Mandeh terlihat lelah setelah pulang berobat hingga memutuskan untuk istirahat
sejenak sambil menonton acara berita sore. Hati Upik masih diliputi cemas setelah
mendengar saran dokter bahwa Mandeh harus balik lagi untuk diperiksa secara
keseluruhan. Ternyata benjolan di punggung yang selama ini dikeluhkan nyeri
oleh Mandeh kemungkinan bisa jadi adalah tumor jinak ataupun ganas. Ah, jangan
sampai tumor ganas itu yang menyerang Mandeh. Hati Upik dipenuhi rasa khawatir.
Ia segera ke kamar melihat kondisi Mandeh.
“Ada
apa Pik? Wajahmu pucat dan begitu gelisah,” tanya Mandeh sambil bangun dan
duduk di atas kasur.
“Upik
baik-baik saja kok, Mandeh, mungkin hanya sedikit lelah,” jawab Upik, lalu duduk
di samping Mandeh.
“Kalau
begitu, gantian kamu yang harus istirahat, Pik,” ucap Mandeh lembut sambil
membelai rambut hitam sebahu Upik.
“Upik nggak
terbiasa tidur siang, Mandeh. Gimana kalau Mandeh lanjutin aja cerita kemarin,”
bujuknya sambil bermanja-manja di tubuh Mandeh.
“Penasaran
ya?” goda Mandeh sambil memencet hidung Upik.
“Iyalah
Mandeh, tapi Mandeh kan perlu istirahat. Nanti malam saja Mandeh lanjutin
ceritanya. Upik akan menunggu dengan sabar, kok,” ucapnya lagi sambil menatap Mandeh
khawatir.
“Mandeh
udah enakan kok, kan tadi udah tidur beberapa menit. Bagaimana kalau kita
rebahan berdua sambil cerita, Pik?”
“Sip, Mandeh,
Upik mauuu,” jawab Upik lagi. Akhirnya rasa cemasnya tentang kondisi Mandeh
yang selalu mengganggu pikiran semenjak pulang dari rumah sakit sedikit mengendur.
Dirinya pun kembali bersiap mendengar hikayat hidup Mandeh selanjutnya.
***
1969 : Lamaran Bagindo Sulaiman
Hari ini Bagindo Sulaiman kembali
datang. Seperti biasanya dia selalu membawa oleh-oleh buatku. Kali ini
perhiasan emas yang dia berikan. Meski dalam hati aku takjub dan senang
mendapati barang sebagus itu, tapi entah mengapa hatiku tak jua luluh.
“Bagaimana Layla? Apa kamu belum bisa
membuka hatimu untuk Bagindo Sulaiman?” tanya Amak ketika duda itu sudah
pulang.
“Bagaimana yah, Mak, Layla nggak mudah jatuh
cinta pada seorang pria. Kita lihat nanti sajalah, Mak,” jawabku segera
berlalu. Mencoba menghindari pertanyaan Amak selanjutnya. Meski kulihat segurat
kekecewaan di wajah Amak.
“Bagaimana pun jodoh di tangan Tuhan. Amak pasrah
pada ketentuan-Nya. Siapa pun yang menjadi suamimu nanti, walau orang itu bukan
Bagindo Sulaiman, akan Amak terima. Asalkan dia bisa membahagiakanmu, Layla,” ucap
Amak akhirnya, pasrah, pada saat kembali beradu mulut soal calon suami padaku
beberapa hari yang lalu.
Dalam hati, timbul rasa penyesalan yang
dalam. Maafkan aku Mak, yang belum bisa menerima perjodohanmu ini. Sebenarnya
tak ada yang salah dengan perjodohan ini. Bagindo Sulaiman tidaklah sama dengan
Datuk Maringgih[1] yang
memiliki banyak istri karena doyan kawin. Bagindo Sulaiman memilih untuk
menikah lagi karena istri-istrinya sudah meninggal dan ada yang sudah
diceraikan karena tidak cocok. Wajar kalau dia membutuhkan pendamping hidup
setelah cukup lama menduda. Tapi mengapa pilihannya jatuh padaku? Tidak pada
wanita lain yang usianya tak berbeda jauh dengan dirinya?
Tapi siapa yang bisa menyalahkan hadirnya
cinta pada diri seorang pria? Mungkinkah ini jodoh? Tidak! Aku akan tetap pada
pendirianku untuk menikah dengan lelaki yang usianya tak terpaut jauh dariku.
Dan aku telah menemukan lelaki yang tepat dalam diri Ardy, si tukang pos. Aku
harus berterus terang pada Bagindo Sulaiman ketika dia datang nanti. Dengan
halus akan kukatakan padanya bahwa aku sama sekali tak tertarik untuk menjadi
istri dan ibu dari kelima anaknya. Sebab aku tak bisa membayangkan harus mengasuh
lima anak tiri padahal aku sama sekali belum pernah mengasuh anak. Perlu
kesiapan mental yang cukup untuk menjalani semua itu. Meski Amak terus
menyakinkanku bahwa aku bisa melewatinya setelah menikah nanti.
Suatu hari sepulang bekerja dari restoran, Amak
membawa berita yang mengejutkan bagiku dan juga dia. Mengejutkan bagiku karena
aku benar-benar tak ingin mendengarnya. Sementara bagi Amak, berita inilah yang
sudah lama dia tunggu-tunggu.
Bagindo Sulaiman akan
segera datang untuk melamarku.
Ya, hal yang paling
tidak kuinginkan itu kini terjadi. Hadiah-hadiah itu, mulut manisnya selama
ini, tidak mungkin tidak ada maksud apa-apa. Dan tadi Amak diajaknya berbicara empat mata. Di situlah
Bagindo Sulaiman mengungkapkan dengan resmi. Lewat perantaraan Amak, ia mengatakan akan
datang untuk melamarku.
“Kamu mau kan, Layla?” tanya Amak penuh
harap padaku. Mencoba mendengar kepastian itu dari mulutku.
“Bukan Layla tidak mau, Mak, tapi mengapa
secepat ini?” jawabku sambil menghapus kristal-kristal putih yang menetes di
kedua pipiku. Kebanyakan gadis menangis bahagia saat seorang lelaki melamarnya, tapi aku
malah berduka. Tentu saja, gadis mana yang mau dinikahi seorang duda beranak
lima? Mungkin cinta memang bisa datang belakangan. Dan mungkin aku bisa
menerimanya karena aku tidak ingin mengecewakan Amak. Tapi masalahnya, mengapa secepat ini?
“Soalnya Bagindo Sulaiman tak ingin
berlama-lama menunggu. Kamu harus tahu, Layla, bagi seorang duda tanpa istri,
hidup dalam jangka waktu yang lama sungguhlah berat. Bagindo Sulaiman begitu
kesepian.”
“Tapi Layla belum siap, Mak!” jawabku masih
terisak.
Sepertinya keputusan Amak sudah final. Dan
tak bisa ditawar-tawar lagi. Amak memang seorang ibu yang begitu sayang dan
perhatian padaku. Tapi Amak juga seorang ibu yang keras dan tegas dalam
mendidik anaknya. Meski aku tahu tujuan Amak baik, menjodohkan aku dengan
lelaki pilihannya, tapi bagaimana dengan rasa cintaku pada Ardy? Benarkah cinta
bisa tumbuh di kemudian hari?
Diam-diam aku menyusun sebuah rencana. Aku
harus membatalkan lamaran ini dengan caraku. Ini menyangkut masa depanku
sendiri. Aku tak akan menyerah begitu saja. Meski kutahu setelah ini Amak akan
kecewa padaku.
Keesokan harinya, kumasukkan baju beberapa
helai ke dalam tas. Semua perlengkapanku sudah tersimpan rapi di dalamnya.
Kuputuskan siang ini untuk kabur dari rumah, mumpung Amak belum pulang dari
restoran. Kukuatkan hati untuk pergi. Tak ada lagi yang bisa menahanku di rumah
ini. Aku berbuat nekat seperti ini agar Amak tahu bahwa aku serius dengan
keputusanku. Aku tak bersedia menerima lamaran Bagindo Sulaiman. Setelah kurasa
aman, sambil celingak-celinguk ke kiri dan ke kanan, aku pun keluar dan
mengunci rumah dari luar.
Dengan cepat segera kulangkahkan kaki tanpa
melihat ke belakang. Aku harus berpacu dengan waktu sebelum ketahuan oleh
orang-orang. Dadaku berdegup sangat kencang. Napasku tak beraturan. Perasaan
was-was, panik, dan takut berkecamuk di benakku. Aku harus segera pergi
meninggalkan kampung ini dan Amak. Tiba-tiba langkahku terhenti sejenak, saat
berpapasan dengan salah seorang tetangga yang rumahnya tak jauh dari rumahku.
“Hendak kemana kau Layla dengan tas sebesar
itu?” tanya Rida, tetanggaku itu, dengan heran.
“Oh, aku hendak pergi ke tempat Uda Aznan di
Padang,” jawabku gugup.
“Tumben Amakmu nggak ikut mengantar. Tapi
hati-hati yah di jalan,” ucap Rida dengan kedua sudut mata yang penuh curiga.
Aku mencoba bersikap tenang dan menjawab seadanya.
“Makasih ya, Rida, aku sedang buru-buru nih.
Aku duluan, ya?” ucapku sedikit panik. Rida semakin heran dengan sikapku.
Begitu Rida berlalu dari hadapanku, segera kuambil langkah seribu. Aku tak
ingin semua rencana kaburku ini gagal total. Aku harus segera sampai di ujung
jalan untuk menyetop angkutan yang akan membawaku ke kota Padang. Setengah
berlari, kupacu jalanku agar segera sampai. Tiba-tiba seseorang memanggilku
lantang dari belakang.
“Layla! Mau ke mana kau?”
“Amak…” desisku lemas. Buyar sudah
rencanaku.
“Layla, apa yang kau lakukan? Kau mau pergi?
Kau ingin pergi diam-diam tanpa berpamitan dulu? Sejak kapan kau jadi anak
tidak penurut? Memangnya kau mau kemana?” tanya Amak bertubi-tubi setelah jarak kami
begitu dekat.
“Maafkan Layla, Mak. Layla ingin kabur dari
rumah karena….”
“Karena ingin menghindar dari lamaran itu,
kan?” ucap Amak sambil bersimbah air mata. “Pulanglah, Nak! Kau berhak
menentukan hidupmu. Amak tak akan memaksamu lagi. Lebih baik Amak melihatmu tak
jadi menikah daripada harus ditinggalkan
kau, Layla.”
“Tapi Mak....”
“Meskipun Bagindo
Sulaiman marah dan memberhentikan Amak dari pekerjaan, Amak akan terima. Layla, Amak sayang padamu. Apa yang Amak lakukan semata-mata
karena Amak tahu ini baik
bagimu. Tapi kalau kau tidak terima, Amak juga tidak akan marah. Sekarang mari kita pulang.”
Aku segera memeluk Amak dengan segunung rasa
bersalah. [*]
[1] Datuk Maringgih adalah salah satu tokoh dalam roman Siti Nurbaya
yang cukup terkenal dengan hobinya yang doyan kawin.
Sebelumnya:
Ingin naskahmu dimuat di www.pustaka22.com? Baca infonya DI SINI
Komentar
Posting Komentar