Satu bulan sudah Mandeh menetap di
Jakarta. Setelah beberapa hari tinggal bersama Uda Hilman, akhirnya Mandeh memutuskan
untuk tinggal bersama Upik. Rumah kontrakan Upik memang sangat besar jika harus dihuni sendirian.
Lagi pula, Upik yang lebih banyak waktu
luang sehingga lebih bisa menemani Mandeh di rumah. Uda Rusli harus pergi
bekerja pagi hari dan pulang sore harinya, sehingga tentu saja, Mandeh harus sering
ditinggal sendirian
jika menetap bersama Uda Rusli.
Setelah
sekian lama tinggal di Jakarta, tampaknya Mandeh masih tidak merasa betah.
Tapi bagaimanapun juga, Mandeh harus menjalaninya sementara rumah di Pariaman selesai dibangun
kembali setelah hancur total. Hanya satu kebiasaan Mandeh yang bisa menghibur
dan menyibukkan dirinya, yaitu memasak.
Yang merasa sangat senang dengan hal ini adalah Upik, karena masakan Mandeh
jauh lebih enak daripada harus beli di luar. Apalagi jika Mandeh
memasak rendang, tidak ada satu rumah
makan Padang di Jakarta yang mampu menyaingi kelezatannya. Bahkan Restoran Salero Bundo
tempat Uda Hilman bekerja belum tentu bisa menyaingi rasanya.
Hobi
Mandeh dalam meracik bumbu di dapur berdampak hebat pada badan Upik yang kini bertambah gemuk. Bagaimana
tidak, ia yang biasanya sering lupa makan, sekarang selalu makan dengan lahap dan berulang-ulang.
Uda Rusli dan Uda Hilman yang sering datang berkunjung juga melihat hal itu.
“Soundtrackmu sekarang bukan nasib anak kost lagi ya, Pik?” kata Uda
Hilman saat suatu hari berkunjung menemui Mandeh dan Upik.
“Iya, Upik jadi subur
sekarang. Nggak ceking lagi,” timpal Uda Rusli,
membuat Mandeh ikut tertawa mendengarnya.
Perlahan,
mereka berusaha
menghapus kenangan pahit yang tempo hari telah meluluhlantakkan Mandeh, tidak
hanya rumahnya, tapi juga hatinya. Uda Rusli dan Uda Hilman sering berkunjung
agar Mandeh ikut senang karena merasa diperhatikan. Upik juga begitu, datang ke kampus jika memang hanya
ada mata kuliah yang akan diikuti. Harinya lebih banyak dihabiskan di rumah
bersama Mandeh. Atau jika punya waktu luang yang banyak, sesekali dia mengajak Mandeh
jalan-jalan. Ke taman, ke mal,
ke kebun binatang. Tekadnya hanya satu, membuat Mandeh betah tinggal di Jakarta
sampai waktunya tiba untuk kembali ke Pariaman. Walau Upik tidak bisa
memastikan, kapan mereka bisa membangun rumah itu lagi.
Sampai suatu hari Mandeh
mengeluh masuk angin. Lalu disusul dengan hilangnya selera makan.
“Mandeh, ayolah kita
ke dokter,” bujuk Upik entah untuk yang keberapa kalinya.
“Nggak usahlah, Pik.
Paling Mandeh cuma masuk angin saja. Maklum sudah tua jadi badannya gampang
sakit.”
“Tapi sudah satu minggu
ini Mandeh mengaku tidak enak badan.
Terus terang Upik khawatir. Apalagi Mandeh sering mengeluh kalau benjolan di punggung
Mandeh sering berdenyut ngilu.”
Lama Mandeh terdiam. Entah karena
memikirkan ajakannya atau masih memikirkan rumah yang dia tinggalkan.
Setelah menarik napas perlahan, “Memang iya, Pik, benjolan di punggung Mandeh sering ngilu terutama di
malam hari. Tapi sekarang Mandeh ingin dikerokin lagi seperti biasanya,” ucap Mandeh
sambil membuka baju belakangnya.
“Ya sudah, tapi besok Mandeh harus mau pergi berobat, ya?” ucap Upik tegas. Mandeh hanya
mengangguk lemah.
Upik sungguh iba melihat kondisi Mandeh yang
kurang sehat. Padahal ia punya rencana untuk membawa Mandeh jalan-jalan ke Tanah Abang dan Pasar Anyar. Melihat-lihat koleksi baju muslim
beraneka motif yang indah di pusat pasar Tanah Abang. Begitu juga seandainya diajak ke Pasar Anyar untuk memilih
sandal, pasti Mandeh merasa senang dan bisa sedikit melupakan kenangan-kenangan yang lebih pahit dari empedu itu.
“Mandeh, sebaiknya berbaring, ya? Biar Upik pijatin,” ucapnya kemudian
setelah selesai mengerik tubuh ringkih Mandeh. Mandeh menuruti sarannya. Perlahan, Upik memijat pelan punggung Mandeh.
Sambil
menikmati pijatannya, tanpa diminta,
Mandeh bercerita
tentang kisah hidupnya sejak masih gadis dulu. Penuh antusias, Upik pun
menyimak setiap cerita yang diuntai Mandeh. Mandeh sangat pintar bercerita. Kepintaran
itu sepertinya menular pada Upik. Bedanya Mandeh bercerita dengan lisannya,
Upik lebih suka menuliskannya.
Kisah pahit dan manisnya
hidup Mandeh pun dimulai…
***
1969: Bukan
Siti Nurbaya
Aku
tak bisa berbuat banyak saat ini. Duda beranak lima itu begitu pintar mengambil
hati Amak. Tapi tidak untuk hatiku. Meski kemewahan sekalipun yang dia tawarkan
padaku. Bagiku, cinta
tak bisa dibeli dengan apa pun, apalagi uang dan benda-benda berharga. Tapi aku
harus menemuinya,
demi Amak. Yah, demi Amak yang kusayangi. Hanya Amak di dunia ini yang aku
punya. Sejak Abak meninggalkan diriku sewaktu kecil. Abak sakit-sakitan selama enam
bulan sebelum akhirnya meninggalkan kami untuk selama-lamanya. Aku menjadi
yatim sejak usia dini. Sebuah kenyataan pahit bagi seorang anak wanita
sepertiku. Yang sangat memerlukan campur tangan seorang ayah dalam membimbing
dan mengasihiku. Kini Amaklah tumpuan hidupku. Tempatku bersandar sedari kecil
hingga dewasa. Otomatis bila aku sudah menikah, beban Amak akan berkurang.
Aku tahu, Amak harus
bekerja ekstra keras di sebuah restoran Padang sebagai
juru masak demi menghidupiku, anak perempuan satu-satunya. Sebab hanya
memasaklah yang Amak kuasai. Terutama daging rendang. Dan Amak telah
bertahun-tahun bekerja di restoran duda beranak lima sekaligus bosnya itu.
Sampai akhirnya perjodohan ini terlaksana. Perjodohan yang lahir dari kekaguman
seorang karyawan pada bosnya sendiri.
Mengapa tidak Amak saja
yang menikah dengan bosnya itu? Usia mereka kan tak terpaut jauh. Tapi cinta telah
memilih kepada siapa dia hendak berlabuh. Dan cinta bosnya Amak memilih untuk
mencintai wanita yang usianya terpaut 25 tahun dengannya, yaitu aku. Ah, aku
berada dalam dilema. Dilema antara Amak dan duda beranak lima itu, yang
sekarang tengah menungguku di ruang tamu. Dengan setengah hati, aku keluar
menemui tamu yang sangat istimewa bagi Amak itu. Kuseret kakiku yang terasa
berat untuk melangkah. Harus kulakukan ini semua demi Amak.
“Ini anak padusi[1]
ambo[2]
satu-satunya, Bagindo. Namanya Layla,” Amak berkata dengan senyumnya yang
paling ramah.
“Ambo sudah tahu Aini. Sejak pertama
bertemu, ambo sudah
jatuh hati pada anak padusimu ini,” jawab Bagindo Sulaiman sambil menatap wajahku yang tertunduk
malu.
Perasaanku campur
aduk. Antara marah, benci, juga malu. Tidak sadarkah mereka? kalau sekarang
bukan lagi zaman Siti Nurbaya[3].
Yang masih memaksakan perjodohan dengan seenaknya? Ingin rasanya segera pergi
dari pertemuan yang tak kuinginkan ini. Tapi apa daya, aku tak punya keberanian
untuk memaki dan mengusir duda beranak lima di hadapanku, agar segera angkat kaki dari rumahku.
Kalau bisa, tak usah kembali lagi untuk selama-lamanya. Tapi aku tak kuasa
melakukan itu demi melihat wajah Amak yang bersinar-sinar.
Aku tahu Amak sudah
berusaha untuk mencarikan jodoh yang terbaik buatku. Tak mungkin Amak tega
menjerumuskan anaknya sendiri. Tapi mengapa harus dengan duda beranak lima?
Meskipun menurut Amak, dia lelaki yang tepat untuk menjadi suamiku. Selain taat
beribadah, dia juga pekerja keras dan bertanggung jawab.
Kekaguman itulah yang
membuat Amak nekat menjodohkan anaknya sendiri dengan lelaki yang sudah pernah
beristri dan memiliki lima orang anak itu. Tidakkah Amak berpikir apakah aku
siap menjadi ibu dari kelima orang anak tiriku? Padahal usiaku belum genap dua
puluh tahun.
“Ambo tidak bisa
lama-lama, Aini. Masih banyak urusan yang harus ambo selesaikan. Ini ada
sedikit oleh-oleh buat Layla. Semoga adinda berkenan,” ucap Bagindo Sulaiman
sambil menyodorkan sebuah bungkusan padaku.
“Apakah ini sebuah
sogokan Bagindo? Ambo tidak
tertarik,” jawabku ketus.
“Layla! Tidak boleh bicara begitu. Bagindo hanya ingin
menunjukkan perhatiannya padamu,” Amak mendelik marah ke arahku.
“Kamu jangan terlalu
keras padanya, Aini. Lama-lama Layla akan menerima ambo, meskipun tidak
sekarang. Semuanya butuh waktu dan proses. Ambo tidak mau Layla merasa terpaksa.”
Aku hanya bisa mengurut dada menghadapi situasi yang serba
salah ini. Harusnya aku tak boleh bicara
kasar pada lelaki ini. Bagaimanapun dia tamu di rumahku. Apalagi sikapnya sangat
baik padaku dan Amak. Meskipun dia punya maksud tertentu. Tapi jika aku
menyambutnya dengan ramah, bisa-bisa dia menganggap aku juga menginginkan
pernikahan terjadi. Tidak. Itu tidak boleh terjadi. Aku tidak mencintainya dan
aku sudah punya calon sendiri.
“Kalau begitu, Ambo
pamit dulu Aini. Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.
Terima kasih atas kedatangannya, Bagindo,” jawab Amak melepaskan kepergian
Bagindo Sulaiman di depan pintu. Aku sendiri langsung masuk ke kamar. Rasanya
lega sekali melihat duda itu sudah pulang.
“Layla!” panggil Amak
dari luar kamar.
“Ada apa, Mak?” aku segera keluar menemui Amak.
“Mengapa oleh-oleh dari Bagindo dibiarkan
saja di ruang tamu?” tanya Amak dengan wajah kesal.
“Ambil saja buat Amak.
Layla tidak tertarik sedikit pun.”
“Kamu benar-benar tidak menghargai pemberian orang
lain. Ayo ambil dan buka bungkusnya. Amak ingin tahu apa isinya,” perintah Amak
tegas. Dengan hati
terpaksa, segera kubuka bungkusan dari duda itu di depan Amak.
“Hanya
baju kok, Mak,” kataku memperlihatkan
isi bungkusan itu kepada Amak.
“Hanya baju
katamu? Bagus sekali
baju ini Layla. Selera Bagindo Sulaiman benar-benar tinggi. Motifnya lagi tren
dan warnanya merah cerah. Serasi dengan warna kulitmu yang kuning langsat.”
“Buat Amak sajalah.
Layla tidak suka
dengan warnanya.”
“Jangan begitu Layla.
Nanti kalau Bagindo Sulaiman datang lagi, kamu bisa pakai baju ini. Agar dia
bisa melihat betapa cantiknya anak padusi Amak. Juga untuk
memperlihatkan padanya kalau kamu senang dengan pemberiannya.”
“Amak… Amak… Itu sama
saja Layla menarik perhatian Bagindo agar semakin suka dengan Layla,” jawabku
sambil memasang wajah cemberut.
“Memangnya kenapa
kalau Bagindo Sulaiman semakin tertarik padamu, Layla? Bukankah itu yang kita
harapkan?”
“Tapi Layla tak
mengharapkan itu Mak, karena hati Layla sudah terpaut dengan pria lain.”
“Tukang ngantar surat
itu maksudmu? Apa yang kamu harapkan dari lelaki tukang pos macam dia?”
“Tapi dia mau
menerima Layla apa adanya, Mak.”
“Bagindo Sulaiman
juga bisa menerima dirimu apa adanya,” ucap Amak tak mau kalah.
“Masalahnya Layla tidak cinta dengan bos Amak itu,”
jawabku lagi.
“Cinta bisa datang
belakangan Layla. Amak juga dulu menikah tanpa cinta. Tapi akhirnya bisa
menyayangi abakmu hingga kau dan udamu lahir.”
“Layla capek berdebat
terus dengan Amak,” jawabku segera masuk ke dalam kamar. Seperti biasa kembali
aku mengunci diri dan merenungi nasib. Tak kuhiraukan wajah kesal Amak barusan.
Mengapa Tuhan tak
bersikap adil padaku? Seandainya Abak ada di sini, apakah perjodohan ini tetap
akan terjadi? Meskipun Abak telah bercerai dari Amak, tapi sebagai ayah dia
masih punya tanggung jawab terhadapku, putrinya. Aku bisa sekolah
setinggi-tingginya tanpa harus dikejar-kejar usia untuk segera menikah. Amak
memang kolot. Baginya anak padusi tidak perlu bersekolah tinggi. Yang penting
bisa membahagiakan suami. Padahal aku ingin sekali bersekolah. Apalagi aku
senang membaca, meski sebelah mataku tak lagi berfungsi sejak operasi mata yang
kujalani tak berhasil,
sementara mata yang
sebelahnya agak kabur bila melihat sesuatu. Aku harus memakai kacamata agar
bisa melihat.
Aku juga suka
menjahit bordir. Sudah banyak jahitan bordir yang kuhasilkan. Buku-buku tentang
pola bordir koleksiku lumayan banyak. Tapi sayang, sejak mataku rusak akibat
operasi yang gagal, mataku tak kuat lagi untuk menjahit. Paling hanya membaca
buku dengan bantuan kacamata. Itupun tak bisa lama-lama membaca. Bisa berakibat
pedih dan gatal pada sebelah mataku yang masih berfungsi.
Bila mengingat
kelakuan Abak, hatiku sedih dan kasihan pada Amak. Ada rasa perih menusuk
hatiku. Aku yakin perih yang sama juga melanda hati Amak. Pertengkaran sengit
antara aku dan Abak beberapa tahun yang lalu pun kembali terbayang.
***
Mandeh menghentikan ceritanya. Upik yang sudah dari tadi berhenti memijat
punggungnya masih termangu. Kisah itu sangat sinetron sekali, maksudnya dia sama sekali tidak
percaya kalau jalinan asmara Mandeh waktu masih gadis dulu begitu berliku.
“Terus,
kok Mandeh akhirnya menikah juga dengan Abak?” kata Upik, mengubah posisinya
dari tidur menjadi duduk. Dia sangat penasaran dengan kelanjutannya.
“Perjalanan
hidup dan cinta seseorang sudah digariskan oleh-Nya, Pik. Meskipun ungkapan klise,
tapi kalau jodoh di tangan Tuhan itu memang benar adanya.”
“Terus
bagaimana ceritanya Mandeh bisa melupakan si tukang pos itu?” Upik tertawa
sewaktu menyebut kata si-tukang-pos-itu.
“Mau
Mandeh ceritakan
bagian itu dulu atau mau mendengar kisah Mandeh
dan kakekmu bertengkar sengit?”
“Hmmm...
yang mana saja Mandeh, yang penting jangan sampai ada yang ketinggalan.”
“Baiklah.
Tapi kamu lanjutin pijatnya, ya, Mandeh cerita, kamu malah berhenti.”
Upik
terkekeh.
***
[1] Padusi =
perempuan
[2] Ambo = saya / aku.
[3] Siti Nurbaya
adalah sebuah cerita roman yang sudah sangat melegenda, tidak hanya di Sumatera Barat tapi juga
sudah dikenal seluruh nusantara, berkisah tentang perjodohan seorang anak
wanita (Siti Nurbaya) dengan Datuak Maringgih yang sama sekali tidak
dicintainya.
Komentar
Posting Komentar