Cerbung: RUMAH MANDEH (Bagian 5)

 

Mandeh terlihat lelah setelah pulang berobat hingga memutuskan untuk istirahat sejenak sambil menonton acara berita sore. Hati Upik masih diliputi cemas setelah mendengar saran dokter bahwa Mandeh harus balik lagi untuk diperiksa secara keseluruhan. Ternyata benjolan di punggung yang selama ini dikeluhkan nyeri oleh Mandeh kemungkinan bisa jadi adalah tumor jinak ataupun ganas. Ah, jangan sampai tumor ganas itu yang menyerang Mandeh. Hati Upik dipenuhi rasa khawatir. Ia segera ke kamar melihat kondisi Mandeh.

“Ada apa Pik? Wajahmu pucat dan begitu gelisah,” tanya Mandeh sambil bangun dan duduk di atas kasur.

“Upik baik-baik saja kok, Mandeh, mungkin hanya sedikit lelah,” jawab Upik, lalu duduk di samping Mandeh.

“Kalau begitu, gantian kamu yang harus istirahat, Pik,” ucap Mandeh lembut sambil membelai rambut hitam sebahu Upik.

“Upik nggak terbiasa tidur siang, Mandeh. Gimana kalau Mandeh lanjutin aja cerita kemarin,” bujuknya sambil bermanja-manja di tubuh Mandeh.

“Penasaran ya?” goda Mandeh sambil memencet hidung Upik.

“Iyalah Mandeh, tapi Mandeh kan perlu istirahat. Nanti malam saja Mandeh lanjutin ceritanya. Upik akan menunggu dengan sabar, kok,” ucapnya lagi sambil menatap Mandeh khawatir.

“Mandeh udah enakan kok, kan tadi udah tidur beberapa menit. Bagaimana kalau kita rebahan berdua sambil cerita, Pik?”

“Sip, Mandeh, Upik mauuu,” jawab Upik lagi. Akhirnya rasa cemasnya tentang kondisi Mandeh yang selalu mengganggu pikiran semenjak pulang dari rumah sakit sedikit mengendur. Dirinya pun kembali bersiap mendengar hikayat hidup Mandeh selanjutnya.

***

1969 : Lamaran Bagindo Sulaiman

Hari ini Bagindo Sulaiman kembali datang. Seperti biasanya dia selalu membawa oleh-oleh buatku. Kali ini perhiasan emas yang dia berikan. Meski dalam hati aku takjub dan senang mendapati barang sebagus itu, tapi entah mengapa hatiku tak jua luluh.

“Bagaimana Layla? Apa kamu belum bisa membuka hatimu untuk Bagindo Sulaiman?” tanya Amak ketika duda itu sudah pulang.

“Bagaimana yah, Mak, Layla nggak mudah jatuh cinta pada seorang pria. Kita lihat nanti sajalah, Mak,” jawabku segera berlalu. Mencoba menghindari pertanyaan Amak selanjutnya. Meski kulihat segurat kekecewaan di wajah Amak.

“Bagaimana pun jodoh di tangan Tuhan. Amak pasrah pada ketentuan-Nya. Siapa pun yang menjadi suamimu nanti, walau orang itu bukan Bagindo Sulaiman, akan Amak terima. Asalkan dia bisa membahagiakanmu, Layla,” ucap Amak akhirnya, pasrah, pada saat kembali beradu mulut soal calon suami padaku beberapa hari yang lalu.

Dalam hati, timbul rasa penyesalan yang dalam. Maafkan aku Mak, yang belum bisa menerima perjodohanmu ini. Sebenarnya tak ada yang salah dengan perjodohan ini. Bagindo Sulaiman tidaklah sama dengan Datuk Maringgih[1] yang memiliki banyak istri karena doyan kawin. Bagindo Sulaiman memilih untuk menikah lagi karena istri-istrinya sudah meninggal dan ada yang sudah diceraikan karena tidak cocok. Wajar kalau dia membutuhkan pendamping hidup setelah cukup lama menduda. Tapi mengapa pilihannya jatuh padaku? Tidak pada wanita lain yang usianya tak berbeda jauh dengan dirinya?

Tapi siapa yang bisa menyalahkan hadirnya cinta pada diri seorang pria? Mungkinkah ini jodoh? Tidak! Aku akan tetap pada pendirianku untuk menikah dengan lelaki yang usianya tak terpaut jauh dariku. Dan aku telah menemukan lelaki yang tepat dalam diri Ardy, si tukang pos. Aku harus berterus terang pada Bagindo Sulaiman ketika dia datang nanti. Dengan halus akan kukatakan padanya bahwa aku sama sekali tak tertarik untuk menjadi istri dan ibu dari kelima anaknya. Sebab aku tak bisa membayangkan harus mengasuh lima anak tiri padahal aku sama sekali belum pernah mengasuh anak. Perlu kesiapan mental yang cukup untuk menjalani semua itu. Meski Amak terus menyakinkanku bahwa aku bisa melewatinya setelah menikah nanti.

Suatu hari sepulang bekerja dari restoran, Amak membawa berita yang mengejutkan bagiku dan juga dia. Mengejutkan bagiku karena aku benar-benar tak ingin mendengarnya. Sementara bagi Amak, berita inilah yang sudah lama dia tunggu-tunggu.

Bagindo Sulaiman akan segera datang untuk melamarku.

Ya, hal yang paling tidak kuinginkan itu kini terjadi. Hadiah-hadiah itu, mulut manisnya selama ini, tidak mungkin tidak ada maksud apa-apa. Dan tadi Amak diajaknya berbicara empat mata. Di situlah Bagindo Sulaiman mengungkapkan dengan resmi. Lewat perantaraan Amak, ia mengatakan akan datang untuk melamarku.

“Kamu mau kan, Layla?” tanya Amak penuh harap padaku. Mencoba mendengar kepastian itu dari mulutku.

“Bukan Layla tidak mau, Mak, tapi mengapa secepat ini?” jawabku sambil menghapus kristal-kristal putih yang menetes di kedua pipiku. Kebanyakan gadis menangis bahagia saat seorang lelaki melamarnya, tapi aku malah berduka. Tentu saja, gadis mana yang mau dinikahi seorang duda beranak lima? Mungkin cinta memang bisa datang belakangan. Dan mungkin aku bisa menerimanya karena aku tidak ingin mengecewakan Amak. Tapi masalahnya, mengapa secepat ini?

“Soalnya Bagindo Sulaiman tak ingin berlama-lama menunggu. Kamu harus tahu, Layla, bagi seorang duda tanpa istri, hidup dalam jangka waktu yang lama sungguhlah berat. Bagindo Sulaiman begitu kesepian.”

“Tapi Layla belum siap, Mak!” jawabku masih terisak.

Sepertinya keputusan Amak sudah final. Dan tak bisa ditawar-tawar lagi. Amak memang seorang ibu yang begitu sayang dan perhatian padaku. Tapi Amak juga seorang ibu yang keras dan tegas dalam mendidik anaknya. Meski aku tahu tujuan Amak baik, menjodohkan aku dengan lelaki pilihannya, tapi bagaimana dengan rasa cintaku pada Ardy? Benarkah cinta bisa tumbuh di kemudian hari?

Diam-diam aku menyusun sebuah rencana. Aku harus membatalkan lamaran ini dengan caraku. Ini menyangkut masa depanku sendiri. Aku tak akan menyerah begitu saja. Meski kutahu setelah ini Amak akan kecewa padaku.

Keesokan harinya, kumasukkan baju beberapa helai ke dalam tas. Semua perlengkapanku sudah tersimpan rapi di dalamnya. Kuputuskan siang ini untuk kabur dari rumah, mumpung Amak belum pulang dari restoran. Kukuatkan hati untuk pergi. Tak ada lagi yang bisa menahanku di rumah ini. Aku berbuat nekat seperti ini agar Amak tahu bahwa aku serius dengan keputusanku. Aku tak bersedia menerima lamaran Bagindo Sulaiman. Setelah kurasa aman, sambil celingak-celinguk ke kiri dan ke kanan, aku pun keluar dan mengunci rumah dari luar.

Dengan cepat segera kulangkahkan kaki tanpa melihat ke belakang. Aku harus berpacu dengan waktu sebelum ketahuan oleh orang-orang. Dadaku berdegup sangat kencang. Napasku tak beraturan. Perasaan was-was, panik, dan takut berkecamuk di benakku. Aku harus segera pergi meninggalkan kampung ini dan Amak. Tiba-tiba langkahku terhenti sejenak, saat berpapasan dengan salah seorang tetangga yang rumahnya tak jauh dari rumahku.

“Hendak kemana kau Layla dengan tas sebesar itu?” tanya Rida, tetanggaku itu, dengan heran.

“Oh, aku hendak pergi ke tempat Uda Aznan di Padang,” jawabku gugup.

“Tumben Amakmu nggak ikut mengantar. Tapi hati-hati yah di jalan,” ucap Rida dengan kedua sudut mata yang penuh curiga. Aku mencoba bersikap tenang dan menjawab seadanya.

“Makasih ya, Rida, aku sedang buru-buru nih. Aku duluan, ya?” ucapku sedikit panik. Rida semakin heran dengan sikapku. Begitu Rida berlalu dari hadapanku, segera kuambil langkah seribu. Aku tak ingin semua rencana kaburku ini gagal total. Aku harus segera sampai di ujung jalan untuk menyetop angkutan yang akan membawaku ke kota Padang. Setengah berlari, kupacu jalanku agar segera sampai. Tiba-tiba seseorang memanggilku lantang dari belakang.

“Layla! Mau ke mana kau?”

“Amak…” desisku lemas. Buyar sudah rencanaku.

“Layla, apa yang kau lakukan? Kau mau pergi? Kau ingin pergi diam-diam tanpa berpamitan dulu? Sejak kapan kau jadi anak tidak penurut? Memangnya kau mau kemana?” tanya Amak bertubi-tubi setelah jarak kami begitu dekat.

“Maafkan Layla, Mak. Layla ingin kabur dari rumah karena….”

“Karena ingin menghindar dari lamaran itu, kan?” ucap Amak sambil bersimbah air mata. “Pulanglah, Nak! Kau berhak menentukan hidupmu. Amak tak akan memaksamu lagi. Lebih baik Amak melihatmu tak jadi menikah daripada harus ditinggalkan kau, Layla.”

“Tapi Mak....”

“Meskipun Bagindo Sulaiman marah dan memberhentikan Amak dari pekerjaan, Amak akan terima. Layla, Amak sayang padamu. Apa yang Amak lakukan semata-mata karena Amak tahu ini baik bagimu. Tapi kalau kau tidak terima, Amak juga tidak akan marah. Sekarang mari kita pulang.”

Aku segera memeluk Amak dengan segunung rasa bersalah. [*]


Bersambung ke Rumah Mandeh Bagian 6

[1] Datuk Maringgih adalah salah satu tokoh dalam roman Siti Nurbaya yang cukup terkenal dengan hobinya yang doyan kawin.


Sebelumnya:

Rumah Mandeh Bagian 4

Rumah Mandeh Bagian 3

Rumah Mandeh Bagian 2

Rumah Mandeh Bagian 1

Ingin naskahmu dimuat di www.pustaka22.com? Baca infonya DI SINI

Komentar