Cerbung: RUMAH MANDEH (Bagian 3)

Satu bulan sudah Mandeh menetap di Jakarta. Setelah beberapa hari tinggal bersama Uda Hilman, akhirnya Mandeh memutuskan untuk tinggal bersama Upik. Rumah kontrakan Upik memang sangat besar jika harus dihuni sendirian. Lagi pula, Upik yang lebih banyak waktu luang sehingga lebih bisa menemani Mandeh di rumah. Uda Rusli harus pergi bekerja pagi hari dan pulang sore harinya, sehingga tentu saja, Mandeh harus sering ditinggal sendirian jika menetap bersama Uda Rusli.

Setelah sekian lama tinggal di Jakarta, tampaknya Mandeh masih tidak merasa betah. Tapi bagaimanapun juga, Mandeh harus menjalaninya sementara rumah di Pariaman selesai dibangun kembali setelah hancur total. Hanya satu kebiasaan Mandeh yang bisa menghibur dan menyibukkan dirinya, yaitu memasak. Yang merasa sangat senang dengan hal ini adalah Upik, karena masakan Mandeh jauh lebih enak daripada harus beli di luar. Apalagi jika Mandeh memasak rendang, tidak ada satu rumah makan Padang di Jakarta yang mampu menyaingi kelezatannya. Bahkan Restoran Salero Bundo tempat Uda Hilman bekerja belum tentu bisa menyaingi rasanya.

Hobi Mandeh dalam meracik bumbu di dapur berdampak hebat pada badan Upik yang kini bertambah gemuk. Bagaimana tidak, ia yang biasanya sering lupa makan, sekarang selalu makan dengan lahap dan berulang-ulang. Uda Rusli dan Uda Hilman yang sering datang berkunjung juga melihat hal itu.

Soundtrackmu sekarang bukan nasib anak kost lagi ya, Pik?” kata Uda Hilman saat suatu hari berkunjung menemui Mandeh dan Upik.

“Iya, Upik jadi subur sekarang. Nggak ceking lagi,timpal Uda Rusli, membuat Mandeh ikut tertawa mendengarnya.

Perlahan, mereka berusaha menghapus kenangan pahit yang tempo hari telah meluluhlantakkan Mandeh, tidak hanya rumahnya, tapi juga hatinya. Uda Rusli dan Uda Hilman sering berkunjung agar Mandeh ikut senang karena merasa diperhatikan. Upik juga begitu, datang ke kampus jika memang hanya ada mata kuliah yang akan diikuti. Harinya lebih banyak dihabiskan di rumah bersama Mandeh. Atau jika punya waktu luang yang banyak, sesekali dia mengajak Mandeh jalan-jalan. Ke taman, ke mal, ke kebun binatang. Tekadnya hanya satu, membuat Mandeh betah tinggal di Jakarta sampai waktunya tiba untuk kembali ke Pariaman. Walau Upik tidak bisa memastikan, kapan mereka bisa membangun rumah itu lagi.

Sampai suatu hari Mandeh mengeluh masuk angin. Lalu disusul dengan hilangnya selera makan.

“Mandeh, ayolah kita ke dokter,” bujuk Upik entah untuk yang keberapa kalinya.

“Nggak usahlah, Pik. Paling Mandeh cuma masuk angin saja. Maklum sudah tua jadi badannya gampang sakit.”

“Tapi sudah satu minggu ini Mandeh mengaku tidak enak badan. Terus terang Upik khawatir. Apalagi Mandeh sering mengeluh kalau benjolan di punggung Mandeh sering berdenyut ngilu.”  

Lama Mandeh terdiam. Entah karena memikirkan ajakannya atau masih memikirkan rumah yang dia tinggalkan. Setelah menarik napas perlahan, “Memang iya, Pik, benjolan di punggung Mandeh sering ngilu terutama di malam hari. Tapi sekarang Mandeh ingin dikerokin lagi seperti biasanya,” ucap Mandeh sambil membuka baju belakangnya.

“Ya sudah, tapi besok Mandeh harus mau pergi berobat, ya?” ucap Upik tegas. Mandeh hanya mengangguk lemah.

Upik sungguh iba melihat kondisi Mandeh yang kurang sehat. Padahal ia punya rencana untuk membawa Mandeh jalan-jalan ke Tanah Abang dan Pasar Anyar. Melihat-lihat koleksi baju muslim beraneka motif yang indah di pusat pasar Tanah Abang. Begitu juga seandainya diajak ke Pasar Anyar untuk memilih sandal, pasti Mandeh merasa senang dan bisa sedikit melupakan kenangan-kenangan yang lebih pahit dari empedu itu.

“Mandeh, sebaiknya berbaring, ya? Biar Upik pijatin,” ucapnya kemudian setelah selesai mengerik tubuh ringkih Mandeh. Mandeh menuruti sarannya.  Perlahan, Upik memijat pelan punggung Mandeh.

Sambil menikmati pijatannya, tanpa diminta, Mandeh bercerita tentang kisah hidupnya sejak masih gadis dulu. Penuh antusias, Upik pun menyimak setiap cerita yang diuntai Mandeh. Mandeh sangat pintar bercerita. Kepintaran itu sepertinya menular pada Upik. Bedanya Mandeh bercerita dengan lisannya, Upik lebih suka menuliskannya.

Kisah pahit dan manisnya hidup Mandeh pun dimulai…

***

1969: Bukan Siti Nurbaya

Aku tak bisa berbuat banyak saat ini. Duda beranak lima itu begitu pintar mengambil hati Amak. Tapi tidak untuk hatiku. Meski kemewahan sekalipun yang dia tawarkan padaku. Bagiku, cinta tak bisa dibeli dengan apa pun, apalagi uang dan benda-benda berharga. Tapi aku harus menemuinya, demi Amak. Yah, demi Amak yang kusayangi. Hanya Amak di dunia ini yang aku punya. Sejak Abak meninggalkan diriku sewaktu kecil. Abak sakit-sakitan selama enam bulan sebelum akhirnya meninggalkan kami untuk selama-lamanya. Aku menjadi yatim sejak usia dini. Sebuah kenyataan pahit bagi seorang anak wanita sepertiku. Yang sangat memerlukan campur tangan seorang ayah dalam membimbing dan mengasihiku. Kini Amaklah tumpuan hidupku. Tempatku bersandar sedari kecil hingga dewasa. Otomatis bila aku sudah menikah, beban Amak akan berkurang.

Aku tahu, Amak harus bekerja ekstra keras di sebuah restoran Padang sebagai juru masak demi menghidupiku, anak perempuan satu-satunya. Sebab hanya memasaklah yang Amak kuasai. Terutama daging rendang. Dan Amak telah bertahun-tahun bekerja di restoran duda beranak lima sekaligus bosnya itu. Sampai akhirnya perjodohan ini terlaksana. Perjodohan yang lahir dari kekaguman seorang karyawan pada bosnya sendiri.

Mengapa tidak Amak saja yang menikah dengan bosnya itu? Usia mereka kan tak terpaut jauh. Tapi cinta telah memilih kepada siapa dia hendak berlabuh. Dan cinta bosnya Amak memilih untuk mencintai wanita yang usianya terpaut 25 tahun dengannya, yaitu aku. Ah, aku berada dalam dilema. Dilema antara Amak dan duda beranak lima itu, yang sekarang tengah menungguku di ruang tamu. Dengan setengah hati, aku keluar menemui tamu yang sangat istimewa bagi Amak itu. Kuseret kakiku yang terasa berat untuk melangkah. Harus kulakukan ini semua demi Amak.

“Ini anak padusi[1] ambo[2] satu-satunya, Bagindo. Namanya Layla,” Amak berkata dengan senyumnya yang paling ramah.

“Ambo sudah tahu Aini. Sejak pertama bertemu, ambo sudah jatuh hati pada anak padusimu ini,” jawab Bagindo Sulaiman sambil menatap wajahku yang tertunduk malu.

Perasaanku campur aduk. Antara marah, benci, juga malu. Tidak sadarkah mereka? kalau sekarang bukan lagi zaman Siti Nurbaya[3]. Yang masih memaksakan perjodohan dengan seenaknya? Ingin rasanya segera pergi dari pertemuan yang tak kuinginkan ini. Tapi apa daya, aku tak punya keberanian untuk memaki dan mengusir duda beranak lima di hadapanku, agar segera angkat kaki dari rumahku. Kalau bisa, tak usah kembali lagi untuk selama-lamanya. Tapi aku tak kuasa melakukan itu demi melihat wajah Amak yang bersinar-sinar.

Aku tahu Amak sudah berusaha untuk mencarikan jodoh yang terbaik buatku. Tak mungkin Amak tega menjerumuskan anaknya sendiri. Tapi mengapa harus dengan duda beranak lima? Meskipun menurut Amak, dia lelaki yang tepat untuk menjadi suamiku. Selain taat beribadah, dia juga pekerja keras dan bertanggung jawab.

Kekaguman itulah yang membuat Amak nekat menjodohkan anaknya sendiri dengan lelaki yang sudah pernah beristri dan memiliki lima orang anak itu. Tidakkah Amak berpikir apakah aku siap menjadi ibu dari kelima orang anak tiriku? Padahal usiaku belum genap dua puluh tahun.

“Ambo tidak bisa lama-lama, Aini. Masih banyak urusan yang harus ambo selesaikan. Ini ada sedikit oleh-oleh buat Layla. Semoga adinda berkenan,” ucap Bagindo Sulaiman sambil menyodorkan sebuah bungkusan padaku.

“Apakah ini sebuah sogokan Bagindo? Ambo tidak tertarik,” jawabku ketus.

“Layla! Tidak boleh bicara begitu. Bagindo hanya ingin menunjukkan perhatiannya padamu,” Amak mendelik marah ke arahku.

“Kamu jangan terlalu keras padanya, Aini. Lama-lama Layla akan menerima ambo, meskipun tidak sekarang. Semuanya butuh waktu dan proses. Ambo tidak mau Layla merasa terpaksa.”

Aku hanya bisa mengurut dada menghadapi situasi yang serba salah ini. Harusnya aku tak boleh bicara kasar pada lelaki ini. Bagaimanapun dia tamu di rumahku. Apalagi sikapnya sangat baik padaku dan Amak. Meskipun dia punya maksud tertentu. Tapi jika aku menyambutnya dengan ramah, bisa-bisa dia menganggap aku juga menginginkan pernikahan terjadi. Tidak. Itu tidak boleh terjadi. Aku tidak mencintainya dan aku sudah punya calon sendiri.

“Kalau begitu, Ambo pamit dulu Aini. Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam. Terima kasih atas kedatangannya, Bagindo,” jawab Amak melepaskan kepergian Bagindo Sulaiman di depan pintu. Aku sendiri langsung masuk ke kamar. Rasanya lega sekali melihat duda itu sudah pulang.

“Layla!” panggil Amak dari luar kamar.

“Ada apa, Mak?” aku segera keluar menemui Amak.

“Mengapa oleh-oleh dari Bagindo dibiarkan saja di ruang tamu? tanya Amak dengan wajah kesal.

“Ambil saja buat Amak. Layla tidak tertarik sedikit pun.”

Kamu benar-benar tidak menghargai pemberian orang lain. Ayo ambil dan buka bungkusnya. Amak ingin tahu apa isinya,” perintah Amak tegas. Dengan hati terpaksa, segera kubuka bungkusan dari duda itu di depan Amak.

“Hanya baju kok, Mak,kataku memperlihatkan isi bungkusan itu kepada Amak.

Hanya baju katamu? Bagus sekali baju ini Layla. Selera Bagindo Sulaiman benar-benar tinggi. Motifnya lagi tren dan warnanya merah cerah. Serasi dengan warna kulitmu yang kuning langsat.”

“Buat Amak sajalah. Layla tidak suka dengan warnanya.”

“Jangan begitu Layla. Nanti kalau Bagindo Sulaiman datang lagi, kamu bisa pakai baju ini. Agar dia bisa melihat betapa cantiknya anak padusi Amak. Juga untuk memperlihatkan padanya kalau kamu senang dengan pemberiannya.

“Amak… Amak… Itu sama saja Layla menarik perhatian Bagindo agar semakin suka dengan Layla,” jawabku sambil memasang wajah cemberut.

“Memangnya kenapa kalau Bagindo Sulaiman semakin tertarik padamu, Layla? Bukankah itu yang kita harapkan?”

“Tapi Layla tak mengharapkan itu Mak, karena hati Layla sudah terpaut dengan pria lain.”

“Tukang ngantar surat itu maksudmu? Apa yang kamu harapkan dari lelaki tukang pos macam dia?”

“Tapi dia mau menerima Layla apa adanya, Mak.”

“Bagindo Sulaiman juga bisa menerima dirimu apa adanya,” ucap Amak tak mau kalah.

“Masalahnya Layla tidak cinta dengan bos Amak itu,” jawabku lagi.

“Cinta bisa datang belakangan Layla. Amak juga dulu menikah tanpa cinta. Tapi akhirnya bisa menyayangi abakmu hingga kau dan udamu lahir.”

“Layla capek berdebat terus dengan Amak,” jawabku segera masuk ke dalam kamar. Seperti biasa kembali aku mengunci diri dan merenungi nasib. Tak kuhiraukan wajah kesal Amak barusan.

Mengapa Tuhan tak bersikap adil padaku? Seandainya Abak ada di sini, apakah perjodohan ini tetap akan terjadi? Meskipun Abak telah bercerai dari Amak, tapi sebagai ayah dia masih punya tanggung jawab terhadapku, putrinya. Aku bisa sekolah setinggi-tingginya tanpa harus dikejar-kejar usia untuk segera menikah. Amak memang kolot. Baginya anak padusi tidak perlu bersekolah tinggi. Yang penting bisa membahagiakan suami. Padahal aku ingin sekali bersekolah. Apalagi aku senang membaca, meski sebelah mataku tak lagi berfungsi sejak operasi mata yang kujalani tak berhasil, sementara mata yang sebelahnya agak kabur bila melihat sesuatu. Aku harus memakai kacamata agar bisa melihat.

Aku juga suka menjahit bordir. Sudah banyak jahitan bordir yang kuhasilkan. Buku-buku tentang pola bordir koleksiku lumayan banyak. Tapi sayang, sejak mataku rusak akibat operasi yang gagal, mataku tak kuat lagi untuk menjahit. Paling hanya membaca buku dengan bantuan kacamata. Itupun tak bisa lama-lama membaca. Bisa berakibat pedih dan gatal pada sebelah mataku yang masih berfungsi.

Bila mengingat kelakuan Abak, hatiku sedih dan kasihan pada Amak. Ada rasa perih menusuk hatiku. Aku yakin perih yang sama juga melanda hati Amak. Pertengkaran sengit antara aku dan Abak beberapa tahun yang lalu pun kembali terbayang.

***

Mandeh menghentikan ceritanya. Upik yang sudah dari tadi berhenti memijat punggungnya masih termangu. Kisah itu sangat sinetron sekali, maksudnya dia sama sekali tidak percaya kalau jalinan asmara Mandeh waktu masih gadis dulu begitu berliku.

“Terus, kok Mandeh akhirnya menikah juga dengan Abak?” kata Upik, mengubah posisinya dari tidur menjadi duduk. Dia sangat penasaran dengan kelanjutannya.

“Perjalanan hidup dan cinta seseorang sudah digariskan oleh-Nya, Pik. Meskipun ungkapan klise, tapi kalau jodoh di tangan Tuhan itu memang benar adanya.”

“Terus bagaimana ceritanya Mandeh bisa melupakan si tukang pos itu?” Upik tertawa sewaktu menyebut kata si-tukang-pos-itu.

“Mau Mandeh ceritakan bagian itu dulu atau mau mendengar kisah Mandeh dan kakekmu bertengkar sengit?”

“Hmmm... yang mana saja Mandeh, yang penting jangan sampai ada yang ketinggalan.”

“Baiklah. Tapi kamu lanjutin pijatnya, ya, Mandeh cerita, kamu malah berhenti.”

Upik terkekeh.

***

Bersambung ke Rumah Mandeh Bagian 4





[1] Padusi = perempuan

[2] Ambo = saya / aku.

[3] Siti Nurbaya adalah sebuah cerita roman yang sudah sangat melegenda, tidak hanya di Sumatera Barat tapi juga sudah dikenal seluruh nusantara, berkisah tentang perjodohan seorang anak wanita (Siti Nurbaya) dengan Datuak Maringgih yang sama sekali tidak dicintainya.


Komentar