1966 : Elegi Rendang
Aku masih berkutat di dapur.
Mengolah sebuah resep yang cukup istimewa. Mempersiapkan bumbu yang lengkap
mulai dari bawang merah, bawang putih, cabai merah, juga bumbu dapur lainnya.
Resep turun temurun warisan keluargaku, yang masih hidup hingga kini. Hawa
panas dari api kompor yang menyala-nyala, membakar pantat wajan. Seolah-olah
ikut membakar hatiku yang mendidih karena amarah tanpa bisa kupadamkan.
Amarahku ini tak lain tertuju pada sebuah sosok yang selama ini begitu kucintai
dan kuhormati. Abak.
“Abak benar-benar tak punya hati!” sekali
lagi kugaungkan nama itu ke udara yang penuh sesak oleh asap dan aroma bumbu
yang menyengat hidungku. Entah untuk keberapa kalinya.
Mengapa Abak begitu
tega menyakiti hati Amak? Setelah begitu banyak pengorbanan yang Amak berikan
selama mendampingi hidup Abak? batinku terus menjerit,
tapi aku tetap fokus dengan masakanku. Mencoba
mendinginkan hatiku dari rasa muak dan benci di tengah hawa panas yang
mengepungku.
Setelah
menggiling semua
bumbu di atas batu penggilingan besar, aku memeras kelapa yang dicampur air dengan takaran yang
tepat. Tentunya dengan sepenuh hati, agar menghasilkan santan yang pas
kekentalannya. Sehingga mengeluarkan banyak dedak rendang yang nikmat. Jauh lebih
nikmat dibandingkan hidup
yang kini keluargaku jalani.
Dulu sewaktu Amak bersedia diajak menikah,
Abak belum memiliki pekerjaan tetap alias masih kerja serabutan. Tapi Amak dengan
hati yang luas,
seluas cintanya pada Abak, rela hidup susah. Tak ada bulan madu bagaikan
pengantin baru yang lainnya. Hidup juga masih menumpang di rumah mertua. Sementara
penghasilan Abak tak pernah pasti. Kadang kalau lagi banyak objekan, uang yang
Abak bawa pulang untuk Amak terbilang lumayan. Cukuplah untuk mengepulkan
asap di dapur selama satu atau dua hari. Namun saat sepi, sepeser pun
tak ada uang. Begitulah cerita yang kudengar dari Amak setelah aku beranjak
remaja.
Kulanjutkan ritual memasakku dengan menumis
bumbu yang sudah digiling halus tanpa perasaan. Tak ubahnya Abak, yang sampai
hati menghancurkan hati Amak hingga hancur berkeping-keping.
Sreng… Sreng… Sreng….
kugerak-gerakkan ke sana kemari sendok penggorengan,
agar bumbu masak merata. Bila sudah mengeluarkan aroma harum, berarti bumbu
tumisan sudah matang. Menyusul masuknya daging yang sudah dipotong-potong
dengan ukuran yang sama besarnya ke dalam wajan. Ritual terakhir menuangkan
santan kental dan mengaduk-aduknya hingga menggelegak.
Gelembung-gelembung kecil yang bergolak di permukaan
santan, mengingatkanku akan gelembung-gelembung kemarahan yang disimpan rapat
oleh Amak di dalam hati. Aku yakin, suatu saat golak kemarahan itu semakin
besar gelegaknya, dan Amak tak akan dapat menahan lagi, hingga suatu hari nanti
akan menumpahkannya. Wanita mana sih yang ingin dimadu? Apalagi janji sang
suami untuk bisa membagi perhatian hanya
omong kosong belaka.
“Daripada Amak terus-menerus makan hati,
lebih baik minta cerai saja pada Abak!” ungkapku penuh rasa sesal. Ketika
kudapati Amak kembali menangis di kamarnya. Mungkin tangisan yang keseribu kali dalam hidup Amak,
sejak Abak memutuskan untuk beristri lagi.
“Ngomong apa kamu, Layla! Amak tak akan
pernah minta cerai pada abakmu. Ibarat rendang, sebuah keluarga haruslah lengkap.
Tak boleh ada yang kurang. Haruskah keluarga kita kehilangan Abak untuk
dikuasai oleh keluarga barunya? Sungguh! Amak tak akan rela kalau itu sampai
terjadi.”
“Apa Amak rela seumur hidup melihat Abak
membagi cintanya pada wanita lain?”
tanyaku untuk yang kesekian kalinya. Dan Amak pun selalu menjawab sama.
“Sudahlah Layla, tak usah diperpanjang terus.” hanya itu yang selalu mampu Amak ucapkan.
Aku pun kehabisan kata-kata
untuk melanjutkan.
Sampai kapankah Amak mampu menahan rasa marah
yang bergejolak? Akankah kesabaran itu ada batasnya? Mengingat Amak selalu
menahan sabar bila Abak ingkar janji untuk pulang ke rumah sesuai giliran.
Ugh! Aku mengecilkan api kompor yang
menjilat-jilat liar, agar daging tak cepat gosong. Hingga bumbu bisa meresap ke dalam daging dengan sempurna.
Aku menata hidangan makan malam di atas meja dengan hati gelisah,
karena sedari tadi tak kulihat Abak datang dari balik jendela. Bahkan
bayangannya pun tak tampak.
“Amak, Layla sudah siapkan semuanya,” ucapku
lembut sambil mengambil tempat duduk di samping Amak yang sedari tadi
belum juga keluar dari kamar.
“Abak kau sudah pulang?”
“Belum Mak,” jawabku dengan berat hati.
“Kalau begitu, Layla makan saja dulu.”
“Tapi Mak, apa enaknya makan sendiri. Layla sama sekali tak
bernafsu,” jawabku
lesu.
“Ayolah. Nanti kamu masuk angin.”
“Bagaimana dengan Amak?”
Amak hanya menjawab dengan senyum getirnya.
Senyum yang menyiratkan keperihan hatinya. Dengan berat hati, aku pun segera
hengkang dari kamar kedua orang tuaku, yang dulu masih terasa kehangatannya
saat aku memasukinya. Tapi kini, suasana kamar Abak dan Amak seolah mati dari
cahaya cinta dan kehangatan seperti dulu. Terpaksalah aku makan sendiri seperti
malam-malam sebelumnya. Sementara Uda Aznan, kakakku, masih suka keluyuran seperti biasanya
dan jarang pulang.
Sedikitpun dia tak peka dengan keadaan Amak sekarang. Benar-benar kelewatan.
Uda Aznan berubah sejak
Abak juga berubah. Ketika orang ketiga itu mulai masuk ke dalam garis hidup
Abak, sejak saat itu Uda Aznan juga jadi benci dengan Abak. Tapi sayang, Uda
Aznan melampiaskannya dengan cara lain. Keluyuran dan jarang pulang. Akibatnya
tidak hanya Abak yang merasa diabaikan, tapi aku dan Amak juga jadi kehilangan sosok Uda Aznan yang
selama ini sangat baik pada kami.
Bagi Amak, makan tanpa dihadiri Abak kurang
lengkap. Ibarat rendang, yang bumbunya komplet, maka bila ada yang kurang
terasa hambar rasanya. Begitu juga suasana makan malam tanpa hadirnya satu
orang. Apalagi orang itu Abak. Bertahun-tahun Amak tak pernah makan malam tanpa
ditemani oleh Abak, ketika semua aktivitas telah dituntaskan di siang hari, maka tak ada alasan
bagi anggota keluarga untuk absen makan malam bersama.
Sejujurnya, aku tak pernah menginginkan Abak
bercerai dari Amak. Tapi bila kehadiran Abak tak lagi berfungsi sebagai kepala
rumah tangga yang baik, untuk apa dipertahankan? Ibarat sebuah pemerintahan,
bila kepala negaranya tak lagi bisa menjalankan roda pemerintahannya dengan
baik, maka rakyatnya yang akan menanggung akibatnya. Namun, aku tak kuasa untuk
menghapus begitu saja asumsi yang sudah melekat kuat di pikiran orangtuaku.
Asumsi bahwa hidup ini tak ubahnya daging rendang. Harus diramu dengan sempurna
dan lengkap komposisinya. Padahal aku sendiri memandang hidup ini dengan cara
sederhana. Jauh lebih sederhana dari rendang yang butuh ketekunan dan keuletan
tersendiri dalam memasaknya.
Hari ini aku kembali mendengar suara-suara
miring itu. Suara yang membuat luka hati Amak semakin hari semakin meradang.
Para tetangga mulai kasak kusuk tentang kepulangan Abak yang semakin jarang.
Padahal dulu orang-orang sering melihat Abak dan Amak menunjukkan kemesraan
mereka. Terutama saat Amak melepas Abak pergi bekerja mengelola usaha rumah makannya. Kecup mesra dan sayang selalu
singgah di kening Amak yang kini mulai keriput. Namun ritual romantis tersebut
tak pernah lagi Abak lakukan. Sejak Abak lebih banyak menghabiskan waktu di
rumah istri mudanya.
“Jangan-jangan sudah punya bini baru! Pasti
lebih cantik dan muda dari si Aini.”
kupingku begitu panas mendengar
nama Amak kembali disebut-sebut. Meski aku berusaha agar gosip santer tersebut
tak sampai ke kuping Amak, namun mulut ibu-ibu penyebar gosip tersebut tak
mudah untuk disumpal begitu saja. Lama-lama akhirnya Amak tahu juga kalau perkawinan kedua Abak,
menjadi pembicaraan hangat para ibu-ibu di sekitar rumah kami.
Semakin teririslah luka di hati Amak. Amak pun mulai
menderita insomnia. Dia tak bisa terlelap sebelum meminum obat tidur dari
dokter. Aku begitu takut Amak menjadi tergantung dengan obat-obatan tersebut.
Sampai akhirnya Amak sering bolak-balik ke psikiater dan didiagnosis mengalami
depresi berat. Ketika Abak pulang, aku tak lagi bisa menahan diri untuk tak
menceritakan keadaan Amak yang sebenarnya. Berharap Abak bisa mengerti dan mau
lebih bersimpati pada keadaan psikis Amak yang begitu down dengan kelakuan Abak yang sudah berubah seratus delapan puluh
derajat itu. Dari yang tadinya begitu perhatian dan memanjakan Amak, kini
menjadi suami yang tak lagi peduli pada istrinya sendiri.
“Kita harus bicara, Bak!” ucapku tegas, saat
Amak sedang berada di kamar.
“Kayaknya penting sekali Layla. Tentang masalah apa?”
“Ini tentang Amak. Abak jangan pura-pura
menutup mata dan telinga. Layla yakin, Abak sudah tahu tentang keadaan Amak yang
sebenarnya. Sejak Abak menikah lagi, Amak mulai terlihat lebih murung dan suka
menyendiri. Tidakkah Abak
kasihan melihat kondisi Amak sekarang? Yang mulai tergantung pada obat-obat
penenang dari dokter.”
“Sudahlah Layla. Tak usah
dibesar-besarkan. Mungkin Amak belum
siap mental Abak menikah lagi. Lama-lama juga Amakmu bisa menerima. Hanya
masalah waktu saja,” jawab Abak santai.
“Bagaimana mungkin Layla bisa tenang, kalau
setiap hari Amak tak bisa tidur memikirkan Abak!” nada suaraku mulai meninggi.
Stok kesabaranku habis mendengar jawaban Abak yang tak pernah kuharapkan itu.
“Abak benar-benar tak cinta lagi pada Amak. Inikah balasan Abak pada kesetiaan
dan pengabdian Amak selama ini?”
“Tak
pantas Layla berkata begitu pada Abak. Masih ingusan sudah berani menggurui
orang tua!” jawab Abak tak kalah marahnya.
“Layla
sudah dewasa, Bak! sudah bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah.
Dan keputusan Abak untuk beristri dua adalah sebuah kesalahan! Apalagi Abak tak
pernah bisa berbuat adil pada kedua istri Abak. Layla benar-benar kecewa, Bak!”
ucapku sambil membanting pintu kamar sekeras-kerasnya. Tak dapat lagi kubendung
emosiku yang sudah lama kutahan. Lalu kudaratkan kepalaku di atas
bantal dan menumpahkan air mata kesedihan di atasnya.
Membayangkan keluargaku tak lagi sekomplet dulu.
Yah,
Abak kini mengangggap Amak sebagai istri yang tak lagi bisa melengkapi
hidupnya. Hanya gara-gara Amak tak lagi segar, muda, dan cantik seperti dulu.
Padahal di mataku, Amak sosok istri yang mendekati sempurna. Selain
telaten mengurus keluarga, Amak juga pintar memasak. Terutama rendang kesukaan
Abak. Amak juga telah bertahun-tahun mengabdikan hidupnya pada Abak. Dengan
selalu
mendukung apa pun yang dilakukan Abak.
Di balik kesuksesan rumah makan yang kini dipegang Abak
sepenuhnya, andil Amak tak bisa dibilang remeh. Modal awal membuka usaha
restoran Padang adalah hasil dari menjual perhiasan milik Amak, ditambah
warisan dari keluarganya.
Amak juga sama, menganggap keputusan untuk
berpisah dari Abak akan mengurangi kelengkapan hidupnya sebagai istri. Meskipun
Abak lebih sering memberikannya derita daripada bahagia. Padahal hidup tak
selamanya bisa disamakan dengan bumbu masakan. Bila ada yang kurang, maka akan memengaruhi
semuanya. Contohnya dalam membuat rendang. Ada bumbu utama dan ada bumbu
tambahan. Kalau bawang dan cabe merah tak ada, maka tak jadi bumbu yang
diinginkan. Tapi semisal bumbu tambahan seperti daun salam, maka tak ada pun,
tak akan memengaruhi rasanya, sebab hanya sebagai penambah harum masakan saja.
Begitu pula dengan kelangsungan hidup Amak.
Aku pikir, tanpa Abak pun hidup Amak tetap bisa berjalan sebagaimana mestinya.
Aku yakin Amak bisa hidup mandiri dengan bekerja. Apalagi Amak punya keahlian
memasak yang hebat seputar lauk Padang.
Sementara, sebagai seorang anak, hidupku tak
lagi lengkap seperti dulu. Sejak keharmonisan tak lagi kudapati di rumahku.
Elegi rendang yang begitu memilukan, tak jua berhenti bersenandung. Oh Tuhan… Mengapa?
***
“Jadi, nenek akhirnya memang benar-benar berpisah
dari kakek?”
Malam semakin larut. Tapi mata Upik semakin
menyala mendengar cerita dari Mandeh.
“Benar. Nenekmu sebenarnya masih ingin bersama
kakek, tapi kakekmu tidak lagi bisa menempatkan nenekmu dalam hatinya karena
cintanya lebih condong ke istri keduanya. Meskipun nenekmu tetap bisa menerima
kakek setelah dikhianati atas segala cinta yang selama ini telah dia berikan.”
“Menurut Upik, kakek benar-benar keterlaluan! Terus,
bagaimana kehidupan Mandeh dan nenek setelah kakek pergi?”
“Nenekmu mencari pekerjaan ke sebuah restoran
ternama milik seorang duda beranak lima. Kepiawaian nenekmu meracik bumbu
masakan membuat dia langsung diterima.”
“Jadi duda itu yang kemudian dijodohkan oleh nenek
dengan Mandeh?”
Mandeh mengangguk. “Tapi ceritanya kita lanjutkan
besok saja, sudah larut. Kamu ada kuliah jam pertama, kan?”
Meski kecewa, Upik menuruti kata Mandehnya. Tapi ia sungguh penasaran dengan kelanjutan cerita Mandeh. Tentang perjodohan yang sama sekali tidak disukai Mandeh dengan dudak beranak lima itu yang kemudian memang menjadi Abaknya. Kok bisa? Tanya itu terus menggantung di kepala Upik hingga keesokan harinya. [*]
Bersambung ke Rumah Mandeh Bagian 5
Ingin mengirim naskah ke pustaka22.com? Cek infonya di sini
Komentar
Posting Komentar