Cerbung: RUMAH MANDEH (Bagian 2)


September 2009 : Gempa Itu

Di bangku kuliahnya, Upik duduk dengan gelisah. Hari ini kuliah berlangsung sampai sore. Selama perkuliahan berlangsung pikirannya tidak tenang. Materi yang diajarkan begitu sulit masuk ke otaknya. Padahal mata kuliah Pengantar Statistika adalah pelajaran yang cukup disenanginya.

Belakangan ini dia sering bermimpi tentang Abak dan Uda Bintang. Dan semua mimpi-mimpi itu membuatnya jadi teringat pada Mandeh di kampung dalam Pariaman. Dalam mimpinya semalam, Abak dan Uda Bintang datang dan tersenyum padanya tanpa berucap sepatah kata pun. Tak berapa lama kemudian Abak dan Uda Bintang pergi membawa Mandeh. Mandeh dengan langkah riang mengikuti Abak dan Uda Bintang pergi. Upik berteriak-teriak memanggil, tapi mereka seolah tak mendengar teriakannya. Mereka berlalu begitu saja dan hilang di balik awan.

Pertanda apakah ini? Tak sabar Upik menunggu kuliah bubar, agar segera bisa menelepon Mandeh.

“Sebelum Bapak mengakhiri kuliah hari ini, ada yang mau bertanya?”

Upik menarik napas. Semoga tidak ada yang bertanya. Selain mata kuliah favorit, Pak Jun juga dosen favorit Upik, tapi kali ini dia ingin semua cepat berlalu. Setelah beberapa saat, tak ada satu pun yang mengangkat tangan. Upik lega. Berarti sebentar lagi kuliah benar-benar usai.

“Baiklah! kuliah hari ini Bapak cukupkan sampai di sini.” Anak-anak pun segera menyambut senang. Sama seperti Upik, dia segera menghambur keluar kelas dengan tergesa, berlomba dengan yang lain untuk segera sampai di pintu gerbang kampus.

***

Begitu sampai di kamar kost, Upik segera membuka tasnya, dan mengambil ponsel berwarna biru muda. Ia segera mencari nama Mandeh dalam daftar kontak di ponselnya.

Tut … tut … tut….

Tak ada nada sambungan. Berulang-ulang Upik memencet nomor itu, tetap terdengar bunyi yang sama, tidak ada sambungan sama sekali. Perasaannya semakin tidak enak. Ada apa? Mengapa sinyal ke Pariaman tiba-tiba terputus?

Upik mencari nama Dewi dalam daftar kontaknya. Dewi adalah temannya saat sekolahan dulu, yang sekarang menyambung pendidikan di Universitas Andalas. Upik segera memencet nomor Dewi. Tetap sama, tidak ada nada sambungan. Berulang-ulang Upik mencoba beberapa nomor lain di ponselnya, ditujukan kepada teman-temannya di kampung halaman. Tak satu pun nada masuk terdengar. Tidak hanya ke Pariaman, jaringan telepon di Sumatera Barat sepertinya sedang bermasalah.

Upik meletakkan ponselnya dan segera mengambil segelas air mineral, lalu meneguknya sampai dahaganya hilang. Dia kembali ke sisi tempat tidur, lalu meraih remote untuk menyalakan televisi. Upik sibuk memencet channel secara berganti-ganti sambil bermalas-malasan sejenak di atas tempat tidur.

Sebuah tulisan cukup besar muncul di layar televisi yang tengah Upik tonton: Ranah Minang Berduka!

“Telah terjadi gempa dahsyat berkekuatan 7,6 pada skala Richter mengguncang provinsi Sumatera Barat, tepatnya di kota Padang Pariaman. Diketahui banyak rumah yang sudah rata dengan tanah, terutama daerah kampung dalam Pariaman.” Seorang reporter cantik dengan sangat antusias melaporkan berita itu.

Tubuh Upik berguncang mendengar informasi itu. Ya Rabbi! Inikah arti mimpiku semalam? Itukah yang menyebabkan dia tidak bisa menghubungi nomor Mandeh dan teman-teman di kampung halaman? Pikirannya langsung tertuju pada Mandeh. Bagaimana ini? Ingin ia segera pulang sekarang untuk memastikan keadaan Mandeh secara langsung. Pikirannya seakan buntu. Bingung harus melakukan apa. Tubuhnya terus bergetar. Diulangnya lagi menelepon nomor Mandeh, tetap belum bisa tersambung.

Akhirnya, dia memutuskan menelepon Uda Rusli dan Uda Hilman.

“Sudahlah Pik, nggak usah terlalu cemas begitu. Kita doakan saja tak terjadi apa-apa pada Mandeh. Uda Hilman akan mencari informasi dulu dengan orang-orang Pariaman di sini, nanti akan Uda kabari lagi.”

“Baiklah Da, kabari Upik bila ada perkembangan,” jawab Upik panik.

Sampai malam, kabar yang ditunggu-tunggunya dari Uda Hilman dan Uda Rusli belum juga didapat. Stasiun televisi terus mengabarkan berita tentang gempa itu. Padang, ibukota Sumatera Barat benar-benar telah porak poranda, banyak gedung bertingkat, hotel, kantor pemerintah, dan sekolah yang ambruk rata dengan tanah. Kondisi di kota Pariaman sendiri yang dikabarkan adalah pusat terjadinya gempa, sampai saat ini belum terdeteksi karena akses jalan masuk ke sana masih terputus.

Mandeh, apakah dia baik-baik saja? Jika kota Padang digambarkan seperti itu, bagaimana rupa Pariaman yang dikabarkan adalah pusat terjadinya gempa? Upik sungguh takut membayangkan.

Selepas Isya, Uda Rusli dan Uda Hilman datang ke kostnya. Membicarakan rencana selanjutnya. Kesimpulan didapat. Berhubung Upik yang punya waktu kosong lebih banyak, akhirnya dia yang diputuskan untuk pulang kampung lebih dulu, memastikan Mandeh baik-baik saja. Secepat mungkin Uda Rusli dan Uda Hilman akan menyusul begitu urusan mereka selesai. Uda Hilman bekerja di sebuah rumah makan padang yang cukup terkenal di Jakarta, Restoran Salero Bundo, saat ini istrinya juga tengah hamil tua. Sementara itu Uda Rusli bekerja sebagai karyawan di sebuah perusahaan swasta, juga sulit untuk mendapatkan izin dari atasannya.

Sampai tengah malam, mata Upik tidak bisa dipejamkan. Televisi dari tadi tidak pernah dimatikannya. Berita tentang gempa itu juga tidak pernah berhenti disiarkan. Semua stasiun televisi menayangkan. Tapi tetap saja, kondisi Pariaman belum diketahui, jalan masuk ke sana belum bisa dilewati. Lewat perantaraan udara dengan memakai pesawat helikopter milik angkatan udara, sama sekali tidak bisa diceritakan kondisi yang benar, karena hari sudah malam, listrik mati, sehingga yang terlihat hanyalah kegelapan sejati.

Jarum jam sudah menunjukkan pukul tiga dini hari, tapi Upik sama sekali tidak merasakan kantuk. Dia bangkit dari tempat tidur dan segera meminum segelas air mineral untuk menenangkan pikirannya. Besok dan untuk beberapa hari ke depan dia akan bolos kuliah untuk bertolak ke Pariaman. Tidak mungkin dia hanya menunggu saja di sini tanpa ada kepastian tentang keadaan Mandeh. Bagaimana kalau rumah Mandeh turut hancur ditimpa longsor akibat gempa yang mengguncang dengan sangat kencang? Masih mending jika hanya rumah yang hancur, kira-kira di mana Mandeh waktu terjadi gempa? Apakah sempat lari keluar rumah menyelamatkan diri? Atau sebaliknya? Tidak! Upik tak kuat membayangkan seandainya Mandeh terkurung reruntuhan rumah dan....

Air mata Upik tiba-tiba menetes. Terbayang wajah Mandeh saat melepasnya di Bandara Internasional Minangkabau. Belum pernah Mandeh memeluknya berulang-ulang kali dengan erat. Seakan-akan begitu berat melepas dirinya.

“Baik-baik kamu di rantau ya, Nak, dan jangan pernah meninggalkan salat lima waktu,” pesan Mandeh sambil berurai air mata.

“Pasti Mandeh,” jawabnya kala itu, membalas dengan erat pelukan Mandeh.

Adakah itu memang pertanda pertemuan terakhir mereka? Tidak! Upik tidak boleh berpikiran buruk pada nasib Mandeh. Bagaimanapun, takdir di tangan Allah. Ia tidak pantas mendahului takdir. Untuk menenangkan hatinya, Upik terus berdoa tak henti-hentinya, sambil memejamkan kedua matanya, berusaha untuk tidur barang satu atau dua jam saja.

***

Akhirnya pagi yang ditunggu datang juga. Upik segera mandi dan secepat mungkin menyambar tas ransel berisi beberapa helai baju yang memang telah disiapkannya tadi malam.

Satu hal yang membuat pikirannya semakin tak menentu, penerbangan ke Padang ditiadakan untuk jangka waktu yang tidak bisa ditentukan. Bandar udara di Sumatera Barat dikabarkan tidak bisa dioperasikan untuk beberapa hari ke depan. Artinya dia harus menempuh jalan darat, naik bus umum. Waktu yang seharusnya bisa ditempuh dalam waktu dua jam kini berubah menjadi dua hari, bagaimana dia tidak khawatir?

Uda Rusli sudah menyarankannya naik pesawat jurusan Pekanbaru atau Medan saja, karena itu cara tercepat untuk sampai ke kampung halaman. Upik sebenarnya juga berpendapat demikian.

Tapi ternyata itu tidak hanya pendapat mereka. Tiket pesawat jurusan Pekanbaru dan Medan untuk lima hari ke depan sudah terjual semuanya. Tidak hanya Upik, ratusan bahkan ribuan para perantau asal Sumatera Barat (terutama  yang berasal dari Padang dan Pariaman) bergegas untuk segera pulang kampung. Dan keputusan terakhir Upik adalah naik bus umum, biarlah capek dan melelahkan, daripada harus menunggu lima hari lagi untuk mengetahui kabar Mandeh di kampung sana.

Begitu sampai di terminal Rawamangun, Upik segera menaiki bus jurusan Padang Pariaman. Bus tak langsung berangkat, karena masih menunggu beberapa penumpang lain. Upik semakin tak tenang dan sedikit kesal. Tapi dia harus bisa bersabar. Yang penting lusa ia sudah sampai di kampung halaman. Dan sepertinya, tidak hanya ia yang terlihat gelisah di atas bus. Hampir semuanya menampakkan raut muka tak tenang. Sepertinya, pikiran mereka sama dengannya, memikirkan nasib sanak famili di kampung halaman.

“Uni[1], mau ke Pariaman juga?” Upik menegur seorang ibu muda yang tengah memangku anaknya yang masih bayi. Dia duduk dua bangku di depan Upik.

Uni itu hanya mengangguk lemah. Matanya terlihat bengkak. Pasti semalaman menangis, sama seperti yang dilakukan Upik.

“Pak sopir! bisakah kita berangkat sekarang?” suara seorang pemuda terdengar dari bangku paling belakang. Lalu yang lain turut menyambung, menyetujui usul pemuda itu.

Satu hal yang pasti, bukan hanya Upik yang tengah dilanda kepanikan saat ini.

***

Waktu dua hari yang terasa begitu panjang akhirnya berakhir juga. Bus yang ditumpangi Upik sampai di Pariaman dengan selamat. Sepanjang perjalanan tadi, Upik sudah melihat kondisi jalan serta rumah-rumah penduduk akibat gempa tempo hari. Sangat banyak sekali orang-orang yang tinggal di tenda-tenda pengungsian akibat rumahnya hancur. Meski beberapa rumah hanya terlihat retak-retak saja, namun mereka tidak mau menanggung risiko dengan tetap tinggal di dalamnya, gempa susulan bisa terjadi kapan saja, dan rumah retak itu bisa ambruk kapanpun.

Hati Upik begitu miris melihat banyaknya warga yang terluka parah. Ada yang kepalanya robek. Ada yang kakinya terpaksa diamputasi karena patah tertimpa reruntuhan selama dua hari. Sebagian lagi meraung-raung karena sanak keluarganya masih tertimbun reruntuhan bangunan. Upik bergerak dengan cepat, agar segera tahu bagaimana kondisi Mandeh dan rumah mereka.

Dan sebuah kenyataan pahit terhampar di depan matanya. Kenyataan itu kini terpampang nyata di hadapannya. Ya Tuhan! Rumah Mandeh hancur total, rumah peninggalan Abak itu kini benar-benar rata dengan tanah.

Di mana Mandeh? Upik panik sekali, tak seorang pun warga yang mengaku melihat keberadaan Mandeh.

“Upik, Mandehmu dua hari ini mengungsi ke Masjid Jihad di ujung kampung. Sebaiknya kau segera ke sana. Sejak kejadian tempo hari, Mandehmu tidak mau bicara sama sekali.” Uni Salma, tetangganya yang kebetulan juga sedang mengais-ngais puing reruntuhan rumahnya menjawab ketika Upik menanyakan keberadaan Mandeh.

Seperti berlari Upik menuju masjid yang letaknya di ujung kampung. Kampung yang dulu sangat makmur dan sejahtera itu, kini sungguh memprihatinkan. Yang terlihat hanya puing-puing reruntuhan rumah. Satu dua orang terlihat mencari-cari benda berharga yang mungkin masih bisa digunakan.

Sesampainya di masjid, Upik sama sekali tidak menemukan Mandeh. Orang-orang yang ditanya juga menggeleng. Hilir mudik Upik mencari keberadaan Mandeh. Ia sudah hampir putus asa, karena tak berhasil menemukan Mandeh. Ia juga sudah mendatangi posko-posko terdekat, menanyakan siapa tahu mereka pernah merawat Mandeh kalau memang Mandeh terluka. Tapi tak ada juga. Bagaimana ini? Upik tak mampu berpikir lagi.

Tiba-tiba dia teringat pada suatu tempat di mana Mandeh dulu sering ke sana. Yah, kemana lagi kalau bukan ke tempat pemakaman di mana Abak dan Uda Bintang disemayamkan. Upik bergegas melangkahkan kakinya menuju tempat yang dimaksudnya, siapa tahu Mandeh ada di sana. Batinnya sedikit tenang. Begitu sampai di lokasi yang dituju, Upik melihat seorang wanita sedang menangis di antara dua makam. Tak salah lagi, itu Mandeh!

Mendengar suara langkah kaki mendekat, perempuan yang tengah menangis di depan sebuah makam itu menoleh. Itu memang Mandeh. Sontak ia berdiri, meraung keras menghambur ke dalam pelukan Upik. Upik membalas pelukan itu. Ia sambut tubuh Mandeh yang terguncang menahan gejolak hatinya. Upik turut menangis. Menangis karena ia melihat Mandeh tak kurang suatu apa pun jua. Mandeh selamat. Mandeh masih hidup.

“Habis Pik … Habis sudah semuanya! Kita sudah tidak punya tempat tinggal lagi,” tangis Mandeh pun pecah di bahunya.

“Sudahlah Mandeh, tak usah menyesali yang sudah tidak ada. Ini sudah digariskan oleh-Nya. Allah selalu punya cara untuk menguji hamba-Nya, melalui musibah adalah salah satunya. Yang penting Mandeh masih ada bersama kita,” hiburnya sambil memeluk Mandeh penuh rasa lega dan haru.

“Mandeh belum bisa menerima semua ini, Pik. Ini terlalu berat. Rumah itu, satu-satunya kenangan yang tersisa, kenangan Mandeh bersama Abakmu dan Bintang. Tapi kini...” tangis Mandeh makin keras. Dua hari ini, entah sudah berapa liter air mata yang ia tumpahkan.

Upik memeluk Mandeh makin erat. Meski tidak mengeluarkan suara tangisan seperti Mandeh, tapi air matanya tak berhenti mengalir dari tadi. Ia harus jujur, baginya, ini juga terlalu berat.

Dua malam dilewatkan Upik di tenda pengungsian bersama Mandeh. Hingga akhirnya Mandeh bersedia untuk diajak ke Jakarta. Meskipun masih merasa berat meninggalkan tanah kelahirannya, Mandeh tak punya alasan menolak. Ia pasrah mengikuti suratan nasibnya. Sementara Upik merasa lega karena sekarang bisa lebih fokus merawat Mandeh. Dalam hati Upik berjanji, rumah baru untuk Mandeh, suatu hari nanti, akan dibangunnya lagi.

(Bersambung ke Rumah Mandeh Bagian 3)



[1] Uni = sapaan kepada perempuan yang lebih tua.


Ingin kirim naskah di pustaka22.com? Baca infonya di KIRIM NASKAH


Komentar