Cerbung: RUMAH MANDEH (Bagian 4)

1966 : Elegi Rendang

Aku masih berkutat di dapur. Mengolah sebuah resep yang cukup istimewa. Mempersiapkan bumbu yang lengkap mulai dari bawang merah, bawang putih, cabai merah, juga bumbu dapur lainnya. Resep turun temurun warisan keluargaku, yang masih hidup hingga kini. Hawa panas dari api kompor yang menyala-nyala, membakar pantat wajan. Seolah-olah ikut membakar hatiku yang mendidih karena amarah tanpa bisa kupadamkan. Amarahku ini tak lain tertuju pada sebuah sosok yang selama ini begitu kucintai dan kuhormati. Abak.

“Abak benar-benar tak punya hati!” sekali lagi kugaungkan nama itu ke udara yang penuh sesak oleh asap dan aroma bumbu yang menyengat hidungku. Entah untuk keberapa kalinya.

Mengapa Abak begitu tega menyakiti hati Amak? Setelah begitu banyak pengorbanan yang Amak berikan selama mendampingi hidup Abak? batinku terus menjerit, tapi aku tetap fokus dengan masakanku. Mencoba mendinginkan hatiku dari rasa muak dan benci di tengah hawa panas yang mengepungku.

          Setelah menggiling semua bumbu di atas batu penggilingan besar, aku memeras kelapa yang dicampur air dengan takaran yang tepat. Tentunya dengan sepenuh hati, agar menghasilkan santan yang pas kekentalannya. Sehingga mengeluarkan banyak dedak rendang yang nikmat. Jauh lebih nikmat dibandingkan hidup yang kini keluargaku jalani.

Dulu sewaktu Amak bersedia diajak menikah, Abak belum memiliki pekerjaan tetap alias masih kerja serabutan. Tapi Amak dengan hati yang luas, seluas cintanya pada Abak, rela hidup susah. Tak ada bulan madu bagaikan pengantin baru yang lainnya. Hidup juga masih menumpang di rumah mertua. Sementara penghasilan Abak tak pernah pasti. Kadang kalau lagi banyak objekan, uang yang Abak bawa pulang untuk Amak terbilang lumayan. Cukuplah untuk mengepulkan asap di dapur selama satu atau dua hari. Namun saat sepi, sepeser pun tak ada uang. Begitulah cerita yang kudengar dari Amak setelah aku beranjak remaja.

Kulanjutkan ritual memasakku dengan menumis bumbu yang sudah digiling halus tanpa perasaan. Tak ubahnya Abak, yang sampai hati menghancurkan hati Amak hingga hancur berkeping-keping.

Sreng… Sreng… Sreng….

kugerak-gerakkan ke sana kemari sendok penggorengan, agar bumbu masak merata. Bila sudah mengeluarkan aroma harum, berarti bumbu tumisan sudah matang. Menyusul masuknya daging yang sudah dipotong-potong dengan ukuran yang sama besarnya ke dalam wajan. Ritual terakhir menuangkan santan kental dan mengaduk-aduknya hingga menggelegak.

Gelembung-gelembung kecil yang bergolak di permukaan santan, mengingatkanku akan gelembung-gelembung kemarahan yang disimpan rapat oleh Amak di dalam hati. Aku yakin, suatu saat golak kemarahan itu semakin besar gelegaknya, dan Amak tak akan dapat menahan lagi, hingga suatu hari nanti akan menumpahkannya. Wanita mana sih yang ingin dimadu? Apalagi janji sang suami untuk bisa membagi perhatian  hanya omong kosong belaka.

“Daripada Amak terus-menerus makan hati, lebih baik minta cerai saja pada Abak!” ungkapku penuh rasa sesal. Ketika kudapati Amak kembali menangis di kamarnya. Mungkin tangisan yang keseribu kali dalam hidup Amak, sejak Abak memutuskan untuk beristri lagi.

“Ngomong apa kamu, Layla! Amak tak akan pernah minta cerai pada abakmu. Ibarat rendang, sebuah keluarga haruslah lengkap. Tak boleh ada yang kurang. Haruskah keluarga kita kehilangan Abak untuk dikuasai oleh keluarga barunya? Sungguh! Amak tak akan rela kalau itu sampai terjadi.”

“Apa Amak rela seumur hidup melihat Abak membagi cintanya pada wanita  lain?” tanyaku untuk yang kesekian kalinya. Dan Amak pun selalu menjawab sama.

 “Sudahlah Layla, tak usah diperpanjang terus.” hanya itu yang selalu mampu Amak ucapkan. Aku pun kehabisan kata-kata untuk melanjutkan.

 Sampai kapankah Amak mampu menahan rasa marah yang bergejolak? Akankah kesabaran itu ada batasnya? Mengingat Amak selalu menahan sabar bila Abak ingkar janji untuk pulang ke rumah sesuai giliran.

Ugh! Aku mengecilkan api kompor yang menjilat-jilat liar, agar daging tak cepat gosong. Hingga bumbu bisa meresap ke dalam daging dengan sempurna.

Aku menata hidangan makan malam di atas meja dengan hati gelisah, karena sedari tadi tak kulihat Abak datang dari balik jendela. Bahkan bayangannya pun tak tampak.

“Amak, Layla sudah siapkan semuanya,” ucapku lembut sambil mengambil tempat duduk di samping Amak yang sedari tadi belum juga keluar dari kamar.

“Abak kau sudah pulang?”

“Belum Mak,” jawabku dengan berat hati.

“Kalau begitu, Layla makan saja dulu.”

“Tapi Mak, apa enaknya makan sendiri. Layla sama sekali tak bernafsu,” jawabku lesu.

“Ayolah. Nanti kamu masuk angin.”

“Bagaimana dengan Amak?”

Amak hanya menjawab dengan senyum getirnya. Senyum yang menyiratkan keperihan hatinya. Dengan berat hati, aku pun segera hengkang dari kamar kedua orang tuaku, yang dulu masih terasa kehangatannya saat aku memasukinya. Tapi kini, suasana kamar Abak dan Amak seolah mati dari cahaya cinta dan kehangatan seperti dulu. Terpaksalah aku makan sendiri seperti malam-malam sebelumnya. Sementara Uda Aznan, kakakku, masih suka keluyuran seperti biasanya dan jarang pulang. Sedikitpun dia tak peka dengan keadaan Amak sekarang. Benar-benar kelewatan.

Uda Aznan berubah sejak Abak juga berubah. Ketika orang ketiga itu mulai masuk ke dalam garis hidup Abak, sejak saat itu Uda Aznan juga jadi benci dengan Abak. Tapi sayang, Uda Aznan melampiaskannya dengan cara lain. Keluyuran dan jarang pulang. Akibatnya tidak hanya Abak yang merasa diabaikan, tapi aku dan Amak juga jadi kehilangan sosok Uda Aznan yang selama ini sangat baik pada kami.

Bagi Amak, makan tanpa dihadiri Abak kurang lengkap. Ibarat rendang, yang bumbunya komplet, maka bila ada yang kurang terasa hambar rasanya. Begitu juga suasana makan malam tanpa hadirnya satu orang. Apalagi orang itu Abak. Bertahun-tahun Amak tak pernah makan malam tanpa ditemani oleh Abak, ketika semua aktivitas telah dituntaskan di siang hari, maka tak ada alasan bagi anggota keluarga untuk absen makan malam bersama.

Sejujurnya, aku tak pernah menginginkan Abak bercerai dari Amak. Tapi bila kehadiran Abak tak lagi berfungsi sebagai kepala rumah tangga yang baik, untuk apa dipertahankan? Ibarat sebuah pemerintahan, bila kepala negaranya tak lagi bisa menjalankan roda pemerintahannya dengan baik, maka rakyatnya yang akan menanggung akibatnya. Namun, aku tak kuasa untuk menghapus begitu saja asumsi yang sudah melekat kuat di pikiran orangtuaku. Asumsi bahwa hidup ini tak ubahnya daging rendang. Harus diramu dengan sempurna dan lengkap komposisinya. Padahal aku sendiri memandang hidup ini dengan cara sederhana. Jauh lebih sederhana dari rendang yang butuh ketekunan dan keuletan tersendiri dalam memasaknya.

Hari ini aku kembali mendengar suara-suara miring itu. Suara yang membuat luka hati Amak semakin hari semakin meradang. Para tetangga mulai kasak kusuk tentang kepulangan Abak yang semakin jarang. Padahal dulu orang-orang sering melihat Abak dan Amak menunjukkan kemesraan mereka. Terutama saat Amak melepas Abak pergi bekerja mengelola usaha rumah makannya. Kecup mesra dan sayang selalu singgah di kening Amak yang kini mulai keriput. Namun ritual romantis tersebut tak pernah lagi Abak lakukan. Sejak Abak lebih banyak menghabiskan waktu di rumah istri mudanya. 

“Jangan-jangan sudah punya bini baru! Pasti lebih cantik dan muda dari si Aini.” kupingku begitu panas mendengar nama Amak kembali disebut-sebut. Meski aku berusaha agar gosip santer tersebut tak sampai ke kuping Amak, namun mulut ibu-ibu penyebar gosip tersebut tak mudah untuk disumpal begitu saja. Lama-lama akhirnya Amak tahu juga kalau perkawinan kedua Abak, menjadi pembicaraan hangat para ibu-ibu di sekitar rumah kami.

Semakin teririslah luka di hati Amak. Amak pun mulai menderita insomnia. Dia tak bisa terlelap sebelum meminum obat tidur dari dokter. Aku begitu takut Amak menjadi tergantung dengan obat-obatan tersebut. Sampai akhirnya Amak sering bolak-balik ke psikiater dan didiagnosis mengalami depresi berat. Ketika Abak pulang, aku tak lagi bisa menahan diri untuk tak menceritakan keadaan Amak yang sebenarnya. Berharap Abak bisa mengerti dan mau lebih bersimpati pada keadaan psikis Amak yang begitu down dengan kelakuan Abak yang sudah berubah seratus delapan puluh derajat itu. Dari yang tadinya begitu perhatian dan memanjakan Amak, kini menjadi suami yang tak lagi peduli pada istrinya sendiri.

“Kita harus bicara, Bak!” ucapku tegas, saat Amak sedang berada di kamar.

“Kayaknya penting sekali Layla. Tentang masalah apa?”

“Ini tentang Amak. Abak jangan pura-pura menutup mata dan telinga. Layla yakin, Abak sudah tahu tentang keadaan Amak yang sebenarnya. Sejak Abak menikah lagi, Amak mulai terlihat lebih murung dan suka menyendiri. Tidakkah Abak kasihan melihat kondisi Amak sekarang? Yang mulai tergantung pada obat-obat penenang dari dokter.”

“Sudahlah Layla. Tak usah dibesar-besarkan.  Mungkin Amak belum siap mental Abak menikah lagi. Lama-lama juga Amakmu bisa menerima. Hanya masalah waktu saja,” jawab Abak santai.

“Bagaimana mungkin Layla bisa tenang, kalau setiap hari Amak tak bisa tidur memikirkan Abak!” nada suaraku mulai meninggi. Stok kesabaranku habis mendengar jawaban Abak yang tak pernah kuharapkan itu. “Abak benar-benar tak cinta lagi pada Amak. Inikah balasan Abak pada kesetiaan dan pengabdian Amak selama ini?”

“Tak pantas Layla berkata begitu pada Abak. Masih ingusan sudah berani menggurui orang tua!” jawab Abak tak kalah marahnya.

“Layla sudah dewasa, Bak! sudah bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Dan keputusan Abak untuk beristri dua adalah sebuah kesalahan! Apalagi Abak tak pernah bisa berbuat adil pada kedua istri Abak. Layla benar-benar kecewa, Bak! ucapku sambil membanting pintu kamar sekeras-kerasnya. Tak dapat lagi kubendung emosiku yang sudah lama kutahan. Lalu kudaratkan kepalaku di atas bantal dan menumpahkan air mata kesedihan di atasnya. Membayangkan keluargaku tak lagi sekomplet dulu.

Yah, Abak kini mengangggap Amak sebagai istri yang tak lagi bisa melengkapi hidupnya. Hanya gara-gara Amak tak lagi segar, muda, dan cantik seperti dulu. Padahal di mataku, Amak sosok istri yang mendekati sempurna. Selain telaten mengurus keluarga, Amak juga pintar memasak. Terutama rendang kesukaan Abak. Amak juga telah bertahun-tahun mengabdikan hidupnya pada Abak. Dengan selalu mendukung apa pun yang dilakukan Abak. Di balik kesuksesan rumah makan yang kini dipegang Abak sepenuhnya, andil Amak tak bisa dibilang remeh. Modal awal membuka usaha restoran Padang adalah hasil dari menjual perhiasan milik Amak, ditambah warisan dari keluarganya.

Amak juga sama, menganggap keputusan untuk berpisah dari Abak akan mengurangi kelengkapan hidupnya sebagai istri. Meskipun Abak lebih sering memberikannya derita daripada bahagia. Padahal hidup tak selamanya bisa disamakan dengan bumbu masakan. Bila ada yang kurang, maka akan memengaruhi semuanya. Contohnya dalam membuat rendang. Ada bumbu utama dan ada bumbu tambahan. Kalau bawang dan cabe merah tak ada, maka tak jadi bumbu yang diinginkan. Tapi semisal bumbu tambahan seperti daun salam, maka tak ada pun, tak akan memengaruhi rasanya, sebab hanya sebagai penambah harum masakan saja.

Begitu pula dengan kelangsungan hidup Amak. Aku pikir, tanpa Abak pun hidup Amak tetap bisa berjalan sebagaimana mestinya. Aku yakin Amak bisa hidup mandiri dengan bekerja. Apalagi Amak punya keahlian memasak yang hebat seputar lauk Padang.

Sementara, sebagai seorang anak, hidupku tak lagi lengkap seperti dulu. Sejak keharmonisan tak lagi kudapati di rumahku. Elegi rendang yang begitu memilukan, tak jua berhenti bersenandung. Oh Tuhan… Mengapa?

***

“Jadi, nenek akhirnya memang benar-benar berpisah dari kakek?”

Malam semakin larut. Tapi mata Upik semakin menyala mendengar cerita dari Mandeh.

“Benar. Nenekmu sebenarnya masih ingin bersama kakek, tapi kakekmu tidak lagi bisa menempatkan nenekmu dalam hatinya karena cintanya lebih condong ke istri keduanya. Meskipun nenekmu tetap bisa menerima kakek setelah dikhianati atas segala cinta yang selama ini telah dia berikan.”

“Menurut Upik, kakek benar-benar keterlaluan! Terus, bagaimana kehidupan Mandeh dan nenek setelah kakek pergi?”

“Nenekmu mencari pekerjaan ke sebuah restoran ternama milik seorang duda beranak lima. Kepiawaian nenekmu meracik bumbu masakan membuat dia langsung diterima.”

“Jadi duda itu yang kemudian dijodohkan oleh nenek dengan Mandeh?”

Mandeh mengangguk. “Tapi ceritanya kita lanjutkan besok saja, sudah larut. Kamu ada kuliah jam pertama, kan?”

Meski kecewa, Upik menuruti kata Mandehnya. Tapi ia sungguh penasaran dengan kelanjutan cerita Mandeh. Tentang perjodohan yang sama sekali tidak disukai Mandeh dengan dudak beranak lima itu yang kemudian memang menjadi Abaknya. Kok bisa? Tanya itu terus menggantung di kepala Upik hingga keesokan harinya. [*]


Bersambung ke Rumah Mandeh Bagian 5


Rumah Mandeh Bagian 3

 Rumah Mandeh Bagian 2

Rumah Mandeh Bagian 1


Ingin mengirim naskah ke pustaka22.com? Cek infonya di sini

Komentar