker! Untuk memastikan apakah kanker itu ganas atau jinak, Amak disuruh datang lagi beberapa hari untuk mengetahui hasil pemeriksaan. Dunia serasa gelap di sekelilingku. Aku benar-benar tak sanggup mendengarnya.

Berhari-hari kulihat Amak begitu gelisah. Tidurnya juga tak pernah tenang. Sama seperti diriku. Tapi tidak dengan Uda Aznan. Dia seperti tak peduli terhadap apa yang menimpa Amak. Aku terus menguatkan hati Amak. Berusaha mengurangi ketakutan dan kecemasannya. Padahal jauh di lubuk hatiku yang paling dalam, ketakutan itu sangat besar menghinggapiku. Aku takut terjadi hal yang lebih buruk lagi pada Mandeh. Bagaimana kalau kanker yang ditemukan di paru-paru Amak itu adalah kanker ganas? Aku tak sanggup memikirkannya. Biarlah hasil pemeriksaan nanti  yang akan menjawabnya.

Beberapa hari kemudian, aku kembali menemui dokter yang tempo hari memeriksa Amak. Untuk mengetahui hasil pemeriksaan yang Amak jalani. Sebenarnya Amak bersikeras ingin ikut, tapi dengan berbagai alasan yang kuutarakan, akhirnya Amak bersedia ditinggal. Bukan aku tidak ingin mengajak Amak, aku hanya khawatir jika sesuatu yang serius nanti menimpa Amak, ada baiknya aku saja yang mendengar lebih dulu.

“Ibu Anda mengidap kanker di paru-paru. Tapi masih stadium satu, jadi masih ada harapan untuk bisa disembuhkan,” ucap dokter hati-hati padaku. Spontan sekujur tubuhku lemas bagaikan tak bertulang. Haruskah kuberitahu Amak yang sebenarnya? Tidak! Bagaimana kalau Amak tidak kuat mendengarnya? Itu akan menambah parah penyakitnya saja. Aku harus merahasiakan ini dari Amak. Biarlah aku yang menanggung kecemasan ini sendirian.

“Bagaimana hasilnya, Layla?” tanya Amak tak sabar.

“Masih seperti kemarin, Mak. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan,” jawabku mencoba berbohong.

“Benar kan Amak baik-baik saja. Jadi kamu jangan panik dan cemas lagi Layla,” ucap Amak kembali ceria.

“Tapi kata dokter, Amak harus menjalani pengobatan rutin,” jawabku sambil berusaha memasang senyum. Padahal hatiku menangis pedih.

Di belakang Amak, aku menangis sejadi-jadinya. Tembok kamarku menjadi tempat pelampiasan rasa marah dan gundahku. Marah. Mengapa penyakit mematikan ini harus menimpa Amak yang begitu kusayangi? Gundah. Membayangkan dari mana biaya untuk mengobati Amak? Yang aku tahu pengobatan sakit kanker sangatlah mahal biayanya.

***

Hmmm… sampai di sini, Mandeh menghentikan ceritanya. Sementara Upik yang mendengarnya, ikut gelisah dan takut hal yang serupa terjadi pada Mandeh. Namun, dia juga sama seperti Mandeh di masa muda dulu, berusaha menutupi kegelisahan dan ketakutan itu. Ya Tuhan … Mengapa nasib Mandehnya harus sama seperti neneknya? Tidak! Tidak! Hasilnya belum final. Belum tentu tumor di punggung Mandeh itu ganas.

“Ayo dong, Mandeh, terusin ceritanya,” Upik memohon manja. Meskipun dia tahu mendung di wajah Mandeh segera menerpa. Pastilah Mandeh merasa sangat berat menceritakan kembali kisah pahit orangtuanya sendiri.

“Baiklah, karena anak bungsu Mandeh ini masih penasaran saja, Mandeh akan terusin kalo Mandeh akhirnya bertengkar hebat dengan apakmu[1], Aznan,” jawab Mandeh mencoba tersenyum. Upik pun kembali menyimak dengan saksama.

***

“Sudahlah Layla, gadaikan saja surat rumah untuk biaya berobat, Amak. Di saat seperti ini, kesehatan Amak lebih penting, bukan?”

“Uda jangan ngomong seenaknya. Aku akan mencari cara lain tanpa harus menggadaikan surat rumah. Bagaimana kalau kita tak sanggup menebusnya? Di mana kita dan Amak akan tinggal?” jawabku sambil melotot marah.

“Lalu, ke mana akan kau cari uang untuk biaya berobat Amak  yang tidak sedikit itu. Pikirkan itu baik-baik. Uda hanya mencoba memberi jalan keluar terbaik.”

“Jadi, hanya aku yang harus mencari biaya untuk Amak? Lalu di mana tanggung jawab Uda sebagai anak tertua? Sudah tak mau membantu mengurus Amak, keluar biaya juga enggak, Uda Aznan benar-benar tak berguna!” umpatku kesal.

“Jangan memperkeruh suasana. Bilang saja kalau kau tak ingin rumah ini dijual, agar bisa menguasainya sendiri kan? Di Ranah Minang, harta pusaka peninggalan orang tua akan jatuh ke tangan anak perempuan, kau pikir aku tidak tahu rencanamu?

“Uda Aznan benar-benar kelewatan! Kalau tidak memikirkan Amak yang sedang sakit, sudah aku…,” cepat-cepat kubatalkan niatku untuk menampar mulutnya yang suka memfitnah itu.

Uda Aznan pun segera berlalu dari hadapanku sambil tersenyum penuh kemenangan. Tinggallah aku yang dilanda sebuah kebimbangan.

Aku dilanda kebimbangan yang amat sangat. Di satu sisi, aku mencemaskan Amak. Tapi di sisi lain, aku harus segera mengambil keputusan yang tak ingin kuputuskan. Aku harus segera menggadaikan surat rumah Amak sebagai biaya pengobatan yang tidak sedikit, mulai dari biaya kemoterapi, obat-obatan, hingga biaya rawat inap. Tapi bagaimana kalau nanti Amak sembuh? Dan tahu rumahnya sudah digadaikan pada orang lain. Bisa-bisa Amak tidak akan memercayaiku lagi. Bahkan mungkin saja Amak akan membenciku seumur hidup.

“Layla, rumah ini rumah pusako. Jadi jangan pernah dijual meskipun nanti Amak sudah berkalang tanah. Berjanjilah, Nak. Bagi Amak meskipun rumah ini kecil, tapi penuh kenangan. Dan kenangan itu akan terus hidup di hati Amak sampai kapan pun. Kenangan asam manisnya hidup bersama Abak kau,” begitulah yang selalu kudengar dari Amak sejak dulu. Tapi tak mungkin aku membiarkan Amak begitu saja dan hanya menunggu sampai penyakit Amak bertambah parah tanpa diobati.  Aku harus segera mengambil tindakan yang tepat. Aku harus mengobati Amak berapa pun biayanya.

Apakah aku harus meminta bantuan pada Abak? Meskipun hati ini masih sakit bila ingat kelakukan Abak dulu. Tapi Abak harus tahu dan ikut meringankan beban Amak, karena bagaimanapun Amak pernah menjadi istri dan ibu yang baik.

Tapi tunggu dulu... rasanya tidak mungkin Abak akan membantu. Yang ada malah Abak akan mendoakan agar Amak cepat mati. Bukankah sudah tidak ada cinta lagi di hatinya buat kami? Huh... Aku masih punya harga diri. Aku tidak akan meminta bantuan Abak. Tidak. Bahkan Abak tidak boleh tahu kalau Amak sedang sakit. Usul Uda Aznan sebaiknya memang harus kupertimbangkan. Itu satu-satunya cara tercepat dan paling gampang mendapatkan uang.

“Bagaimana, Layla? Mumpung sudah ada orang yang mau meminjamkan uangnya dengan jaminan surat rumah dari kita.”

“Memang sudah tak ada pilihan, mau bagaimana lagi. Nih! Ambillah surat rumah Amak. Tapi harus segera Uda kasih uangnya ke aku setelah dapat pinjaman.”

“Kalau masalah itu, kamu jangan takut,” jawab Uda Aznan sambil tersenyum lebar. Aku tak tahu apa makna senyumnya. Yang terpenting sekarang adalah dia segera membawa uang untuk biaya berobat Amak. Tak kupikirkan lagi apa yang akan terjadi setelah ini. Yang kuinginkan sekarang hanya kesembuhan Amak. Berapa pun biayanya. Aku yakin setelah menjalani pengobatan yang terbaik, pasti Amak akan sembuh. Aku berusaha menuai harapan baru dihatiku. Sambil memintal permohonan dari tasbih, zikir, dan doa pada Tuhan untuk kepulihan Amak.

Setelah menjalani penyinaran di bagian punggung satu kali sehari selama 30 kali, benjolan di paru-paru Amak pun mengecil. Aku bahagia sekali mendengarnya. Itu artinya Amak bisa terlepas dari radioterapi yang mengakibatkan punggung Amak gosong seperti habis terbakar, sehingga Amak tak boleh mandi sama sekali karena takut kulitnya akan melepuh. Tapi ketika Amak menjalani kemoterapi sebanyak enam kali setiap tiga minggu sekali, rambut Amak yang dulu hitam lebat, rontok secara drastis. Amak juga mengeluh kalau lidahnya terasa pahit dan sakit seperti terbakar.

Sementara, Uda Aznan tak pernah menanyakan keadaan Amak. Dia tetap sibuk dengan dunianya. Bermain billiar dan bergadang hampir setiap malam bersama teman-temannya. Benar-benar anak durhaka. Semoga Allah mengampuni udaku itu agar tidak terkena karma.

Setelah bolak-balik mengantarkan Amak selama beberapa minggu, akhirnya kemoterapi yang menyakitkan itu selesai juga.

“Lebih baik Amak dipukul oleh orang sekampung, daripada harus dikemoterapi lagi,” ucap Amak sambil berjalan tertatih-tatih. “Akhirnya Amak bisa kembali lagi ke rumah,” ucap Amak senang sambil menahan sakit.

Begitu sampai di rumah, Uda Aznan tak ada. Aku heran dengan kelakuannya. Sedikitpun udaku itu tak mengkhawatirkan keadaan Amak. Ke mana anak tak berguna itu! rutukku di dalam hati. Malah sebagai gantinya, tiba-tiba tamu tak diundang datang untuk menagih utang.

Tempo hari setelah Uda Aznan berhasil menggadaikan surat-surat rumah, dia tidak menyerahkan sepenuhnya uang hasil penggadaian itu padaku. Dia memohon agar memberikan sedikit uang itu untuk melunasi hutang-hutangnya. Katanya, sudah beberapa hari ini dia dicari-cari karena utang itu. Aku tahu, Uda Aznan tidak bohong soal utang itu. Sebab dia memang pernah dicari orang ke rumah untuk menagih utang itu. Yang menyakitkan bagiku, semua utang-utang itu  hanya untuk dihabiskan di meja judi dan minum-minum.

Tapi aku tak sampai hati juga melihat Uda Aznan sampai berurai air mata memohon agar sebagian uang hasil menggadaikan rumah itu digunakan untuk membayar utangnya. Aku luluh. Akhirnya kuberikan juga dengan memberikan penekanan agar dia segera melunasi semua utangnya.

Tapi sekarang? Mengapa orang-orang ini datang lagi?

“Bukankah uang yang kemarin dipinjam sudah dilunasi oleh Uda Aznan? Mengapa sekarang datang menagih?”

“Kamu tidak tahu, Layla? Udamu meminjam uang padaku sebanyak 20 juta, dan dia baru membayar setengahnya.”

Ya Tuhan! Mengapa Uda Aznan selalu seperti ini? selalu mengkhianati kepercayaan yang diberikan kepadanya. Tempo hari, aku sudah memberikan uang itu untuk melunasi semua utangnya, nyatanya dia tidak melunasi semua. Ke mana harus kucari uang untuk melunasi utang sebanyak itu? Tak mungkin aku meminjam duit lagi pada sanak famili. Semua barang berharga milik keluargaku juga sudah terjual. Uda Aznan benar-benar tak punya otak. Dasar keparat! Aku tak dapat menahan diri untuk menyumpahi udaku itu. Tapi apa mau dikata, semuanya sudah terlanjur menjadi bubur. Bagaimanapun aku harus segera melunasinya. Jika mereka terus-terusan datang ke rumah, bukan tidak mungkin suatu saat Amak mengetahui dan akan menambah beban di kepalanya. Cukup penyakitnya saja yang dipikirkan Amak, jangan sampai Amak tahu kalau Uda Aznan sedang dililit utang.

“Aku kasih waktu sampai minggu depan. Kalau udamu itu tak jua melunasinya, maka jangan salahkan kami bertindak macam-macam,” ancam si rentenir. Aku hanya bisa terduduk lemas mendengarnya. Kepalaku serasa mau pecah memikirkannya. Bagaimana bisa di tengah kondisi Amak yang tengah sakit parah, udaku masih saja membuat ulah. Aku pun kembali menggerutu sambil membanting pintu.

“Siapa yang datang, Layla?”

“Bukan siapa-siapa, Mak,” aku kembali berbohong demi menjaga mental Amak.

“Tadi Amak dengar dia menyebut-nyebut nama Aznan. Ada perlu apa?” tanya Amak menyelidik.

“Ah bukan siapa siapa, Mak. Hanya seseorang yang ingin mencari Uda Aznan.”

“Ke mana saja udamu itu. Amak pulang malah tak ada di rumah,” jawab Amak sambil terbatuk-batuk.

“Amak perlu banyak istirahat, tidurlah,” bujukku untuk mengalihkan pertanyaan Amak.

“Layla, sebelum Amak meninggalkan dunia ini, Amak ingin sekali melihat kau menikah, Nak.”

“Amak nggak boleh berkata begitu! Perkataan Amak hanya akan membuat Layla bertambah sedih,” jawabku sambil memijat kaki Amak. “Percayalah Mak, Layla pasti akan menikah suatu hari nanti. Tentunya dengan orang yang Layla cintai.”

“Akh, semoga saja harapanmu segera terwujud, Amak hanya bisa mendoakan yang terbaik untukmu, Nak,” ucap Amak lemah. Tak lama kemudian Amak pun tertidur.

Tinggallah aku yang diserang rasa bersalah karena belum bisa memenuhi harapan Amak untuk dapat membahagiakannya. Jauh di lubuk hatiku, aku tak ingin melihat Amak lebih murung lagi. Tapi, bagaimana ini? Apa yang harus kulakukan? Mengapa aku begitu egois, padahal Amak sudah berusaha keras ingin membuatku bahagia. Pasti Amak memiliki keyakinan yang kuat bahwa Bagindo Sulaiman mampu membahagiakanku, sebab Amak sudah mengenalnya luar dalam lewat persahabatan mereka yang harmonis selama ini. Sementara aku hanyalah anak bau kencur. Yang belum banyak pengalaman dalam mengenal orang lain. Buktinya Ardy yang kucintai tak pernah lagi muncul batang hidungnya. Kupikir Ardy tak pernah serius berhubungan denganku.

Aku hanyalah seorang wanita yang tak memiliki apa-apa. Tak memiliki karier dan kesibukan berarti selain mengurus rumah dan bermain-main. Apalagi yang harus kutunggu? Untuk ukuran orang kampung sepertiku, menikah adalah pilihan terbaik. Apalagi bila Tuhan telah mendekatkan jodohku.

Tiba-tiba terlintas di pikiranku untuk meminjam uang pada Bagindo Sulaiman. ya, pasti beliau tidak akan keberatan meminjamkan sepuluh juta yang akan kugunakan membayar utang Uda Aznan. Meskipun berat, tapi ini satu-satunya jalan untuk membayar utang Uda Aznan. Aku yakin, pasti ada jalan untuk membayar utang itu nantinya. [*]

 

 Bersambung ke Rumah Mandeh Bagian 7




[1] Apak = paman, panggilan kepada Saudara laki-laki ibu

Komentar