Di bangku kuliahnya, Upik duduk dengan gelisah. Hari ini kuliah berlangsung sampai sore. Selama perkuliahan
berlangsung pikirannya tidak
tenang. Materi yang diajarkan begitu sulit masuk ke
otaknya. Padahal mata
kuliah Pengantar Statistika adalah pelajaran yang cukup disenanginya.
Belakangan
ini dia sering bermimpi tentang Abak dan Uda Bintang. Dan semua mimpi-mimpi itu membuatnya jadi teringat
pada Mandeh di kampung dalam Pariaman. Dalam mimpinya semalam, Abak dan Uda Bintang datang
dan tersenyum padanya tanpa berucap sepatah kata pun. Tak berapa lama kemudian Abak dan Uda Bintang pergi membawa Mandeh. Mandeh dengan langkah riang mengikuti Abak dan
Uda Bintang pergi. Upik berteriak-teriak
memanggil, tapi mereka seolah tak mendengar teriakannya. Mereka berlalu begitu saja
dan hilang di balik awan.
Pertanda apakah ini? Tak sabar Upik menunggu kuliah
bubar, agar segera bisa menelepon Mandeh.
“Sebelum Bapak mengakhiri kuliah hari ini, ada yang mau
bertanya?”
Upik menarik napas. Semoga tidak
ada yang bertanya. Selain mata kuliah favorit, Pak Jun juga dosen favorit Upik,
tapi kali ini dia ingin semua cepat berlalu. Setelah beberapa saat, tak ada satu pun yang mengangkat tangan. Upik lega. Berarti
sebentar lagi kuliah benar-benar
usai.
“Baiklah! kuliah hari ini Bapak cukupkan sampai di sini.”
Anak-anak pun segera menyambut senang. Sama seperti Upik, dia segera menghambur keluar kelas dengan tergesa, berlomba dengan yang lain untuk segera sampai di pintu gerbang
kampus.
***
Begitu sampai di kamar kost, Upik segera membuka tasnya, dan mengambil
ponsel berwarna biru muda. Ia
segera mencari nama Mandeh dalam daftar kontak di ponselnya.
Tut … tut … tut….
Tak ada nada sambungan.
Berulang-ulang Upik memencet
nomor itu, tetap terdengar bunyi yang sama, tidak ada sambungan sama sekali. Perasaannya semakin
tidak enak. Ada apa? Mengapa sinyal ke Pariaman tiba-tiba
terputus?
Upik mencari nama Dewi dalam
daftar kontaknya. Dewi adalah temannya saat sekolahan dulu, yang sekarang
menyambung pendidikan di Universitas Andalas. Upik segera memencet nomor Dewi.
Tetap sama, tidak ada nada sambungan. Berulang-ulang Upik mencoba beberapa
nomor lain di ponselnya, ditujukan kepada teman-temannya di kampung
halaman. Tak satu pun nada masuk terdengar. Tidak hanya ke Pariaman, jaringan telepon di
Sumatera Barat sepertinya sedang bermasalah.
Upik meletakkan
ponselnya dan segera mengambil segelas air mineral, lalu meneguknya sampai
dahaganya hilang. Dia kembali ke sisi tempat tidur, lalu meraih remote untuk
menyalakan televisi. Upik sibuk memencet channel
secara berganti-ganti sambil bermalas-malasan sejenak di atas tempat tidur.
Sebuah tulisan cukup besar
muncul di layar televisi yang tengah Upik tonton: Ranah Minang Berduka!
“Telah terjadi gempa dahsyat berkekuatan 7,6 pada skala Richter mengguncang provinsi
Sumatera Barat, tepatnya di kota Padang Pariaman.
Diketahui banyak rumah yang sudah rata dengan tanah, terutama daerah kampung
dalam Pariaman.” Seorang reporter cantik dengan sangat
antusias melaporkan berita itu.
Tubuh Upik berguncang
mendengar informasi itu. Ya Rabbi! Inikah arti mimpiku semalam? Itukah yang
menyebabkan dia tidak bisa menghubungi nomor Mandeh dan teman-teman di kampung halaman? Pikirannya langsung tertuju pada Mandeh. Bagaimana ini? Ingin ia segera pulang
sekarang untuk memastikan keadaan Mandeh secara langsung. Pikirannya seakan buntu.
Bingung harus melakukan apa. Tubuhnya
terus bergetar. Diulangnya lagi menelepon nomor Mandeh, tetap belum bisa tersambung.
Akhirnya, dia memutuskan menelepon Uda Rusli dan Uda Hilman.
“Sudahlah Pik, nggak usah terlalu cemas begitu. Kita
doakan saja tak terjadi apa-apa pada Mandeh. Uda Hilman akan mencari informasi dulu dengan orang-orang
Pariaman di sini, nanti akan Uda kabari lagi.”
“Baiklah Da, kabari Upik bila ada perkembangan,” jawab
Upik panik.
Sampai
malam, kabar yang ditunggu-tunggunya dari Uda Hilman
dan Uda Rusli belum juga
didapat. Stasiun televisi terus mengabarkan berita tentang gempa itu. Padang,
ibukota Sumatera Barat benar-benar telah porak poranda, banyak gedung
bertingkat, hotel, kantor pemerintah, dan sekolah yang ambruk rata dengan
tanah. Kondisi di kota Pariaman sendiri yang dikabarkan adalah pusat terjadinya
gempa, sampai saat ini belum terdeteksi karena akses jalan masuk ke sana masih
terputus.
Mandeh, apakah dia baik-baik
saja? Jika kota Padang digambarkan seperti itu, bagaimana rupa Pariaman yang
dikabarkan adalah pusat terjadinya gempa? Upik sungguh takut membayangkan.
Selepas Isya, Uda Rusli dan Uda Hilman datang ke kostnya. Membicarakan rencana
selanjutnya. Kesimpulan
didapat. Berhubung Upik yang punya waktu kosong lebih banyak, akhirnya dia yang
diputuskan untuk pulang kampung lebih dulu, memastikan Mandeh baik-baik saja.
Secepat mungkin Uda Rusli dan Uda Hilman akan menyusul begitu urusan mereka
selesai. Uda Hilman bekerja di sebuah rumah makan
padang yang cukup terkenal di Jakarta, Restoran Salero Bundo, saat ini istrinya
juga tengah hamil tua. Sementara itu Uda Rusli bekerja sebagai karyawan di
sebuah perusahaan swasta, juga sulit untuk mendapatkan izin dari atasannya.
Sampai tengah malam, mata Upik
tidak bisa dipejamkan. Televisi dari tadi tidak pernah dimatikannya. Berita
tentang gempa itu juga tidak pernah berhenti disiarkan. Semua stasiun televisi menayangkan. Tapi
tetap saja, kondisi Pariaman belum diketahui, jalan masuk ke sana belum bisa
dilewati. Lewat perantaraan udara dengan memakai pesawat helikopter milik
angkatan udara, sama sekali tidak bisa diceritakan kondisi yang benar, karena
hari sudah malam, listrik mati, sehingga yang terlihat hanyalah kegelapan sejati.
Jarum
jam sudah menunjukkan pukul tiga dini
hari, tapi Upik sama sekali tidak merasakan kantuk. Dia bangkit dari tempat tidur dan segera meminum segelas air mineral untuk menenangkan pikirannya. Besok dan untuk beberapa hari ke depan dia akan bolos kuliah untuk bertolak ke Pariaman. Tidak mungkin dia hanya
menunggu saja di sini tanpa ada kepastian tentang keadaan Mandeh. Bagaimana kalau rumah Mandeh
turut hancur ditimpa longsor akibat gempa yang mengguncang dengan sangat
kencang? Masih mending jika
hanya rumah yang hancur, kira-kira di mana Mandeh waktu
terjadi gempa? Apakah sempat lari keluar rumah menyelamatkan diri? Atau
sebaliknya? Tidak! Upik tak kuat membayangkan seandainya Mandeh terkurung reruntuhan rumah dan....
Air mata Upik tiba-tiba
menetes. Terbayang wajah Mandeh saat melepasnya di Bandara Internasional Minangkabau. Belum pernah Mandeh memeluknya berulang-ulang kali dengan erat. Seakan-akan begitu berat
melepas dirinya.
“Baik-baik kamu di rantau ya, Nak, dan jangan pernah
meninggalkan salat lima waktu,” pesan Mandeh sambil berurai air mata.
“Pasti Mandeh,” jawabnya kala itu, membalas dengan erat
pelukan Mandeh.
Adakah itu memang pertanda pertemuan terakhir mereka? Tidak! Upik tidak boleh
berpikiran buruk pada nasib Mandeh. Bagaimanapun, takdir di tangan Allah. Ia tidak pantas
mendahului takdir. Untuk menenangkan hatinya, Upik terus berdoa tak henti-hentinya, sambil
memejamkan kedua matanya,
berusaha untuk tidur barang satu atau dua jam saja.
***
Akhirnya pagi yang ditunggu datang juga. Upik segera mandi
dan secepat mungkin menyambar
tas ransel berisi beberapa helai baju yang memang telah disiapkannya tadi malam.
Satu hal yang membuat
pikirannya semakin tak menentu, penerbangan ke Padang ditiadakan untuk jangka
waktu yang tidak bisa ditentukan. Bandar udara di Sumatera
Barat dikabarkan tidak bisa
dioperasikan untuk beberapa hari ke depan. Artinya dia harus menempuh jalan
darat, naik bus umum. Waktu yang seharusnya bisa ditempuh dalam waktu dua jam kini
berubah menjadi dua hari, bagaimana dia tidak khawatir?
Uda Rusli sudah menyarankannya
naik pesawat jurusan Pekanbaru atau Medan saja, karena itu cara tercepat untuk
sampai ke kampung halaman. Upik sebenarnya juga berpendapat demikian.
Tapi ternyata itu tidak hanya
pendapat mereka. Tiket pesawat jurusan Pekanbaru dan Medan untuk lima hari ke
depan sudah terjual semuanya. Tidak hanya Upik, ratusan bahkan ribuan para
perantau asal Sumatera Barat (terutama
yang berasal dari Padang dan Pariaman) bergegas untuk segera pulang
kampung. Dan keputusan terakhir Upik adalah naik bus umum, biarlah capek dan melelahkan,
daripada harus menunggu lima hari lagi untuk mengetahui kabar Mandeh di kampung
sana.
Begitu sampai di terminal Rawamangun, Upik segera
menaiki bus jurusan Padang Pariaman. Bus tak langsung berangkat, karena masih menunggu beberapa penumpang lain. Upik semakin tak
tenang dan sedikit kesal. Tapi dia harus bisa bersabar. Yang penting lusa ia sudah
sampai di kampung halaman. Dan sepertinya,
tidak hanya ia yang terlihat gelisah di atas bus. Hampir semuanya menampakkan raut muka
tak tenang. Sepertinya, pikiran mereka sama dengannya, memikirkan nasib sanak
famili di kampung halaman.
“Uni[1],
mau ke Pariaman juga?” Upik menegur seorang ibu muda yang tengah memangku
anaknya yang masih bayi. Dia duduk dua bangku di depan Upik.
Uni itu hanya mengangguk lemah.
Matanya terlihat bengkak. Pasti semalaman menangis, sama seperti yang dilakukan Upik.
“Pak sopir! bisakah kita
berangkat sekarang?” suara seorang pemuda terdengar dari bangku paling
belakang. Lalu yang lain turut menyambung, menyetujui usul pemuda itu.
Satu hal yang pasti, bukan
hanya Upik yang tengah dilanda kepanikan saat ini.
***
Waktu dua hari yang terasa
begitu panjang akhirnya berakhir juga. Bus yang ditumpangi
Upik sampai di Pariaman
dengan selamat. Sepanjang perjalanan tadi, Upik sudah melihat kondisi jalan
serta rumah-rumah penduduk akibat gempa tempo hari. Sangat banyak sekali orang-orang yang tinggal di tenda-tenda pengungsian akibat rumahnya hancur. Meski beberapa rumah hanya terlihat
retak-retak saja, namun mereka tidak mau menanggung risiko dengan tetap
tinggal di dalamnya, gempa
susulan bisa terjadi kapan saja, dan rumah retak itu bisa ambruk kapanpun.
Hati
Upik begitu miris melihat banyaknya warga yang terluka
parah. Ada yang kepalanya robek. Ada yang kakinya terpaksa diamputasi karena
patah tertimpa reruntuhan selama dua hari. Sebagian lagi meraung-raung karena
sanak keluarganya masih tertimbun reruntuhan bangunan. Upik bergerak dengan cepat,
agar segera tahu bagaimana kondisi Mandeh dan rumah mereka.
Dan sebuah
kenyataan pahit terhampar di depan matanya. Kenyataan itu kini terpampang nyata
di hadapannya. Ya Tuhan! Rumah Mandeh hancur total, rumah peninggalan Abak itu kini
benar-benar rata dengan tanah.
Di mana Mandeh? Upik panik sekali, tak seorang pun warga yang
mengaku melihat keberadaan Mandeh.
“Upik, Mandehmu dua hari ini
mengungsi ke Masjid Jihad di ujung kampung. Sebaiknya kau segera ke sana. Sejak kejadian
tempo hari, Mandehmu tidak mau bicara sama sekali.” Uni Salma,
tetangganya yang kebetulan juga sedang mengais-ngais puing reruntuhan rumahnya
menjawab ketika Upik menanyakan keberadaan Mandeh.
Seperti berlari Upik menuju masjid yang
letaknya di ujung kampung. Kampung yang dulu sangat makmur dan sejahtera itu,
kini sungguh memprihatinkan. Yang terlihat hanya puing-puing reruntuhan rumah.
Satu dua orang terlihat mencari-cari benda berharga yang mungkin masih bisa
digunakan.
Sesampainya di masjid, Upik sama sekali
tidak menemukan Mandeh. Orang-orang yang ditanya juga menggeleng. Hilir mudik Upik
mencari keberadaan Mandeh. Ia sudah hampir putus asa,
karena tak berhasil menemukan Mandeh. Ia juga sudah mendatangi posko-posko
terdekat, menanyakan siapa tahu mereka pernah merawat Mandeh kalau memang Mandeh
terluka. Tapi tak ada juga. Bagaimana ini? Upik tak mampu berpikir
lagi.
Tiba-tiba dia teringat pada suatu tempat di mana Mandeh
dulu sering ke sana. Yah, kemana
lagi kalau bukan ke tempat pemakaman di mana Abak dan Uda
Bintang disemayamkan. Upik
bergegas melangkahkan kakinya menuju tempat yang dimaksudnya, siapa tahu Mandeh ada di sana. Batinnya sedikit tenang. Begitu sampai di lokasi yang dituju, Upik melihat
seorang wanita sedang menangis di antara dua makam. Tak salah lagi, itu Mandeh!
Mendengar suara langkah kaki
mendekat, perempuan yang tengah menangis di depan sebuah makam itu menoleh. Itu memang Mandeh.
Sontak ia berdiri, meraung keras menghambur ke dalam pelukan Upik. Upik
membalas pelukan itu. Ia sambut tubuh Mandeh yang terguncang menahan gejolak
hatinya. Upik turut menangis. Menangis karena ia melihat Mandeh tak kurang
suatu apa pun jua. Mandeh selamat. Mandeh masih hidup.
“Habis Pik … Habis sudah semuanya! Kita sudah tidak punya
tempat tinggal lagi,” tangis Mandeh pun pecah di bahunya.
“Sudahlah Mandeh, tak usah menyesali yang sudah tidak
ada. Ini sudah digariskan
oleh-Nya. Allah selalu punya cara untuk menguji hamba-Nya, melalui musibah
adalah salah satunya. Yang penting Mandeh masih ada
bersama kita,” hiburnya sambil memeluk Mandeh penuh rasa lega dan haru.
“Mandeh belum bisa menerima
semua ini, Pik. Ini terlalu berat. Rumah itu, satu-satunya kenangan yang
tersisa, kenangan Mandeh bersama Abakmu dan Bintang. Tapi kini...” tangis Mandeh
makin keras. Dua hari ini, entah sudah berapa liter air mata yang ia tumpahkan.
Upik memeluk Mandeh makin
erat. Meski tidak mengeluarkan suara tangisan seperti Mandeh, tapi air matanya
tak berhenti mengalir dari tadi. Ia harus jujur, baginya, ini juga terlalu berat.
Dua malam dilewatkan Upik di
tenda pengungsian bersama Mandeh. Hingga akhirnya Mandeh bersedia untuk diajak ke Jakarta. Meskipun masih merasa berat meninggalkan tanah
kelahirannya, Mandeh tak punya
alasan menolak. Ia pasrah mengikuti suratan nasibnya. Sementara Upik merasa lega
karena sekarang bisa lebih fokus merawat Mandeh. Dalam
hati Upik berjanji, rumah baru untuk Mandeh, suatu hari nanti, akan dibangunnya
lagi.
[1] Uni = sapaan
kepada perempuan yang lebih tua.
Ingin kirim naskah di pustaka22.com? Baca infonya di KIRIM NASKAH
Komentar
Posting Komentar